Geopolitik Baru
A
A
A
Banyak pihak yang terheranheran ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry datang dalam acara pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Oktober 2014.
Kedatangan John Kerry memang tidak biasa karena pada saat pelantikan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), AS hanya mengirimkan perwakilan setingkat duta besar. Sebagian pihak menginterpretasikan kedatangan itu sebagai bentuk penghargaan dari AS kepada Indonesia demi menjaga kemitraan strategis di Asia Tenggara.
Pihak lain menganggapnya sebagai bukti bahwa Presiden Jokowi didukung oleh kapitalis Amerika dan Eropa. John Kerry sendiri memang berusaha menunjukkan bahwa Indonesia adalah mitra penting bagi Amerika, tetapi dia juga membawa misi lain. Dia berupaya meyakinkan sejumlah negara, antara lain Australia dan Indonesia, untuk tidak mendukung deklarasi pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia ( AIIB, Asian Infrastructure Investment Bank ) yang dipelopori China.
Alasan AS karena bank tersebut akan menjadi pesaing World Bank dan Asian Development Bank (ADB), padahal sahamnya didominasi China (67,1%), lalu India (13,3%). AS menyatakan bank tersebut gagal memenuhi standar lingkungan, procurement, dan perlindungan pembangunan (baik bagi manusianya maupun buruh) yang selama ini dilaksanakan World Bank dan ADB.
Upaya itu gagal karena Minggu lalu, 27 November, Menteri Keuangan Republik Indonesia resmi menandatangani MoU pendirian AIIB, menjadi negara ke-22 yang sepakat menjadi pendiri AIIB. Sampai saat ini negara yang sudah setuju mendukung AIIB adalah Bangladesh, Brunei, Kamboja, China, India, Indonesia, Kazakhstan, Kuwait, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Uzbekistan, dan Vietnam.
Seluruh anggota ASEAN masuk di situ. Yang belum memutuskan adalah Australia, padahal China menawarkan posisi penting bagi Australia jika mau bergabung. Di sini kita perlu menyadari bahwa tatanan geopolitik memang telah demikian berubah sehingga mekanisme pendanaan program-program pemerintah pun tidak lagi didominasi lembaga-lembaga keuangan internasional yang dananya bersumber dari AS atau Jepang.
Pasar investasi yang biasanya dipengaruhi kubu Barat kini beralih ke Asia. Hal ini menggentarkan AS karena awalnya mereka berharap Asia masih bisa menjadi tulang punggung pemulihan ekonomi mereka dan kini justru yang muncul adalah persaingan baru. Terlepas dari wacana antara elite AS dan China yang berusaha menetralisasi perspektif persaingan antarkeduanya, kenyataannya China makin memantapkan langkah menentukan aturan main baru di dunia.
Masih banyak pihak di AS yang menyanggah kenyataan ini, tetapi bulan Oktober 2014 IMF menyatakan daya beli masyarakat China telah melampaui daya beli masyarakat di AS. Daya beli China mencapai 16,48% dari daya beli global, sementara AS hanya 16,28%. Apa artinya bagi Indonesia? Pertama , Indonesia perlu lebih jeli melihat implikasi dari tiap kerangka kerja sama yang ditandatanganinya.
Dengan menguatnya perekonomian dan inisiatif dari suatu negara, aturan main dalam pergaulan internasional berubah pula. Multilateralisme yang biasanya berbasis pemenuhan prinsip demokrasi, pembangunan inklusif, dan perlindungan lingkungan hidup kini berkembang ke arah pembentukan dan perluasan jalur-jalur perdagangan.
APEC kemungkinan besar akan menjadi rujukan penting untuk formulasi inisiatif kerja sama ekonomi regional walaupun implementasinya sangat bergantung pada daya persuasi negara pengusung Trans-Pacific Partnership dan Regional Comprehensive Economic Partnership.
Perlu dicek: apakah investasi kita (dana, perhatian, sumber daya manusia, diplomasi) menghasilkan jalur perdagangan dan konektivitas yang menguntungkan? Apakah keuntungannya otomatis atau rumit untuk diimplementasikan? Kementerian terkait berkepentingan untuk menghitungnya dengan cermat supaya kita tidak sekadar ikut-ikutan, tetapi bisa ikut menentukan arah angin bertiup.
Semoga petugas lebih tekun menyusuri datadata riil di lapangan sebelum mengambil tiap keputusan di tingkat elite. Kedua , publik di Indonesia sudah tidak bisa lagi sekadar antipati terhadap perdagangan bebas karena sudah segudang kerja sama yang ditandatangani Indonesia, baik sendiri maupun sebagai negara anggota ASEAN, yang arahnya membuka pintu lebih lebar bagi perdagangan nirtarif.
