Ekspektasi Bidang Pertanian
A
A
A
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
Setelah para menteri dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (27/10/2014), rakyat menunggu pembuktian janji Jokowi saat kampanye untuk menyejahterakan warga lewat pembangunan ekonomi kerakyatan.
Presiden Jokowi memberi ekspektasi baru karena lebih memfokuskan kinerja pada pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa tidak mungkin berdaulat secara politik kalau pangannya bergantung pada impor.
Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Betapa tidak, 40 persen tenaga kerja ada di sektor pertanian. Jika sektor pertanian dikelola dengan baik, angka pengangguran bisa ditekan secara signifikan dan kesejahteraan rakyat terkatrol.
Tidak hanya itu, pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat memiliki peran yang sangat besar untuk pembangunan ekonomi nasional di tengah dunia yang kian mengglobal dan bercirikan perdagangan bebas.
Dengan meningkatkan daya saing produk pertanian, Indonesia akan lebih bermartabat dan berharga di mata dunia. Memperkuat daya saing butuh modernisasi pertanian yang terencana untuk mengoptimalkan tenaga kerja yang ada sekaligus mencegah arus urbanisasi.
Pengelolaan Terpadu
Implikasi revolusi mental sejalan dengan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 yang sudah diluncurkan Kementerian Pertanian yang memberi arah ke pengembangan bioindustri pertanian mulai dari hulu hingga hilir.
SIIP menempatkan ruang pemanfaatan biomassa untuk penyediaan energi, pupuk dan pestisida. Pendekatannya butuh pola pengelolaan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, perbaikan teknologi pengolahan pasca panen dan pengembangan produk pangan baru guna mengatrol daya saing dan nilai tambah.
Namun jika menilik ke belakang, sektor pertanian selama ini menjadi salah satu sektor yang terlupakan di tengah perkembangan sektor industri dan teknologi informasi dalam perjalanan kemajuan bangsa. Kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap PDB.
Jika tahun 2010 kontribusinya masih sebesar 15,3%, kemudian menurun menjadi 14,4% tahun 2013, hal ini disebabkan kian tingginya alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya tingkat produktivitas lahan. Sekadar contoh, produktivitas padi dua tahun terakhir trennya makin melandai. Pada tahun 2012 masih bertengger pada angka 51,36 ku/ha, lalu pada tahun 2013 peningkatannya relatif stagnan pada posisi 51,52 ku/ha (BPS, 2014).
Stagnasi produksi seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mendorong petani meningkatkan kapasitas produksinya. Memberikan ruang lebih besar bagi penciptaan tenaga kerja di sektor pengolahan (hilir) untuk mendongkrak pendapatan petani lebih baik.
Selama ini produk pertanian berhenti pada komoditas primer. Kalaupun diolah, tidak sampai memberikan nilai tambah yang tinggi. Signifikansinya untuk mengatrol kesejahteraan petani masih rendah. Konsekuensi logisnya ruang gerak usaha petani terbatas. Mereka terkonsentrasi hanya di sektor hulu atau budi daya.
Tingkat kesejahteraan petani yang jumlahnya sekitar 40 juta angkatan kerja satu kepala keluarga petani menanggung lima anggota keluarga masih jalan di tempat. Hal ini membuat sulit menekan angka kemiskinan di Indonesia. Apalagi sebagian besar petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah.
Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian ratarata berusia 49-50 tahun. Mereka sebagian tamat SD dan tidak tamat SD sehingga kemampuannya bercocok tanam mengandalkan naluri. Badan Pusat Statistik (2013) mencatat sektor pertanian secara nasional rata-rata hanya menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74%.
Pendapatan petani dari sektor pertanian per tahun hanya Rp12,41 juta per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan, jumlah itu lebih rendah daripada UMP di Nusa Tenggara Timur provinsi yang memiliki UMP terendah di Indonesia sebesar Rp1,2 juta per bulan.
Tingkat pendapatan petani yang makin menurun dari tahun ke tahun mendorong petani mulai meninggalkan usaha di sektor pertanian dan beralih ke sektor lain. Fenomena perpindahan ini sesuai dengan hasil sensus pertanian 2013, jumlah petani gurem dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013.
Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan1.000-1.999 meter persegi berkurang 52.168 RTP.
