Moratorium Kurikulum 2013, sebuah Kerugian Nyata
A
A
A
Sukemi
Pemerhati Pendidikan dan Pengelola Portal CSR Monitor Bidang Pendidikan
Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyusul pergantian pemerintahan dari SBY-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla, berembus keinginan untuk melakukan moratorium Kurikulum 2013 (K13).
Pernyataan terhadap kemungkinan ini disampaikan langsung dan terbuka oleh Mendikbud Anies Baswedan kepada beberapa media. (Evaluasi Kurikulum 2013 Selesai Desember, KORAN SINDO, Senin, 24 November 2014). Pernyataan bahwa K13 masih prematur sedikit mengindikasikan kuatnya keinginan Mendikbud untuk melakukan moratorium terhadap K13, apa pun hasil evaluasi kelak.
Memang dalam berita tersebut ada tiga opsi yang disampaikan. Pertama, akan melanjutkan K13, kedua, dilanjutkan dengan koreksi, dan, ketiga, harus ditunda. Terhadaptigaopsiitu, masyarakat memang masih harus menunggu hasil evaluasi yang diharapkan akan selesai Desember ini.
Tapi, patut diduga dan ini umum terjadi, pernyataan seorang menteri baru terhadap kebijakan yang ada sebelumnya acap berusaha untuk berbeda dengan pendahulunya. Apalagi di lapangan ditemukan dua kutub yang berbeda terhadap K13. Fakta paling aktual adalah kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang tidak lain anggarannya adalah bersumber dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang memang sudah ada sebelumnya dan mencakup pula kelompok masyarakat atau peserta didik dari keluarga miskin dan hampir miskin.
Dengan begitu, kesan yang muncul bagi masyarakat yang paham adalah program sebelumnya yang hanya berganti nama yang penting asal beda. Tulisan berikut ingin sedikit berkontribusi untuk memberikan masukan terhadap kemungkinan kerugian nyata manakala moratorium yang diambil sebagai sikap beda dari pendahulu sebelumnya. Tentu tulisan ini tidak hendak membela terhadap siapa pun, tapi menyampaikan hal yang objektif terhadap apa yang sudah digagas dalam K13.
Diakui, dalam hal implementasi, terutama terkait pelatihan guru, pendistribusian buku, termasuk masih ada ketidaksesuaian antara KD dengan buku yang telah disiapkan, serta sulitnya penilaian, ditemukan beberapa kendala di lapangan. Tapi, terkait dengan konsep yang telah disiapkan dalam K13, rasanya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Pada titik inilah, rasanya opsi kedua terkait dengan K13 yaitu dilanjutkan dengan koreksi atau evaluasi adalah sikap bijak dan moderat yang mesti jadi pilihan.
Persoalan Teknis
Merujuk pada latar belakang disiapkannya K13 terhadap kurikulum sebelumnya adalah sesuatu yang dapat diterima baik secara nalar. Hanya, kebijakan yang baik itu kerap tidak bisa dijalankan atau terganjal pelaksanaannya karena ada agendaagenda terselubung di balik keinginan kita membangun masa depan masyarakat dan negeri ini lebih baik.
Sekadar mengingatkan, betapa kini kita baru menyadari bahwa upaya untuk membangun industri dirgantara awal 1980-an adalah hal yang sesungguhnya amat menguntungkan dan strategis jika merujuk pada pengembangan moda transportasi udara yang kini berkembang dan maraknya industri penerbangan dalam negeri berinvestasi melengkapi armadanya.
Kekhawatiran ini pun harus perlu didalami terhadap agenda moratorium K13. Mengingat ada banyak hal positif sesungguhnya yang ingin diraih terhadap implementasi K13, yang dalam bahasa Kemendikbud sebelumnya, Kurikulum untuk menyiapkan Generasi Emas 2045. K13 adalah bagian dari perhatian serius dunia pendidikan dalam upaya menjawab kegelisahan orang tua dan masyarakat terhadap maraknya kenakalan pelajar, terabaikannya budi pekerti, melemahnya karakter bangsa, hingga maraknya korupsi.
Bukan itu saja, beban pelajaran dan banyak buku peserta didik yang harus dibawa setiap hari, terutama di jenjang sekolah dasar, yang kerap mengundang kritik wali murid dan pemerhati pendidikan, juga ditemukan dalam konsep K13. Di sisi lain, riset dan studi internasionaldibidangpendidikan menjadi pijakan dalam penyiapan K13. Hasil riset tersebut dapat menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan dengan mutu pendidikan di puluhan negara lain.
Riset Program for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), maupun studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) menunjukkan, posisi peserta didik Indonesia tidak kunjung beranjak naik, masih menduduki peringkat bawah dari 65 negara yang diteliti.
