Lakon DPR Dadi Ratu
A
A
A
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan bagi para pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara, bahwa trias politica itu bukan hanya merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan juga merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif .
Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan” apa, dan ”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti kitab suci bagi kaum beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala urusan sudah jelas dan tinggal perkara pelaksanaannya di dalam hidup sehari-hari.
Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan bahwa dunia sebenarnya telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa otoriter yang selamanya enggan berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek moyang kita dengan kemarahan yang bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini. Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap orang-orang zalim juga kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa mereka berbaju rohaniwan atau berlagak demokratis.
Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter yang bisa berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan waliwali. Tidak ada pesakitan yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak mungkin ada keanehan seperti itu.
Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga” bangsa kita di bidang kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang diperlihatkan DPR kita sekarang, membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka tak bisa leluasa berbuat kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terusmenerus.
Tiap saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin persis seperti kita menjaga padi disawah menjelang panen: tiap saat kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak padi kita. Orang Jawa memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana di Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung Kendalisada.
Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi. Itu tugas ”politik” paling utama yang dipanggul Anoman. Kenyataannya, roh penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk berbuat kerusakan.
Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat, kesempatan selalu muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu. Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat ibaratnya otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias politica .
Tapi sebenarnya kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit rahasia alam: roh-roh jahat itu setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di Senayan. Mereka bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak Lampir pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga.
Representasi simbolik Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya menggetarkan gunung-gunung dan menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana terus-menerus selama masa pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul lagi di Senayan.
Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh menjaga tukang copet malah mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat malah mengguncang-guncang jagat. Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak lagi bisa berbuat seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni, dibantu Durga.
Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan bahwa mereka bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu dilanjutkan lagi, seolah mereka itu pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka sendiri, siapa yang percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat.
Jika diamati baik-baik, di sana ada orangorang itu gigih membuat citra seolah dirinya paling saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat, tetapi tak kurang- kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru yang terlatih menipu.
Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka bersorak-sorai untuk merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili partai besar bebas berbuat menclamencle, plintat-plintut dalam sikap maupun dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di layar televisi, tampak wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas nama rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.
Kelihatannya semua merasa kuat dan yakin, tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkan mereka. Sebentar- sebentar mereka berteriak tentang rakyat. Tapi tidak ada orang yang mau percaya bahwa mereka membela kepentingan rakyat. Inilah tragedi politik yang terjadi di dalam lakon DPR dadi ratu. Ratu atau raja bagi siapakah mereka? Bukan raja yang diakui rakyat. Mereka ratu, raja, bagi ambisi dan keserakahan politik mereka sendiri.
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi.
Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: [email protected]
Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan bagi para pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara, bahwa trias politica itu bukan hanya merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan juga merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif .
Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan” apa, dan ”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti kitab suci bagi kaum beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala urusan sudah jelas dan tinggal perkara pelaksanaannya di dalam hidup sehari-hari.
Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan bahwa dunia sebenarnya telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa otoriter yang selamanya enggan berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek moyang kita dengan kemarahan yang bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini. Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap orang-orang zalim juga kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa mereka berbaju rohaniwan atau berlagak demokratis.
Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter yang bisa berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan waliwali. Tidak ada pesakitan yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak mungkin ada keanehan seperti itu.
Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga” bangsa kita di bidang kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang diperlihatkan DPR kita sekarang, membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka tak bisa leluasa berbuat kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terusmenerus.
Tiap saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin persis seperti kita menjaga padi disawah menjelang panen: tiap saat kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak padi kita. Orang Jawa memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana di Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung Kendalisada.
Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi. Itu tugas ”politik” paling utama yang dipanggul Anoman. Kenyataannya, roh penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk berbuat kerusakan.
Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat, kesempatan selalu muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu. Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat ibaratnya otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias politica .
Tapi sebenarnya kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit rahasia alam: roh-roh jahat itu setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di Senayan. Mereka bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak Lampir pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga.
Representasi simbolik Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya menggetarkan gunung-gunung dan menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana terus-menerus selama masa pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul lagi di Senayan.
Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh menjaga tukang copet malah mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat malah mengguncang-guncang jagat. Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak lagi bisa berbuat seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni, dibantu Durga.
Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan bahwa mereka bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu dilanjutkan lagi, seolah mereka itu pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka sendiri, siapa yang percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat.
Jika diamati baik-baik, di sana ada orangorang itu gigih membuat citra seolah dirinya paling saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat, tetapi tak kurang- kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru yang terlatih menipu.
Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka bersorak-sorai untuk merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili partai besar bebas berbuat menclamencle, plintat-plintut dalam sikap maupun dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di layar televisi, tampak wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas nama rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.
Kelihatannya semua merasa kuat dan yakin, tak ada kekuatan lain yang bisa mengalahkan mereka. Sebentar- sebentar mereka berteriak tentang rakyat. Tapi tidak ada orang yang mau percaya bahwa mereka membela kepentingan rakyat. Inilah tragedi politik yang terjadi di dalam lakon DPR dadi ratu. Ratu atau raja bagi siapakah mereka? Bukan raja yang diakui rakyat. Mereka ratu, raja, bagi ambisi dan keserakahan politik mereka sendiri.
(bbg)