Secara ekonomi berkurangnya jumlah petani baik yang gurem maupun bukan gurem bisa menjadi kemundurans ektor pertanian. Mereka terpaksa menjual lahan dan beralih profesi karena hidup dan kehidupannya semakin termarjinalkan.
Meningkatkan Kualitas
Pembangunan pertanian berbasis revolusi mental diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil, nilai tambah dan daya saing produk pangan. Pencapaian ini diharapkan dapat mengurangi beban sektor pertanian yang kian berat.
Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga kemiskinan. Jumlah angkatan kerja nasional saat ini mencapai 125,3 juta orang. Dari jumlah ini, 40,8 juta orang terserap di sektor pertanian. Ini menunjukkan kemiskinan terbanyak masih ada di sektor pertanian dan di perdesaan.
Mentransformasi sektor pertanian ke hilirisasi pertanian secara terencana mutlak dilakukan. Hilirisasi ini akan mengatrol nilai tambah produk pertanian, meningkatkan daya saing dan membuka lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian.
Tugas mulia ini menjadi kewajiban pemerintahan Jokowi-JK untuk lima tahun ke depan. Rakyat Indonesia butuh pertanian untuk memenuhi kecukupan pangannya. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan program hilirisasi pangan nonberas berbasis umbiumbian dan kacang-kacangan sebagai bentuk keprihatinan terhadap tingginya impor bahan baku tepung terigu dan kedelai.
Hilirisasi pangan lokal untuk memproduksi beras analog berbasis umbi-umbian dan sagu misalnya akan dapat mengurangi tingkat konsumsi beras secara signifikan dan mereduksi ketergantungan yang tinggi terhadap beras impor.
Berjalannya program hilirisasi pertanian harus dibarengi suplai bahan baku di dalam negeri. Jika tidak, akan berpotensi meningkatkan impor bahan baku. Untuk itu, koordinasi lintas kementerian mutlak dilakukan untuk mengusung percepatan pembangunan pertanian bioindustri berbasis pangan lokal potensial.
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
Setelah para menteri dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (27/10/2014), rakyat menunggu pembuktian janji Jokowi saat kampanye untuk menyejahterakan warga lewat pembangunan ekonomi kerakyatan.
Presiden Jokowi memberi ekspektasi baru karena lebih memfokuskan kinerja pada pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa tidak mungkin berdaulat secara politik kalau pangannya bergantung pada impor.
Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Betapa tidak, 40 persen tenaga kerja ada di sektor pertanian. Jika sektor pertanian dikelola dengan baik, angka pengangguran bisa ditekan secara signifikan dan kesejahteraan rakyat terkatrol.
Tidak hanya itu, pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat memiliki peran yang sangat besar untuk pembangunan ekonomi nasional di tengah dunia yang kian mengglobal dan bercirikan perdagangan bebas.
Dengan meningkatkan daya saing produk pertanian, Indonesia akan lebih bermartabat dan berharga di mata dunia. Memperkuat daya saing butuh modernisasi pertanian yang terencana untuk mengoptimalkan tenaga kerja yang ada sekaligus mencegah arus urbanisasi.
Pengelolaan Terpadu
Implikasi revolusi mental sejalan dengan Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 yang sudah diluncurkan Kementerian Pertanian yang memberi arah ke pengembangan bioindustri pertanian mulai dari hulu hingga hilir.
SIIP menempatkan ruang pemanfaatan biomassa untuk penyediaan energi, pupuk dan pestisida. Pendekatannya butuh pola pengelolaan terpadu untuk meningkatkan produktivitas, perbaikan teknologi pengolahan pasca panen dan pengembangan produk pangan baru guna mengatrol daya saing dan nilai tambah.
Namun jika menilik ke belakang, sektor pertanian selama ini menjadi salah satu sektor yang terlupakan di tengah perkembangan sektor industri dan teknologi informasi dalam perjalanan kemajuan bangsa. Kontribusi sektor pertanian semakin menurun terhadap PDB.
Jika tahun 2010 kontribusinya masih sebesar 15,3%, kemudian menurun menjadi 14,4% tahun 2013, hal ini disebabkan kian tingginya alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya tingkat produktivitas lahan. Sekadar contoh, produktivitas padi dua tahun terakhir trennya makin melandai. Pada tahun 2012 masih bertengger pada angka 51,36 ku/ha, lalu pada tahun 2013 peningkatannya relatif stagnan pada posisi 51,52 ku/ha (BPS, 2014).