Fakta-fakta itulah yang menjadi bagian dari dasar pertimbangan perubahan K13. Selain itu, masih banyak lagi faktor internal maupun faktor eksternal yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan pembaruan kurikulum. Tantangan internal antara lain berkait dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan standar nasional pendidikan hingga soal besarnya pertumbuhan penduduk usia produktif yang harus dikelola agar menjadi sumber daya masyarakat yang berkualitas.
Sementara tantangan eksternal berhubungan dengan arus globalisasi hingga pesatnya perkembangan teknologi yang sudah barang tentu harus diantisipasi melalui pendidikan. Berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi K13, sebagaimana disuarakan masyarakat yang berkeinginan K13 tidak dijalankan, lebih pada persoalan teknis bukan substansi.
Pada sisi inilah dapat dilihat, mestinya keputusannya pun bukan melakukan moratorium, tapi lebih pada mengevaluasi untuk memperbaiki ihwal teknis yang menjadi kendala dalami mplementasiK13. Kita sepakat hal teknis harus diselesaikan secara teknis dan evaluasi bukanlah kata yang tabu dan harus dihindari. Penyederhanaan menjadi salah satu kata kunci pada K13.
Di jenjang SD dari 10 mata pelajaran kini disederhanakan menjadi enam mata pelajaran, di SMP dari sebelumnya 12 menjadi 10, sedang di SMA tidak lagi mengenal penjurusan melainkan peminatan. Pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, yang selama ini dikeluhkan para orang tua, tapi juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil PISA, TIMSS, maupun hasil PIRLS.
Kajian terhadap isi mata pelajaran juga dilakukan dan ditemukan fakta ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan dicerna peserta didik. K13 juga disiapkan sebagai strategi peningkatan kinerja pendidikan. Itulah sebabnya selain dilakukan penyederhanaan mata pelajaran, juga dilakukan penambahan jam pelajaran.
Semua dilakukan untuk peningkatan efektivitas pembelajaran. Rasionalitas penambahan jam pelajaran ini adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), yang menjadi penekanan pada K13, memerlukan penambahan jam pelajaran.
Agenda Terselubung?
Melihat fakta dan realitas itulah, ada baiknya jika kita mencoba meneropong agenda terselubung seperti apa yang sesungguhnya sedang dijalankan para penggagas moratorium K13 itu? Bisa jadi, karena halusnya sebuah permainan, mereka yang ikut menggagas moratorium itu tidak tahu-menahu terhadap agenda-agenda itu.
Karena itulah, kita boleh berspekulasi terhadap ini semua. Tentu pengungkapan fakta ini bukanlah sebuah tuduhan, melainkan fakta yang ada dan jelas terlihat. Terkait dengan model pengadaan buku K13, boleh disodorkan fakta bahwa kini harga buku tidaklah semahal sebelumnya. Melalui penyediaan terpusat dengan model lelang yang dilakukan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), harga buku dapat ditekan hingga 30-40%.
Di sisi lain, konon ditemukan masih banyak stok buku pelajaran berbasis KTSP yang tertimbun di gudang-gudang penyimpanan. Jika K13 terus berjalan atau berlanjut dengan perbaikan, kerugian sudah barang tentu akan diderita para pemilik buku yang menumpuk di gudang. Kepentingan bisnis menjadi salah satu pendorong agar moratorium K13 dilakukan.
Terkait metodologi pembelajaran, harus pula diakui bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik melalui upaya mengamati-menanya-menalar- mencoba-mengkomunikasikan adalah metodologi yang kini diberikan di sekolah-sekolah papan atas dan internasional di kota-kota besar. Pertanyaannya, apakah sekolah- sekolah inpres dan negeri yang ada di pelosok negeri tidak boleh menggunakan metodologi tersebut?
Apakah karena alasan guru yang belum siap, kemudian peserta didik kita harus menunda keinginannya untuk belajar lebih menyenangkan dan merasakan bagaimana belajar dengan pendekatan saintifik? Rasanya tidaklah adil jika lantaran itu K13 dimoratorium. Persoalan teknis yang menjadi penghambat harus dicarikan jalan keluar.
Sejatinya jika moratorium yang dipilih sebagai sebuah kebijakan asal beda, kerugian nyata yang akan diterima. Masyarakat akan rugi karena membeli buku lebih mahal sebab mekanisme sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan peserta didik juga akan rugi karena pembelajaran yang nyata- nyata disiapkan untuk menjawab tantangan masa depan dan membiasakan siswa untuk berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan efektif, harus tertunda lantaran K13 dimoratorium.
Pemilihan opsi terus jalan dengan evaluasi adalah sebuah keputusan bijak dan moderat. Semoga!
Pemerhati Pendidikan dan Pengelola Portal CSR Monitor Bidang Pendidikan
Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyusul pergantian pemerintahan dari SBY-Boediono ke Joko Widodo-Jusuf Kalla, berembus keinginan untuk melakukan moratorium Kurikulum 2013 (K13).
