Melindungi Pekerja Domestik
A
A
A
Menyusul amarah publik setelah evakuasi sejumlah pembantu rumah tangga (PRT) di Medan, wacana perlunya UU Perlindungan PRT kembali digemakan. Undang-undang tersebut akan memformalkan pekerjaan PRT, dari yang semula bersifat informal.
Apabila perubahan status pekerjaan PRT itu menjadi kenyataan, maka diyakini bahwa para hidup dan kerja PRT akan lebih terjamin. Persoalannya, meskipun didorong oleh iktikad baik, tidakkah ide mengusung UU Perlindungan PRT mengandung salah kaprah? Alih-alih seperti Arthur yang menjadi penanggung jawab rumah Bruce Wayne (Batman), pekerjaan sebagai PRT pada dasarnya tidak diinginkan oleh siapa pun.
Bekerja sebagai PRT adalah keputusan terakhir akibat kondisi terpojok, karena masyarakat gagal memperoleh mata pencarian yang lebih layak. Itu sebabnya hanya kaum ekonomi lemah dan berpendidikan sangat rendah yang “mau” menekuni pekerjaan tersebut. Bahkan pekerjaan sebagai abdi dalem, kendati sama “kasar”-nya, tetap lebih terhormat daripada PRT.
Para abdi dalem di Keraton Yogya, misalnya, sangat bangga menjadi pelayan raja. Menjadi abdi dalem dipersepsikan sebagai terangkatnya derajat mereka, membuat mereka sudi meninggalkan sawah dan kebun demi mendekatkan diri ke lingkungan raja. Kekikukan masyarakat menggunakan sebutan “PRT” mempertegas rendahnya pekerjaan tersebut.
Eufemisme pun dipakai; mulai dari asisten domestik, tenaga rumahan, pekerja rumah tangga, dll. Namun, esensinya tetap tak berubah; PRT adalah babu, kacung, bedinda, bahkan hamba sahaya. Itu sebabnya, ketika Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan sinyalemen bahwa di Indonesia terjadi perlipatgandaan jumlah PRT, dan itu dipandang sebagai efek membaiknya kondisi perekonomian dan bertambahnya masyarakat yang naik ke kelas ekonomi menengah, saya justru kian yakin bahwa PRT senyatanya adalah golongan warga yang tersisih.
Mereka tidak mempunyai modalitas daya saing yang dibutuhkan untuk meningkatkan status sosial ekonomi mereka sebagaimana yang berhasil dilakukan oleh anggota-anggota baru kelas menengah tadi. Apalagi jika diperhatikan aspek demografi para pekerja domestik tersebut. Misalnya, orangorang yang bekerja sebagai PRT tidak terbatas pada usia dewasa.
Dari estimasi hampir 53 juta orang di dunia yang bekerja sebagai PRT, sekitar 7,5 juta di antaranya adalah anakanak berusia 5 hingga 14 tahun. Padahal, anakanak yang hidup normal tidak semestinya bekerja, melainkan bersekolah. Begitupula fakta bahwa dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai PRT tetap didominasi oleh kaum perempuan dengan jumlah 8,9 juta orang.
Dapat dinalar, para perempuan tersebut menjadi PRT sebagai cara ekstra guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, kapasitas yang sangat terbatas membuat mereka hanya mampu mengisi ceruk pekerjaan informal tersebut.
Gambaran di atas menunjukkan, alih-alih menyebutnya sebagai dampak positif susulan membaiknya situasi perekonomian nasional, pertumbuhan secara tajam jumlah PRT di Tanah Air justru merupakan pertanda memburuknya keadilan dalam kesejahteraan masyarakat luas.
Atas dasar itu, absurd kiranya apabila golongan warga yang tersisih tersebut tidak didongkrak agar naik kelas, tetapi justru dipertahankan keberadaannya lewat usulan penyusunan UU Perlindungan PRT. Pada sisi lain, substansi UU Ketenagakerjaan sejauh ini baru menyentuh sektor ketenagakerjaan formal, sementara PRT sendiri masih berstatus sebagai bidang kerja informal.