Stagnasi produksi seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mendorong petani meningkatkan kapasitas produksinya. Memberikan ruang lebih besar bagi penciptaan tenaga kerja di sektor pengolahan (hilir) untuk mendongkrak pendapatan petani lebih baik.
Selama ini produk pertanian berhenti pada komoditas primer. Kalaupun diolah, tidak sampai memberikan nilai tambah yang tinggi. Signifikansinya untuk mengatrol kesejahteraan petani masih rendah. Konsekuensi logisnya ruang gerak usaha petani terbatas. Mereka terkonsentrasi hanya di sektor hulu atau budi daya.
Tingkat kesejahteraan petani yang jumlahnya sekitar 40 juta angkatan kerja satu kepala keluarga petani menanggung lima anggota keluarga masih jalan di tempat. Hal ini membuat sulit menekan angka kemiskinan di Indonesia. Apalagi sebagian besar petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah.
Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian ratarata berusia 49-50 tahun. Mereka sebagian tamat SD dan tidak tamat SD sehingga kemampuannya bercocok tanam mengandalkan naluri. Badan Pusat Statistik (2013) mencatat sektor pertanian secara nasional rata-rata hanya menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74%.
Pendapatan petani dari sektor pertanian per tahun hanya Rp12,41 juta per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan, jumlah itu lebih rendah daripada UMP di Nusa Tenggara Timur provinsi yang memiliki UMP terendah di Indonesia sebesar Rp1,2 juta per bulan.
Tingkat pendapatan petani yang makin menurun dari tahun ke tahun mendorong petani mulai meninggalkan usaha di sektor pertanian dan beralih ke sektor lain. Fenomena perpindahan ini sesuai dengan hasil sensus pertanian 2013, jumlah petani gurem dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013.
Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter persegi berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan1.000-1.999 meter persegi berkurang 52.168 RTP.
Secara ekonomi berkurangnya jumlah petani baik yang gurem maupun bukan gurem bisa menjadi kemundurans ektor pertanian. Mereka terpaksa menjual lahan dan beralih profesi karena hidup dan kehidupannya semakin termarjinalkan.
Meningkatkan Kualitas
Pembangunan pertanian berbasis revolusi mental diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil, nilai tambah dan daya saing produk pangan. Pencapaian ini diharapkan dapat mengurangi beban sektor pertanian yang kian berat.
Sektor ini tidak hanya menanggung surplus tenaga kerja, tetapi juga kemiskinan. Jumlah angkatan kerja nasional saat ini mencapai 125,3 juta orang. Dari jumlah ini, 40,8 juta orang terserap di sektor pertanian. Ini menunjukkan kemiskinan terbanyak masih ada di sektor pertanian dan di perdesaan.
Mentransformasi sektor pertanian ke hilirisasi pertanian secara terencana mutlak dilakukan. Hilirisasi ini akan mengatrol nilai tambah produk pertanian, meningkatkan daya saing dan membuka lapangan kerja melalui industrialisasi hasil pertanian.
Tugas mulia ini menjadi kewajiban pemerintahan Jokowi-JK untuk lima tahun ke depan. Rakyat Indonesia butuh pertanian untuk memenuhi kecukupan pangannya. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan program hilirisasi pangan nonberas berbasis umbiumbian dan kacang-kacangan sebagai bentuk keprihatinan terhadap tingginya impor bahan baku tepung terigu dan kedelai.
Hilirisasi pangan lokal untuk memproduksi beras analog berbasis umbi-umbian dan sagu misalnya akan dapat mengurangi tingkat konsumsi beras secara signifikan dan mereduksi ketergantungan yang tinggi terhadap beras impor.
Berjalannya program hilirisasi pertanian harus dibarengi suplai bahan baku di dalam negeri. Jika tidak, akan berpotensi meningkatkan impor bahan baku. Untuk itu, koordinasi lintas kementerian mutlak dilakukan untuk mengusung percepatan pembangunan pertanian bioindustri berbasis pangan lokal potensial.
(bbg)