Kampus dan Tragedi Narkoba
A
A
A
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya. Seorang guru besar pada universitas negeri tersohor di wilayah timur Indonesia terlibat pesta sabu.
Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang sejawat di universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya semakin terguncang. Betapa tidak? Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu mondarmandir ke universitas tersebut dalam rangka kerja sama. Selama ini tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan. Segalanya berjalan lancar, tertib, dan teratur.
Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki universitas ini dibanding universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan memiliki jabatan guru besar (profesor) sedemikian banyak. Kualitas akademik alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain, hampir pada semua lembaga negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting. Benarkah tragedi ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah jebol dilanda dekadensi moral narkoba?
*** Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua pihak agar hati-hati terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan jenis ini bukan sekadar biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya bunuh terhadap semua orang, lintas generasi, dan mampu memorak- porandakan kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun penindakannya.
Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba tidak cukup bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara mekanis-prosedural dan teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba perlu diperangi dengan komitmen tinggi berbasis visi kultural kebangsaan.
Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering dipadankan dengan ”semangat kebangsaan”. Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi yang dicapai penegak hukum, saya melihat perang terhadap narkoba selama ini seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis sehingga dapat dikatakan bahwa semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai perjuangan melawan narkoba.
Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai kegiatan teknis, terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap narkoba identik dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh pemain yang pandai dan terampil memutarkan koin, fulus, atau uang.
Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang penegak hukum dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari jeratan hukum. Kejahatan narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan merambah semua strata sosial. Perang terhadap narkoba hendaknya disadari sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai semangat kebangsaan.
Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotongroyong sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk kejahatan narkoba. Di situ akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat menentukan intensitas perang terhadap narkoba.
Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau senjata agar kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih lemah, banyak kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah perang terhadap narkoba sebab dengan berbekal semangat kebangsaan dapat secara kreatif digunakan senjata lain di luar hukum. Karakter normatif itulah senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya.
*** Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan pengajaran selama ini kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembangnya karakter normatif. Sejak kita masuk Era Reformasi, di situ karakter pragmatis, materialis, dan hedonis amat mewarnai karakter bangsa, utamanya generasi muda.
Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui caracara instan, ingin cepat sampai pada sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi bandar, pengedar, atau pengguna narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter pragmatis, materialis, dan hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas, dan perang terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah.
Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu etos Indonesia bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan, rancang bangun, dan visi yang jelas. Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo (2003), ”ibarat mengarungi samudra luas, sambil berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika tibatiba badai menerpa, dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah? Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda kehidupan kita sebagai bangsa.
Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers telah memberikan modal berharga yakni Pancasila. Sivitas akademika mestinya menjadi figur teladan, manusia bertakwa, adil, dan beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum semangat kebangsaan dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah, lingkungan, dan pendidikan tinggi.
Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan sebagai semangat kebangsaan. Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan derajat hakikatnya adalah ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan standar penilaian amal manusia bahkan sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa, semuanya adalah sarana dan sekaligus bentuk konkret ujian.
Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi secara objektif dan proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya melakukan otokritik. Kendatipun kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun secara empiris-objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit narkoba. Yuk , dengan semangat kebangsaan, kita bersihkan kampus dari narkoba. WallahuWallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya. Seorang guru besar pada universitas negeri tersohor di wilayah timur Indonesia terlibat pesta sabu.
Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang sejawat di universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya semakin terguncang. Betapa tidak? Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu mondarmandir ke universitas tersebut dalam rangka kerja sama. Selama ini tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan. Segalanya berjalan lancar, tertib, dan teratur.
Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki universitas ini dibanding universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan memiliki jabatan guru besar (profesor) sedemikian banyak. Kualitas akademik alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain, hampir pada semua lembaga negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting. Benarkah tragedi ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah jebol dilanda dekadensi moral narkoba?
*** Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua pihak agar hati-hati terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan jenis ini bukan sekadar biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya bunuh terhadap semua orang, lintas generasi, dan mampu memorak- porandakan kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun penindakannya.
Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba tidak cukup bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara mekanis-prosedural dan teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba perlu diperangi dengan komitmen tinggi berbasis visi kultural kebangsaan.
Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering dipadankan dengan ”semangat kebangsaan”. Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi yang dicapai penegak hukum, saya melihat perang terhadap narkoba selama ini seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis sehingga dapat dikatakan bahwa semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai perjuangan melawan narkoba.
Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai kegiatan teknis, terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap narkoba identik dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh pemain yang pandai dan terampil memutarkan koin, fulus, atau uang.
Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang penegak hukum dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari jeratan hukum. Kejahatan narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan merambah semua strata sosial. Perang terhadap narkoba hendaknya disadari sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai semangat kebangsaan.
Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotongroyong sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk kejahatan narkoba. Di situ akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat menentukan intensitas perang terhadap narkoba.
Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau senjata agar kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih lemah, banyak kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah perang terhadap narkoba sebab dengan berbekal semangat kebangsaan dapat secara kreatif digunakan senjata lain di luar hukum. Karakter normatif itulah senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya.
*** Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan pengajaran selama ini kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembangnya karakter normatif. Sejak kita masuk Era Reformasi, di situ karakter pragmatis, materialis, dan hedonis amat mewarnai karakter bangsa, utamanya generasi muda.
Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui caracara instan, ingin cepat sampai pada sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi bandar, pengedar, atau pengguna narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter pragmatis, materialis, dan hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas, dan perang terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah.
Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu etos Indonesia bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan, rancang bangun, dan visi yang jelas. Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo (2003), ”ibarat mengarungi samudra luas, sambil berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika tibatiba badai menerpa, dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah? Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda kehidupan kita sebagai bangsa.
Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers telah memberikan modal berharga yakni Pancasila. Sivitas akademika mestinya menjadi figur teladan, manusia bertakwa, adil, dan beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum semangat kebangsaan dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah, lingkungan, dan pendidikan tinggi.
Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan sebagai semangat kebangsaan. Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan derajat hakikatnya adalah ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan standar penilaian amal manusia bahkan sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa, semuanya adalah sarana dan sekaligus bentuk konkret ujian.
Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi secara objektif dan proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya melakukan otokritik. Kendatipun kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun secara empiris-objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit narkoba. Yuk , dengan semangat kebangsaan, kita bersihkan kampus dari narkoba. WallahuWallahualam.
(ars)