Segala kelemahan itu pula yang membuat PRT rentan menjadi korban dan kerap menerima eksploitasi. Misalnya PRT yang diberi upah di bawah standar atau bahkan tanpa upah sama sekali, jam kerja yang tidak manusiawi, tidak adanya jaminan kesehatan dan kesejahteraan sosial, penganiayaan fisik dan seksual, dikurung sehingga tidak memungkinkan bagi PRT melakukan interaksi sosial apa pun, bahkan menjadi korban kejahatan perdagangan manusia.
Juga ironis, betapa publik selama ini gencar mendorong penghentian pengiriman tenaga kerja wanita ke negara- negara lain, namun pada saat yang sama justru– tanpa sadar–melanggengkan pekerjaan PRT dengan mengusulkan UU Perlindungan PRT. Organisasi Buruh Internasional pada 2011 memang telah mengeluarkan Konvensi 189 tentang Pekerja Domestik.
Konvensi itu memuat empat hak dasar PRT yang harus terpenuhi. Pertama, dukungan dan perlindungan hak asasi PRT. Kedua, penghormatan dan perlindungan atas prinsip-prinsip dan hakhak PRT di tempat kerja, yang mencakup kebebasan berhimpun dan pengakuan akan hak tawar kolektif, pemberantasan segala bentuk kerja paksa, dan penghapusan PRT anak, dan penghapusan diskriminasi. Ketiga, perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan. Keempat, ketentuan kerja yang adil serta kelayakan hidup PRT.
Mencermati keempat hak dasar PRT di atas, serta dengan dasar pemikiran bahwa Indonesia sepatutnya meniadakan pekerjaan PRT, saya memandang Indonesia tidak perlu mengadopsi Konvensi 189 tersebut ke dalam bentuk undang-undang baru yang khusus bertemakan PRT.
Sebagai gantinya, upaya untuk melindungi para PRT termasuk memenuhi hak-hak dasar mereka sebagaimana tercantum dalam Konvensi 189 dapat diaktualisasi melalui revisi UU Ketenagakerjaan agar juga mencakup sektor kerja informal semacam PRT. Selanjutnya, sebagai acuan yang lebih teknis, barulah undang-undang tersebut dapat diturunkan ke dalam regulasi- regulasi yang lebih rendah.
Revisi terhadap UU Ketenagakerjaan juga disinkronkan dengan penyempurnaan sejumlah legislasi lain. Demikian pula manakala terjadi tindak kekerasan terhadap PRT, langkah perlindungan terhadap mereka selaku korban sudah memadai dengan adanya lex generalist semisal KUHP dan lex specialist berupa UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang pun bisa digunakan untuk menjerat majikan-majikan biadab, sepanjang memenuhi kriteriakriteria yang terdapat pada kedua undang-undang tersebut. Ringkasnya, UU Perlindungan PRT bukan formula terbaik untuk memastikan agar Konvensi 189 tidak luput dari perhatian otoritas terkait.
Pada tataran paling dasar, pelurusan persepsi akan posisi pekerjaan PRT sekali lagi sepantasnya menelurkan sebuah sikap bersama untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari pekerjaan tersebut. Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kesejahteraan masyarakat lewat penciptaan sektor-sektor pekerjaan formal baru bagi kalangan marginal.
Paralel dengan itu, penghapusan pekerjaan PRT tidak terlepas dari perlunya penataan ulang terhadap pola hidup warga yang selama ini terlanjur menggantungkan urusan kerumahtanggaan mereka pada PRT. Sekaligus perlu digencarkan pula inovasi teknologi rumah tangga guna mengganti peran PRT tersebut. Dengan cara itu, realistis untuk berharap kelak tak ada lagi (orang yang mau atau pun terpaksa bekerja sebagai) PRT di Indonesia. Allahu a’lam.