Problemnya adalah sikap antipati Indonesia tidak membuahkan penguatan industri di dalam negeri atau fasilitasi peningkatan nilai tambah sektor industri dan produk pertanian yang menjadi andalan ekspor. Masih saja para produsen harus berjuang sendiri menembus pasar asing, padahal produsen asing justru difasilitasi untuk masuk ke pasar Indonesia.
Selain itu, sektor yang paling produktif, yakni di sektor finansial, justru para pekerjanya tidak punya jaminan kerja karenasejumlahlinipekerjaanmereka dianggap pantas disubkontrakkan sehingga luput dijamin secara layak dari segi upah, masa kerja maupun tunjangan. Ketiga , baik China maupun AS kini sama-sama tertarik untuk mengelola sumber daya energi, tanah, tambang, dan laut di Indonesia.
China menggunakan pengusaha-pengusaha swasta dan universitasnya untuk mengembangkan inisiatif kerja sama dengan Indonesia, sementara AS masuk dari lembaga-lembaga donor yang kini tren nya juga semakin multilateral (sebagai konsorsium donor) dan ragam inisiatif kemitraan swasta. Mereka samasama masuk ke jantung ”pertahanan” Indonesia, sampai ke level pengusaha, masyarakat sipil, bahkan tentara dan polisi.
Dengan kata lain, ruang politik dan ekonomi di dunia ini semakin lama semakin sesak oleh banyaknya kepentingan baik dari negara-negara Barat maupun Timur, Utara dan Selatan. Prinsip Presiden Jokowi yang berbunyi ”bekerja samalah dengan pihak yang mendukung kepentingan Indonesia” perlu dilengkapi dengan pandangan dari segala sudut dan segala macam akumulasi perhitungan yang detail dan tidak terburu-buru.
Definisi ”kepentingan Indonesia” harus betul-betul dikomunikasikan oleh semua pihak tidak hanya kepada birokrat, tetapi juga masyarakat sipil lain seperti pengusaha, pekerja, akademisi, dan partai politik. Sebaik apa pun rencana pemerintah apabila tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat di dalam negeri akan menjadi bumerang di masa depan.
Segala perubahan di atas hendaknya tidak membuat Indonesia gentar atau gamang. Justru desakan macam itu semoga membuat Indonesia lebih cepat merespons kebutuhan yang ada dengan lebih strategis dan taktis.
Kedatangan John Kerry memang tidak biasa karena pada saat pelantikan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY), AS hanya mengirimkan perwakilan setingkat duta besar. Sebagian pihak menginterpretasikan kedatangan itu sebagai bentuk penghargaan dari AS kepada Indonesia demi menjaga kemitraan strategis di Asia Tenggara.
Pihak lain menganggapnya sebagai bukti bahwa Presiden Jokowi didukung oleh kapitalis Amerika dan Eropa. John Kerry sendiri memang berusaha menunjukkan bahwa Indonesia adalah mitra penting bagi Amerika, tetapi dia juga membawa misi lain. Dia berupaya meyakinkan sejumlah negara, antara lain Australia dan Indonesia, untuk tidak mendukung deklarasi pembentukan Bank Investasi Infrastruktur Asia ( AIIB, Asian Infrastructure Investment Bank ) yang dipelopori China.
Alasan AS karena bank tersebut akan menjadi pesaing World Bank dan Asian Development Bank (ADB), padahal sahamnya didominasi China (67,1%), lalu India (13,3%). AS menyatakan bank tersebut gagal memenuhi standar lingkungan, procurement, dan perlindungan pembangunan (baik bagi manusianya maupun buruh) yang selama ini dilaksanakan World Bank dan ADB.
Upaya itu gagal karena Minggu lalu, 27 November, Menteri Keuangan Republik Indonesia resmi menandatangani MoU pendirian AIIB, menjadi negara ke-22 yang sepakat menjadi pendiri AIIB. Sampai saat ini negara yang sudah setuju mendukung AIIB adalah Bangladesh, Brunei, Kamboja, China, India, Indonesia, Kazakhstan, Kuwait, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Uzbekistan, dan Vietnam.
Seluruh anggota ASEAN masuk di situ. Yang belum memutuskan adalah Australia, padahal China menawarkan posisi penting bagi Australia jika mau bergabung. Di sini kita perlu menyadari bahwa tatanan geopolitik memang telah demikian berubah sehingga mekanisme pendanaan program-program pemerintah pun tidak lagi didominasi lembaga-lembaga keuangan internasional yang dananya bersumber dari AS atau Jepang.
