Luruhnya Mitos Fuad Amin
A
A
A
Satu kabar menghebohkan disuguhkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga anti korupsi itu menciduk Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan R KH Fuad Amin Imron di kediamannya di Bangkalan.
Dalam penangkapan terhadap tiga tersangka lain yakni Direktur PT MKS Antonio Bambang Djatmiko, Rauf (ajudan Fuad Amin), dan seorang anggota TNI AL, polisi mengamankan uang yang diduga untuk suap sebesar Rp700 juta. Saat menangkap Fuad Amin di Bangkalan, KPK juga mengobok-obok rumahnya dan menemukan uang lebih dari Rp2,5 miliar yang disimpan dalam tiga koper.
Penggeledahan untuk mencari aset Fuad Amin yang diduga hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) akan berlanjut, termasuk terhadap anaknya, Bupati Bangkalan Makmun Ibu Fuad alias Ra Momon, yang disebut KPK masuk dalam lingkaran aliran suap. KPK menyangkakan Fuad Amin dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Langkah ini sudah dimulai kemarin dengan menggeledah kembali rumahnya di Bangkalan di Jalan Kupang Jaya 4-2, Surabaya.
Dalam konteks penindakan kasus tindakan pidana korupsi secara kualitas penangkapan Fuad Amin sebenarnya tidak begitu heboh dibanding kasus lain seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Namun, untuk masyarakat Jawa Timur, khususnya Madura, penangkapan mantan bupati Bangkalan dua periode itu kejutan besar.
Mengapa? Ini terkait mitos Fuad Amin sebagai orang kuat. Tidak ada yang pernah membayangkan ada yang berani, termasuk aparat penegak hukum, menyentuh apalagi menciduknya dari rumahnya di Bangkalan dan menjadikannya pesakitan seperti saat ini. Siapa pun di sana pasti tidak pernah berpikir aset Fuad Amin ada yang berani mengobok-obok dan menyitanya.
Pandangan demikian mendarah daging terkait posisi sosiologis dan fakta politik yang ada selama ini. Secara sosiologis di Pulau Madura, Fuad Amin berada pada lingkungan kasta tertinggi. Dia cucu ulama yang sangat masyhur di eranya dan menjadi guru utama para kiai se-Jawa-Madura. Walaupun keilmuan dan perilaku belum tentu linear dengan sang kakek, Fuad Amin mewarisi privilese.
Dengan bekal sebutan Lora—sapaan bagi putra kiai yang lazim digunakan di masyarakat berkultur Madura, Fuad Amin secara otomatis menjadi orang yang dihormati dan berpengaruh. Fuad Amin menyadari potensi tersebut dan kemudian mengonversinya menjadi sumber kekuatan politik. Dia pun sukses besar.
Berturut-turut dia menduduki posisi di DPR RI dari PPP dan PKB, menjadi bupati dua periode. Selanjutnya dia lompat menjadi ketua DPR Partai Gerinda, mendudukkan anaknya sebagai bupati dan Fuad Amin menjabat posisi ketua DPRD. Sepertinya, untuk meraih posisi politik bagi dia tinggal bilang bim salabim . Dengan posisi demikian, siapa pun yang memenangkan pertarungan politik di Madura harus meraih dukungan Fuad Amin.
Lihat saja, bagaimana dia menggaransi kemenangan untuk pasangan Soekarwo- Saifullah Yusuf pada Pilgub Jatim. Dengan kekuasaannya dia menggerakkan klebun (kepala desa) dan blater (preman) untuk memobilisasi suara dengan segala cara hingga Mahkamah Konstitusi (MK) memfatwa ada pelanggaran pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Berkat kekuasaannya pula dia mampu memenangkan Partai Gerindra, menempatkan anaknya sebagai bupati, menjadikan dia sendiri sebagai ketua DPRD, dan mendudukkan beberapa keluarganya dan koleganya di kursi DPRD. Dalam konteks ini Fuad Amin telah membangun dinasti kekuasaan dan menempatkan dirinya sebagairaja, miripdengan apa yang pernah dilakukan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah.
Karena kekuasaannya pula, Fuad Amin dengan mudah mendepak para pesaing dan membuat institusi negara tak berkutik menghadapinya. Tumpukan kehebatannya itu pun mengkristal menjadi mitos Fuad Amin sebagai orang kuat yang bisa berbuat apa saja. Namun, mitos itu kini luruh begitu saja. Pepatah sepandai-pandainya bajing melompat pasti akan jatuh juga kembali menemukan relevansinya.
Sejarah dunia di mana tidak ada raja-raja atau penguasa yang abadi juga kembali memverifikasi kebenarannya. Fuad Amin kini hanyalah seorang pesakitan. Blater yang konon menjaga rumahnya dengan senjata tajam pun tidak bisa berbuat apa-apa. KPK membuktikan mitos itu tidak ada artinya.