Apabila perubahan status pekerjaan PRT itu menjadi kenyataan, maka diyakini bahwa para hidup dan kerja PRT akan lebih terjamin. Persoalannya, meskipun didorong oleh iktikad baik, tidakkah ide mengusung UU Perlindungan PRT mengandung salah kaprah? Alih-alih seperti Arthur yang menjadi penanggung jawab rumah Bruce Wayne (Batman), pekerjaan sebagai PRT pada dasarnya tidak diinginkan oleh siapa pun.
Bekerja sebagai PRT adalah keputusan terakhir akibat kondisi terpojok, karena masyarakat gagal memperoleh mata pencarian yang lebih layak. Itu sebabnya hanya kaum ekonomi lemah dan berpendidikan sangat rendah yang “mau” menekuni pekerjaan tersebut. Bahkan pekerjaan sebagai abdi dalem, kendati sama “kasar”-nya, tetap lebih terhormat daripada PRT.
Para abdi dalem di Keraton Yogya, misalnya, sangat bangga menjadi pelayan raja. Menjadi abdi dalem dipersepsikan sebagai terangkatnya derajat mereka, membuat mereka sudi meninggalkan sawah dan kebun demi mendekatkan diri ke lingkungan raja. Kekikukan masyarakat menggunakan sebutan “PRT” mempertegas rendahnya pekerjaan tersebut.
Eufemisme pun dipakai; mulai dari asisten domestik, tenaga rumahan, pekerja rumah tangga, dll. Namun, esensinya tetap tak berubah; PRT adalah babu, kacung, bedinda, bahkan hamba sahaya. Itu sebabnya, ketika Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan sinyalemen bahwa di Indonesia terjadi perlipatgandaan jumlah PRT, dan itu dipandang sebagai efek membaiknya kondisi perekonomian dan bertambahnya masyarakat yang naik ke kelas ekonomi menengah, saya justru kian yakin bahwa PRT senyatanya adalah golongan warga yang tersisih.
Mereka tidak mempunyai modalitas daya saing yang dibutuhkan untuk meningkatkan status sosial ekonomi mereka sebagaimana yang berhasil dilakukan oleh anggota-anggota baru kelas menengah tadi. Apalagi jika diperhatikan aspek demografi para pekerja domestik tersebut. Misalnya, orangorang yang bekerja sebagai PRT tidak terbatas pada usia dewasa.
Dari estimasi hampir 53 juta orang di dunia yang bekerja sebagai PRT, sekitar 7,5 juta di antaranya adalah anakanak berusia 5 hingga 14 tahun. Padahal, anakanak yang hidup normal tidak semestinya bekerja, melainkan bersekolah. Begitupula fakta bahwa dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai PRT tetap didominasi oleh kaum perempuan dengan jumlah 8,9 juta orang.
Dapat dinalar, para perempuan tersebut menjadi PRT sebagai cara ekstra guna mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Namun, kapasitas yang sangat terbatas membuat mereka hanya mampu mengisi ceruk pekerjaan informal tersebut.
Gambaran di atas menunjukkan, alih-alih menyebutnya sebagai dampak positif susulan membaiknya situasi perekonomian nasional, pertumbuhan secara tajam jumlah PRT di Tanah Air justru merupakan pertanda memburuknya keadilan dalam kesejahteraan masyarakat luas.
Atas dasar itu, absurd kiranya apabila golongan warga yang tersisih tersebut tidak didongkrak agar naik kelas, tetapi justru dipertahankan keberadaannya lewat usulan penyusunan UU Perlindungan PRT. Pada sisi lain, substansi UU Ketenagakerjaan sejauh ini baru menyentuh sektor ketenagakerjaan formal, sementara PRT sendiri masih berstatus sebagai bidang kerja informal.
