Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah

Selasa, 18 November 2014 - 12:27 WIB
Meneguhkan Ideologi...
Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah
A A A
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur

Pada 18 November 2014, Muhammadiyah merayakan Hari Kelahiran (Milad) Ke-102. Yang patut disyukuri, sejak didirikan hingga memasuki abad kedua ini Muhammadiyah tetap konsisten berjuang di ranah kultural.

Tidak sekalipun Muhammadiyah tergoda menjadi partai politik. Itu berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah berkiprah di bidang sosial keagamaan. Tatkala merayakan milad ada baiknya aktivis Muhammadiyah membaca ulang testimoni Nurcholish Madjid (Cak Nur).

Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam. Dilihat dari segi kelembagaannya, Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih dari organisasi Islam di mana pun dan kapan pun.

Muhammadiyah memiliki jaringan organisasi yang cukup teratur mulai pusat, provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Karena itulah, Cak Nur menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja secara nasional, tapi juga internasional.

Pernyataan Cak Nur ini sebagian dari pandangan yang bernada memuji kiprah Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis Muhammadiyah seharusnya menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai penyemangat. Apalagi kini Muhammadiyah telah melampaui usia satu abad. Selain menerima pujian, Muhammadiyah juga banyak dikritik.

Di antara pernyataan bernada kritik dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut Azra, Muhammadiyah memang layak disebut gerakan pembaru (tajdid), terutama di bidang amal usaha. Tetapi, dalam bidang pemikiran keagamaan, Muhammadiyah lebih tepat disebut gerakan salafiah. Itu karena tekanan ideologi gerakan Muhammadiyah adalah pemurnian (purifikasi) di bidang aqidah dan ibadah.

Cerminan dari usaha purifikasi Muhammadiyah tampak dalam kegiatan dakwah untuk memberantas takhayul, bidah, dan churafat (TBC). Pada level praksis, semua ahli sepakat mengatakan bahwa Muhammadiyah layak disebut gerakan pembaru. Melalui teologi al-Maal-Maun (al- Maal-Maunisme ) Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai gerakan yang sangat menekankan pentingnya amal saleh.

Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan berarti Muhammadiyah telah melaksanakan prinsip a faith with action. Dalam bahasa warga Muhammadiyah prinsip ini dikenal dengan dakwah bil hal (mengajak dengan amalan dan tindakan konkret). Muhammadiyah juga mempraktikkan ajaran sedikit berbicara banyak bekerja, berdisiplin, bekerja keras, dan tanggung jawab secara organisasi.

Khusus mengenai ajaran tanggung jawab pada organisasi ini barangkali dapat disebut sebagai yang orisinal dari Muhammadiyah. Saat Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan, bentuk pertanggungjawaban umumnya dilakukan secara individual. Melalui pertanggungjawaban secara organisatoris itu Muhammadiyah akhirnya mendapat kepercayaan dari umat.

Hasilnya, Muhammadiyah mampu melahirkan banyak amal usaha, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lain. Tetapi, justru dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan. Misalnya, energi Muhammadiyah nyaris habis hanya untuk kegiatan rutin mengurus amal usaha.

Dengan meminjam istilah beberapa intelektual muda, Muhammadiyah tampak seperti ”gajah gemuk” yang semakin lamban dalam memberikan respons terhadap tantangan zaman. Akibat itu, kontribusi pemikiran Muhammadiyah di bidang sosial keagamaan terasa sangat kurang. Pada konteks inilah Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan ilmu.

Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang konsisten menyuarakan agar Muhammadiyah mampu menyandingkan gerakan praksisme dan gerakan intelektualisme. Dengan menampilkan diri sebagai gerakan intelektual, di samping gerakan praksis, Muhammadiyah memasuki abad kedua secara cemerlang.

Itu karena intelektualisme dapat menjadi sumber energi yang luar biasa bagi Muhammadiyah, terutama dalam rangka memberikan pencerahan pada kehidupan keberagamaan di Nusantara. Diakui atau tidak wajah Islam Indonesia akhirakhir ini telah diwarnai persaingan yang sangat tajam kelompok Islam fundamentalis dan liberalis.

Kelompok Islam fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana dicontohkan generasi awal Islam telah mengalami distorsi yang luar biasa. Misalnya, simplifikasi identitas keislaman melalui simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot, dan bercelana di atas tumit. Meski beberapa identitas keislaman ini memiliki rujukan dalam ajaran Islam, menyederhanakan Islam dengan ihwal yang bersifat kategoris seperti itu jelas melenceng dari substansi ajaran Islam.

Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi ajaran juga menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya, kelompok Islam liberal dikatakan telah mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat Islam. Penerjemahan kalimat thayyibah ; la ilaha illallah dengan tiada tuhan selain Tuhan, merupakan salah satu contoh kreasi para pembaru muslim yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.

Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang senantiasa memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah dapat menampilkan diri sebagai mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi management of ideas di antara berbagai mazhab pemikiran.

Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran (school of thought) adalah mengajak mereka untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasath ). Ajakan untuk bersikap moderat ini akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak saling mengklaim kebenaran.

Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan menyaksikan wajah Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai keragaman. Karena itulah, posisi tengah (median position) inipentingsebagaitempat berpijak berbagai mazhab pemikiran.

Jika Muhammadiyah berhasil menjadi mediator yang baik bagi berbagai mazhab pemikiran keagamaan, ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan Islam Indonesia. Untuk kepentingan ini, jelas dibutuhkan seperangkat ilmu. Karena itulah, Muhammadiyah harus meneguhkan ideologinya agar mampu menjadi gerakan praksis sekaligus gerakan intelektual.

Akhirnya diucapkan selamat milad bagi warga Muhammadiyah. Semoga dengan usia lebih dari satu abad, matahari Muhammadiyah bersinar semakin terang. Dengan demikian, Muhammadiyah mampu menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah ) bagi umat, bangsa, dan negara.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0794 seconds (0.1#10.140)