Perang (Membesarkan) ISIS

Sabtu, 22 November 2014 - 13:10 WIB
Perang (Membesarkan)...
Perang (Membesarkan) ISIS
A A A
HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Walaupun sudah berkali-kali menyerang basis Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS), koalisi global yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) belum ada tanda-tanda akan segera meraih kemenangan.

Alih-alih, dalam beberapa waktu terakhir pasukan ISIS justru dilaporkan terus bergerak maju dan nyaris menguasai Kota Kobani yang sangat strategis di perbatasan Suriah, Irak dan Turki. Perang global melawan ISIS saat ini bisa disebut sebagai perang paling sulit dan rumit. Hal ini tak lain karena ISIS yang dijadikan musuh bersama merupakan salah satu ”anak haram” krisis politik berkepanjangan di Suriah yang terus berkelanjutan hingga hari ini.

Sebagaimana krisis Suriah terus berlangsung dalam peta konflik yang sangat kompleks dan melahirkan ISIS secara tidak langsung, perang melawan ISIS pun berjalan dalam kompleksitas yang kurang lebih sama. Perbedaan yang belakangan terjadi di kalangan koalisi internasional anti-ISIS di bawah kepemimpinan AS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari kompleksitas perang melawan ISIS.

Sebagaimana dimaklumi, Turki mengajukan syarat untuk bisa bergabung dalam menyerang ISIS: agar AS memberlakukan opsi serangan darat dan penerapan zona larangan terbang (no-fly zone) di wilayah perbatasan Turki-Suriah. Turki menginginkan misi perang melawan ISIS saat ini juga mencakup antirezim Bashar al-Assad di Suriah.

Walaupun sebagian negara sekutu menyetujui persyaratan yang diajukan Turki di atas, tapi AS bertahan dengan sikapnya untuk fokus pada serangan udara dengan target utama kelompok ISIS. Bahkan sebagaimana dikutip salah satu media di Timur Tengah, pejabat tinggi AS menyebut bahwa syarat yang diajukan Turki di atas bukanlah hal baru, melainkan telah disampaikan berkali-kali sebelumnya (Ash-SharqAl- Awsat, 09/10).

Perang Multikepentingan

Dilihat dari kepentingan negara-negara yang menyerang ISIS sekarang, perang global melawan kelompok militan ini dapat disebut sebagai perang multikepentingan. Bagi AS dan sekutunya dari negara-negara Barat, contohnya, kepentingan utama dari perang ini adalah menghabisi kelompok-kelompok teroris yang belakangan kerap menarget kepentingan-kepentingan mereka di banyak negara.

Karenanya, dalam perspektif AS dan negara-negara Barat, perang melawan ISIS saat ini bisa disebut sebagai ”perang dunia” jilid II melawan kelompok teroris setelah mereka berhasil memorak-porandakan kelompok Al-Qaeda pada ”perang dunia” jilid I di Afghanistan. Adapun kepentingan lain di luar yang telah disampaikan di atas hampir tidak masuk dalam pertimbangan mereka.

Adapun bagi sekutu AS dari kawasan Timur Tengah, kepentingan di balik perang ini tidak semata-mata hanya terkait upaya pemberantasan jaringan terorisme. Perang ini juga demi kepentingan yang terkait langsung dengan kepentingan nasional seperti dialami oleh Turki yang dalam tiga tahun terakhir harus menanggung dampakdampak krisis politik yang terjadi di Suriah.

Itu sebabnya, sejak jauh hari Turki menginginkan adanya intervensi militer di Suriah dengan tujuan melengserkan rezim Bashar al-Assad yang dianggap sebagai” sumber” krisis dan konflik di sekitarnya. Hingga hari ini, AS tampak tidak terlalu memedulikan kepentingan Turki sebagai salah satu sekutunya.

Turki sangat memahami urgensi kehadirannya dalam serangan global melawan ISIS yang sekarang dikomandoi oleh AS. Apalagi Turki berbatasan langsung dengan Irak dan Suriah. Karenanya Turki mencoba ”memaksa” AS agarmengakomodasi kepentingannya dalam bentuk memenuhi persyaratan yang diajukan sebagaimana di atas.