Segala kelemahan itu pula yang membuat PRT rentan menjadi korban dan kerap menerima eksploitasi. Misalnya PRT yang diberi upah di bawah standar atau bahkan tanpa upah sama sekali, jam kerja yang tidak manusiawi, tidak adanya jaminan kesehatan dan kesejahteraan sosial, penganiayaan fisik dan seksual, dikurung sehingga tidak memungkinkan bagi PRT melakukan interaksi sosial apa pun, bahkan menjadi korban kejahatan perdagangan manusia.
Juga ironis, betapa publik selama ini gencar mendorong penghentian pengiriman tenaga kerja wanita ke negara- negara lain, namun pada saat yang sama justru– tanpa sadar–melanggengkan pekerjaan PRT dengan mengusulkan UU Perlindungan PRT. Organisasi Buruh Internasional pada 2011 memang telah mengeluarkan Konvensi 189 tentang Pekerja Domestik.
Konvensi itu memuat empat hak dasar PRT yang harus terpenuhi. Pertama, dukungan dan perlindungan hak asasi PRT. Kedua, penghormatan dan perlindungan atas prinsip-prinsip dan hakhak PRT di tempat kerja, yang mencakup kebebasan berhimpun dan pengakuan akan hak tawar kolektif, pemberantasan segala bentuk kerja paksa, dan penghapusan PRT anak, dan penghapusan diskriminasi. Ketiga, perlindungan terhadap pelecehan dan kekerasan. Keempat, ketentuan kerja yang adil serta kelayakan hidup PRT.
Mencermati keempat hak dasar PRT di atas, serta dengan dasar pemikiran bahwa Indonesia sepatutnya meniadakan pekerjaan PRT, saya memandang Indonesia tidak perlu mengadopsi Konvensi 189 tersebut ke dalam bentuk undang-undang baru yang khusus bertemakan PRT.
Sebagai gantinya, upaya untuk melindungi para PRT termasuk memenuhi hak-hak dasar mereka sebagaimana tercantum dalam Konvensi 189 dapat diaktualisasi melalui revisi UU Ketenagakerjaan agar juga mencakup sektor kerja informal semacam PRT. Selanjutnya, sebagai acuan yang lebih teknis, barulah undang-undang tersebut dapat diturunkan ke dalam regulasi- regulasi yang lebih rendah.
Revisi terhadap UU Ketenagakerjaan juga disinkronkan dengan penyempurnaan sejumlah legislasi lain. Demikian pula manakala terjadi tindak kekerasan terhadap PRT, langkah perlindungan terhadap mereka selaku korban sudah memadai dengan adanya lex generalist semisal KUHP dan lex specialist berupa UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang pun bisa digunakan untuk menjerat majikan-majikan biadab, sepanjang memenuhi kriteriakriteria yang terdapat pada kedua undang-undang tersebut. Ringkasnya, UU Perlindungan PRT bukan formula terbaik untuk memastikan agar Konvensi 189 tidak luput dari perhatian otoritas terkait.
Pada tataran paling dasar, pelurusan persepsi akan posisi pekerjaan PRT sekali lagi sepantasnya menelurkan sebuah sikap bersama untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari pekerjaan tersebut. Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki kesejahteraan masyarakat lewat penciptaan sektor-sektor pekerjaan formal baru bagi kalangan marginal.
Paralel dengan itu, penghapusan pekerjaan PRT tidak terlepas dari perlunya penataan ulang terhadap pola hidup warga yang selama ini terlanjur menggantungkan urusan kerumahtanggaan mereka pada PRT. Sekaligus perlu digencarkan pula inovasi teknologi rumah tangga guna mengganti peran PRT tersebut. Dengan cara itu, realistis untuk berharap kelak tak ada lagi (orang yang mau atau pun terpaksa bekerja sebagai) PRT di Indonesia. Allahu a’lam.
(bbg)