Pernyataan terhadap kemungkinan ini disampaikan langsung dan terbuka oleh Mendikbud Anies Baswedan kepada beberapa media. (Evaluasi Kurikulum 2013 Selesai Desember, KORAN SINDO, Senin, 24 November 2014). Pernyataan bahwa K13 masih prematur sedikit mengindikasikan kuatnya keinginan Mendikbud untuk melakukan moratorium terhadap K13, apa pun hasil evaluasi kelak.
Memang dalam berita tersebut ada tiga opsi yang disampaikan. Pertama, akan melanjutkan K13, kedua, dilanjutkan dengan koreksi, dan, ketiga, harus ditunda. Terhadaptigaopsiitu, masyarakat memang masih harus menunggu hasil evaluasi yang diharapkan akan selesai Desember ini.
Tapi, patut diduga dan ini umum terjadi, pernyataan seorang menteri baru terhadap kebijakan yang ada sebelumnya acap berusaha untuk berbeda dengan pendahulunya. Apalagi di lapangan ditemukan dua kutub yang berbeda terhadap K13. Fakta paling aktual adalah kebijakan Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang tidak lain anggarannya adalah bersumber dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang memang sudah ada sebelumnya dan mencakup pula kelompok masyarakat atau peserta didik dari keluarga miskin dan hampir miskin.
Dengan begitu, kesan yang muncul bagi masyarakat yang paham adalah program sebelumnya yang hanya berganti nama yang penting asal beda. Tulisan berikut ingin sedikit berkontribusi untuk memberikan masukan terhadap kemungkinan kerugian nyata manakala moratorium yang diambil sebagai sikap beda dari pendahulu sebelumnya. Tentu tulisan ini tidak hendak membela terhadap siapa pun, tapi menyampaikan hal yang objektif terhadap apa yang sudah digagas dalam K13.
Diakui, dalam hal implementasi, terutama terkait pelatihan guru, pendistribusian buku, termasuk masih ada ketidaksesuaian antara KD dengan buku yang telah disiapkan, serta sulitnya penilaian, ditemukan beberapa kendala di lapangan. Tapi, terkait dengan konsep yang telah disiapkan dalam K13, rasanya tidak ada yang perlu diperdebatkan. Pada titik inilah, rasanya opsi kedua terkait dengan K13 yaitu dilanjutkan dengan koreksi atau evaluasi adalah sikap bijak dan moderat yang mesti jadi pilihan.
Persoalan Teknis
Merujuk pada latar belakang disiapkannya K13 terhadap kurikulum sebelumnya adalah sesuatu yang dapat diterima baik secara nalar. Hanya, kebijakan yang baik itu kerap tidak bisa dijalankan atau terganjal pelaksanaannya karena ada agendaagenda terselubung di balik keinginan kita membangun masa depan masyarakat dan negeri ini lebih baik.
Sekadar mengingatkan, betapa kini kita baru menyadari bahwa upaya untuk membangun industri dirgantara awal 1980-an adalah hal yang sesungguhnya amat menguntungkan dan strategis jika merujuk pada pengembangan moda transportasi udara yang kini berkembang dan maraknya industri penerbangan dalam negeri berinvestasi melengkapi armadanya.
Kekhawatiran ini pun harus perlu didalami terhadap agenda moratorium K13. Mengingat ada banyak hal positif sesungguhnya yang ingin diraih terhadap implementasi K13, yang dalam bahasa Kemendikbud sebelumnya, Kurikulum untuk menyiapkan Generasi Emas 2045. K13 adalah bagian dari perhatian serius dunia pendidikan dalam upaya menjawab kegelisahan orang tua dan masyarakat terhadap maraknya kenakalan pelajar, terabaikannya budi pekerti, melemahnya karakter bangsa, hingga maraknya korupsi.
Bukan itu saja, beban pelajaran dan banyak buku peserta didik yang harus dibawa setiap hari, terutama di jenjang sekolah dasar, yang kerap mengundang kritik wali murid dan pemerhati pendidikan, juga ditemukan dalam konsep K13. Di sisi lain, riset dan studi internasionaldibidangpendidikan menjadi pijakan dalam penyiapan K13. Hasil riset tersebut dapat menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia dibandingkan dengan mutu pendidikan di puluhan negara lain.
Riset Program for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), maupun studi internasional untuk reading dan literacy (PIRLS) menunjukkan, posisi peserta didik Indonesia tidak kunjung beranjak naik, masih menduduki peringkat bawah dari 65 negara yang diteliti.