Sebagai imbalan, Turki juga akan mengakomodir kepentingan AS dengan menyerang kelompok ISIS yang mulai berkeliaran diwilayah perbatasannya. Bahkan rezim Bashar al- Assad di Suriah pun mempunyai kepentingan yang tak kalah strategis dari perang global melawan ISIS saat ini. Setidak-tidaknya, perang ini bisa mengurangi musuh Basahr al- Assad yang selama ini terus merongrong kekuasaannya.

Pada batas tertentu, kehadiran koalisi global dalam melawan ISIS bisa disebut sebagai kemenangan politik luar negeri rezim Bashar al-Assad. Sebagaimana dimaklumi, melalui perwakilan dan para pendukungnya di Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), rezim Bashar al-Assad selama ini kerap menuduh kelompok revolusi sebagai ”kelompok teroris” dan meminta masyarakat dunia untuk membantu rezim Bashar al- Assad.

Inilah yang kerap ditolak keras oleh kelompok revolusi Suriah yang juga kerap mendapatkan dukungan dari AS dan negara-negara sekutunya. Karena itu, koalisi global saat ini dalam memerangi ISIS dapat disebut sebagai pembenaran atas dalih politik luar negeri yang digunakan rezim Bashar al-Assad selama ini. Inilah yang penulis maksud sebagai kemenangan politik luar negeri rezim Bashar al-Assad di balik perang global melawan ISIS.

Membesarkan ISIS

Hal yang harus diperhatikan bersama, ISIS sesunguhnya terlahir akibat krisis politik berkepanjangan dan mengandung banyak kepentingan dari banyak negara dunia seperti di Suriah. Kepentingan-kepentingan itu membuat krisis politik yang ada terus berkelanjutan bahkan berkembang menjadi konflik sektarian seperti terjadi belakangan ini.

Karenanya, sebagaimana krisis politik di Suriah, perang melawan ISIS saat ini pun berpotensi berkepanjangan akibat silang kepentingan di kalangan negara-negara sekutu AS. Dan sebagaimana silang kepentingan masyarakat dunia dalam krisis Suriah telah melahirkan kelompok militan seperti ISIS, kini alasan yang sama juga bisa membuat kelompok ini semakin besar.

Diakui atau tidak, pelbagai macam persenjataan berat yang dimiliki oleh ISIS saat ini tak bisa dilepaskan dari negara-negara yang mendukung salah satu pihak yang bertikai dalam konflik Suriah, baik secara langsung ataupun tidak. Mengingat negara-negara itu kerap mempersenjatai pihak-pihak yang bertikai di sana.

Bahkan menurut sebagian sumber, sebagian dari senjata ISIS berasal dari AS, khususnya persenjataan yang digunakan oleh pasukan Irak di daerah Utara yang berhasil mereka taklukkan. Dilihat dari perkembangan yang terjadi sejauh ini, perang global melawan ISIS di Suriah dan Irak justru lebih membesarkan mereka daripada menumpasnya.

Di satu sisi, hal ini dapat dilihat dari perkembangan di lapangan dalam bentuk perluasan wilayah kekuasaan mereka yang sudah hampir mencapai Turki. Dan di sisi lain, hal ini bisa dilihat dari penyebaran simpatisan kelompok ini yang terus mewabah di banyak negara, termasuk di Indonesia.

Itu sebabnya, sebelum melanjutkan serangan yang ada, masyarakat dunia (khususnya sekutu-sekutu AS) sejatinya melakukan penertiban terlebih dahulu atas kepentingan-kepentingan para pihak terkait. Hingga perang seperti ini tak hanya menjadi ajang obral senjata canggih yang tak hanya memakan korban di sana-sini. Lebih dari itu, pelbagai macam senjata canggih yang ada justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok anarkistis seperti ISIS dalam menyebarkan ajaran kekerasan dan menistakan nilai-nilai kemanusiaan.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0876 seconds (0.1#10.140)