Dalam penangkapan terhadap tiga tersangka lain yakni Direktur PT MKS Antonio Bambang Djatmiko, Rauf (ajudan Fuad Amin), dan seorang anggota TNI AL, polisi mengamankan uang yang diduga untuk suap sebesar Rp700 juta. Saat menangkap Fuad Amin di Bangkalan, KPK juga mengobok-obok rumahnya dan menemukan uang lebih dari Rp2,5 miliar yang disimpan dalam tiga koper.
Penggeledahan untuk mencari aset Fuad Amin yang diduga hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) akan berlanjut, termasuk terhadap anaknya, Bupati Bangkalan Makmun Ibu Fuad alias Ra Momon, yang disebut KPK masuk dalam lingkaran aliran suap. KPK menyangkakan Fuad Amin dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Langkah ini sudah dimulai kemarin dengan menggeledah kembali rumahnya di Bangkalan di Jalan Kupang Jaya 4-2, Surabaya.
Dalam konteks penindakan kasus tindakan pidana korupsi secara kualitas penangkapan Fuad Amin sebenarnya tidak begitu heboh dibanding kasus lain seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Namun, untuk masyarakat Jawa Timur, khususnya Madura, penangkapan mantan bupati Bangkalan dua periode itu kejutan besar.
Mengapa? Ini terkait mitos Fuad Amin sebagai orang kuat. Tidak ada yang pernah membayangkan ada yang berani, termasuk aparat penegak hukum, menyentuh apalagi menciduknya dari rumahnya di Bangkalan dan menjadikannya pesakitan seperti saat ini. Siapa pun di sana pasti tidak pernah berpikir aset Fuad Amin ada yang berani mengobok-obok dan menyitanya.
Pandangan demikian mendarah daging terkait posisi sosiologis dan fakta politik yang ada selama ini. Secara sosiologis di Pulau Madura, Fuad Amin berada pada lingkungan kasta tertinggi. Dia cucu ulama yang sangat masyhur di eranya dan menjadi guru utama para kiai se-Jawa-Madura. Walaupun keilmuan dan perilaku belum tentu linear dengan sang kakek, Fuad Amin mewarisi privilese.
Dengan bekal sebutan Lora—sapaan bagi putra kiai yang lazim digunakan di masyarakat berkultur Madura, Fuad Amin secara otomatis menjadi orang yang dihormati dan berpengaruh. Fuad Amin menyadari potensi tersebut dan kemudian mengonversinya menjadi sumber kekuatan politik. Dia pun sukses besar.
Berturut-turut dia menduduki posisi di DPR RI dari PPP dan PKB, menjadi bupati dua periode. Selanjutnya dia lompat menjadi ketua DPR Partai Gerinda, mendudukkan anaknya sebagai bupati dan Fuad Amin menjabat posisi ketua DPRD. Sepertinya, untuk meraih posisi politik bagi dia tinggal bilang bim salabim . Dengan posisi demikian, siapa pun yang memenangkan pertarungan politik di Madura harus meraih dukungan Fuad Amin.
Lihat saja, bagaimana dia menggaransi kemenangan untuk pasangan Soekarwo- Saifullah Yusuf pada Pilgub Jatim. Dengan kekuasaannya dia menggerakkan klebun (kepala desa) dan blater (preman) untuk memobilisasi suara dengan segala cara hingga Mahkamah Konstitusi (MK) memfatwa ada pelanggaran pilkada yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Berkat kekuasaannya pula dia mampu memenangkan Partai Gerindra, menempatkan anaknya sebagai bupati, menjadikan dia sendiri sebagai ketua DPRD, dan mendudukkan beberapa keluarganya dan koleganya di kursi DPRD. Dalam konteks ini Fuad Amin telah membangun dinasti kekuasaan dan menempatkan dirinya sebagairaja, miripdengan apa yang pernah dilakukan mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah.
Karena kekuasaannya pula, Fuad Amin dengan mudah mendepak para pesaing dan membuat institusi negara tak berkutik menghadapinya. Tumpukan kehebatannya itu pun mengkristal menjadi mitos Fuad Amin sebagai orang kuat yang bisa berbuat apa saja. Namun, mitos itu kini luruh begitu saja. Pepatah sepandai-pandainya bajing melompat pasti akan jatuh juga kembali menemukan relevansinya.
Sejarah dunia di mana tidak ada raja-raja atau penguasa yang abadi juga kembali memverifikasi kebenarannya. Fuad Amin kini hanyalah seorang pesakitan. Blater yang konon menjaga rumahnya dengan senjata tajam pun tidak bisa berbuat apa-apa. KPK membuktikan mitos itu tidak ada artinya.
(ars)