Fakta-fakta itulah yang menjadi bagian dari dasar pertimbangan perubahan K13. Selain itu, masih banyak lagi faktor internal maupun faktor eksternal yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan pembaruan kurikulum. Tantangan internal antara lain berkait dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan standar nasional pendidikan hingga soal besarnya pertumbuhan penduduk usia produktif yang harus dikelola agar menjadi sumber daya masyarakat yang berkualitas.
Sementara tantangan eksternal berhubungan dengan arus globalisasi hingga pesatnya perkembangan teknologi yang sudah barang tentu harus diantisipasi melalui pendidikan. Berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi K13, sebagaimana disuarakan masyarakat yang berkeinginan K13 tidak dijalankan, lebih pada persoalan teknis bukan substansi.
Pada sisi inilah dapat dilihat, mestinya keputusannya pun bukan melakukan moratorium, tapi lebih pada mengevaluasi untuk memperbaiki ihwal teknis yang menjadi kendala dalami mplementasiK13. Kita sepakat hal teknis harus diselesaikan secara teknis dan evaluasi bukanlah kata yang tabu dan harus dihindari. Penyederhanaan menjadi salah satu kata kunci pada K13.
Di jenjang SD dari 10 mata pelajaran kini disederhanakan menjadi enam mata pelajaran, di SMP dari sebelumnya 12 menjadi 10, sedang di SMA tidak lagi mengenal penjurusan melainkan peminatan. Pertimbangan penyederhanaan itu bukan semata soal beban, yang selama ini dikeluhkan para orang tua, tapi juga telah melalui proses pengkajian baik terhadap hasil PISA, TIMSS, maupun hasil PIRLS.
Kajian terhadap isi mata pelajaran juga dilakukan dan ditemukan fakta ada beberapa materi pada mata pelajaran tertentu yang terlalu berat untuk diberikan dan dicerna peserta didik. K13 juga disiapkan sebagai strategi peningkatan kinerja pendidikan. Itulah sebabnya selain dilakukan penyederhanaan mata pelajaran, juga dilakukan penambahan jam pelajaran.
Semua dilakukan untuk peningkatan efektivitas pembelajaran. Rasionalitas penambahan jam pelajaran ini adalah perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output), yang menjadi penekanan pada K13, memerlukan penambahan jam pelajaran.
Agenda Terselubung?
Melihat fakta dan realitas itulah, ada baiknya jika kita mencoba meneropong agenda terselubung seperti apa yang sesungguhnya sedang dijalankan para penggagas moratorium K13 itu? Bisa jadi, karena halusnya sebuah permainan, mereka yang ikut menggagas moratorium itu tidak tahu-menahu terhadap agenda-agenda itu.
Karena itulah, kita boleh berspekulasi terhadap ini semua. Tentu pengungkapan fakta ini bukanlah sebuah tuduhan, melainkan fakta yang ada dan jelas terlihat. Terkait dengan model pengadaan buku K13, boleh disodorkan fakta bahwa kini harga buku tidaklah semahal sebelumnya. Melalui penyediaan terpusat dengan model lelang yang dilakukan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), harga buku dapat ditekan hingga 30-40%.
Di sisi lain, konon ditemukan masih banyak stok buku pelajaran berbasis KTSP yang tertimbun di gudang-gudang penyimpanan. Jika K13 terus berjalan atau berlanjut dengan perbaikan, kerugian sudah barang tentu akan diderita para pemilik buku yang menumpuk di gudang. Kepentingan bisnis menjadi salah satu pendorong agar moratorium K13 dilakukan.
Terkait metodologi pembelajaran, harus pula diakui bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik melalui upaya mengamati-menanya-menalar- mencoba-mengkomunikasikan adalah metodologi yang kini diberikan di sekolah-sekolah papan atas dan internasional di kota-kota besar. Pertanyaannya, apakah sekolah- sekolah inpres dan negeri yang ada di pelosok negeri tidak boleh menggunakan metodologi tersebut?
Apakah karena alasan guru yang belum siap, kemudian peserta didik kita harus menunda keinginannya untuk belajar lebih menyenangkan dan merasakan bagaimana belajar dengan pendekatan saintifik? Rasanya tidaklah adil jika lantaran itu K13 dimoratorium. Persoalan teknis yang menjadi penghambat harus dicarikan jalan keluar.
Sejatinya jika moratorium yang dipilih sebagai sebuah kebijakan asal beda, kerugian nyata yang akan diterima. Masyarakat akan rugi karena membeli buku lebih mahal sebab mekanisme sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar dan peserta didik juga akan rugi karena pembelajaran yang nyata- nyata disiapkan untuk menjawab tantangan masa depan dan membiasakan siswa untuk berpikir kritis, inovatif, kreatif, dan efektif, harus tertunda lantaran K13 dimoratorium.
Pemilihan opsi terus jalan dengan evaluasi adalah sebuah keputusan bijak dan moderat. Semoga!
(ars)