Pasar investasi yang biasanya dipengaruhi kubu Barat kini beralih ke Asia. Hal ini menggentarkan AS karena awalnya mereka berharap Asia masih bisa menjadi tulang punggung pemulihan ekonomi mereka dan kini justru yang muncul adalah persaingan baru. Terlepas dari wacana antara elite AS dan China yang berusaha menetralisasi perspektif persaingan antarkeduanya, kenyataannya China makin memantapkan langkah menentukan aturan main baru di dunia.
Masih banyak pihak di AS yang menyanggah kenyataan ini, tetapi bulan Oktober 2014 IMF menyatakan daya beli masyarakat China telah melampaui daya beli masyarakat di AS. Daya beli China mencapai 16,48% dari daya beli global, sementara AS hanya 16,28%. Apa artinya bagi Indonesia? Pertama , Indonesia perlu lebih jeli melihat implikasi dari tiap kerangka kerja sama yang ditandatanganinya.
Dengan menguatnya perekonomian dan inisiatif dari suatu negara, aturan main dalam pergaulan internasional berubah pula. Multilateralisme yang biasanya berbasis pemenuhan prinsip demokrasi, pembangunan inklusif, dan perlindungan lingkungan hidup kini berkembang ke arah pembentukan dan perluasan jalur-jalur perdagangan.
APEC kemungkinan besar akan menjadi rujukan penting untuk formulasi inisiatif kerja sama ekonomi regional walaupun implementasinya sangat bergantung pada daya persuasi negara pengusung Trans-Pacific Partnership dan Regional Comprehensive Economic Partnership.
Perlu dicek: apakah investasi kita (dana, perhatian, sumber daya manusia, diplomasi) menghasilkan jalur perdagangan dan konektivitas yang menguntungkan? Apakah keuntungannya otomatis atau rumit untuk diimplementasikan? Kementerian terkait berkepentingan untuk menghitungnya dengan cermat supaya kita tidak sekadar ikut-ikutan, tetapi bisa ikut menentukan arah angin bertiup.
Semoga petugas lebih tekun menyusuri datadata riil di lapangan sebelum mengambil tiap keputusan di tingkat elite. Kedua , publik di Indonesia sudah tidak bisa lagi sekadar antipati terhadap perdagangan bebas karena sudah segudang kerja sama yang ditandatangani Indonesia, baik sendiri maupun sebagai negara anggota ASEAN, yang arahnya membuka pintu lebih lebar bagi perdagangan nirtarif.
Problemnya adalah sikap antipati Indonesia tidak membuahkan penguatan industri di dalam negeri atau fasilitasi peningkatan nilai tambah sektor industri dan produk pertanian yang menjadi andalan ekspor. Masih saja para produsen harus berjuang sendiri menembus pasar asing, padahal produsen asing justru difasilitasi untuk masuk ke pasar Indonesia.
Selain itu, sektor yang paling produktif, yakni di sektor finansial, justru para pekerjanya tidak punya jaminan kerja karenasejumlahlinipekerjaanmereka dianggap pantas disubkontrakkan sehingga luput dijamin secara layak dari segi upah, masa kerja maupun tunjangan. Ketiga , baik China maupun AS kini sama-sama tertarik untuk mengelola sumber daya energi, tanah, tambang, dan laut di Indonesia.
China menggunakan pengusaha-pengusaha swasta dan universitasnya untuk mengembangkan inisiatif kerja sama dengan Indonesia, sementara AS masuk dari lembaga-lembaga donor yang kini tren nya juga semakin multilateral (sebagai konsorsium donor) dan ragam inisiatif kemitraan swasta. Mereka samasama masuk ke jantung ”pertahanan” Indonesia, sampai ke level pengusaha, masyarakat sipil, bahkan tentara dan polisi.
Dengan kata lain, ruang politik dan ekonomi di dunia ini semakin lama semakin sesak oleh banyaknya kepentingan baik dari negara-negara Barat maupun Timur, Utara dan Selatan. Prinsip Presiden Jokowi yang berbunyi ”bekerja samalah dengan pihak yang mendukung kepentingan Indonesia” perlu dilengkapi dengan pandangan dari segala sudut dan segala macam akumulasi perhitungan yang detail dan tidak terburu-buru.
Definisi ”kepentingan Indonesia” harus betul-betul dikomunikasikan oleh semua pihak tidak hanya kepada birokrat, tetapi juga masyarakat sipil lain seperti pengusaha, pekerja, akademisi, dan partai politik. Sebaik apa pun rencana pemerintah apabila tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat di dalam negeri akan menjadi bumerang di masa depan.
Segala perubahan di atas hendaknya tidak membuat Indonesia gentar atau gamang. Justru desakan macam itu semoga membuat Indonesia lebih cepat merespons kebutuhan yang ada dengan lebih strategis dan taktis.
(ars)