Kartel
A
A
A
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
Dalam dunia bisnis, kartel adalah praktik terlarang. Larangan ini bukan hanya berlaku di negara kita, tetapi juga di dunia. Kita melarangnya melalui UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Antimonopoli.
Pasal 11 UU ini menegaskan bahwa kartel termasuk kategori perjanjian yang dilarang. Apa sebetulnya kartel? Sederhananya begini. Para pelaku usaha dalam industri tertentu melakukan perjanjian atau bersekongkol untuk memengaruhi harga. Mereka bisa mengatur volume produksi, jalur pemasarannya, atau keduanya sekaligus.
Anda tentu bisa menduga akhirnya, pilihan masyarakat untuk mendapatkan barang berkualitas dengan harga yang baik hilang, pendatang-pendatang baru dalam bisnis cepat dibuat keluar, harga jual barang kebutuhan pokok jadi mahal, lalu untuk melindungi kekuatannya mereka harus menyuap aparat, terjadi korupsi, manipulasi penegakan hukum, dan seterusnya.
Salah satu praktik kartel yang pernah terungkap adalah kartel tarif SMS yang disangkakan pernah dilakukan operator telekomunikasi di Tanah Air, juga bawang putih, cengkeh, ban, garam, dan ternak sapi. Saya menilai praktik kartel semacam ini jahat-jahat terselubung. Kelihatannya baikbaik saja, seakan bukan kejahatan besar, tapi efeknya besar.
Kita harus membayar jauh di atas harga normal tanpa sadar karena tidak punya harga referensi. Kita tidak tahu ”berapa harga yang normal itu” sampai kita bisa melihat di luar negeri yang pasarnya tak sebesar kita (artinya di sini mereka bisa lebih efisien karena memperoleh skala ekonomis), harganya tak setinggi itu. Tengok saja harga bawang putih. Dalam kondisi normal, harganya tak sampai Rp20.000/ kg.
Ketika kartel bermain, harganya bisa mencapai Rp85.000. Demikianjugasaat BBPC menguasai pembelian cengkeh dari petani, harga petani hancur, tapi mereka bisa jual dengan harga mahal kepada produsen rokok. Akibatnya perkebunan cengkeh rakyat yang dulu menjadi andalan kehidupan di Sulawesi Utara dan Aceh hancur tak terurus hingga sekarang.
Celakanya tak mudah untuk mengusut praktik ini. Maaf, ibarat buang angin, baunya tercium, tetapi wujudnya tak terlihat. Kita hanya bisa merasakan dampaknya yang tidak menyenangkan.
Bisnis ke Politik
Mungkin karena terpikat oleh tingginya keuntungan, praktik kartel pun masuk ke dalam kancah politik. Kita bisa merasakannya kalau rajin ikut rapat dengar pendapat antara politisi dengan menteri yang membawa deputi atau pejabat yang mengurus perizinan.
Ini membuat dialog tak bermutu, penuh tekanan, dan Anda tentu tahu ke mana tujuannya. Di koran mereka sering berkata tak takut dipecat partainya walau menekan kabinet yang diusung partai sendiri. Alasan besarnya: demi rakyat. Padahal, itu bohong besar. Yang benar: demi periuk bisnis sendiri.
Partai-partai politik semestinya bersandar pada ideologi yang mereka anut. Namun itu tak terjadi di negara kita. Mereka kerap kali menempatkan kepentingan jangka pendek. Itu terlihat ketika partai-partai politik yang ada di DPR bersekongkol untuk melengserkan presiden yang ketika itu tengah berkuasa. Bahkan ada yang mengaku menjadi bandar para operator mesin media sosial pemeras yang baru-baru ini ditangkap polisi.
Kita juga melihat praktik kartel terjadi ketika partai-partai itu melakukan berbagai cara agar alokasi anggaran belanja pemerintah atau proyek-proyek mengalir ke mereka. Kita mengenalnya dengan sebutan ”mafia anggaran”. Mungkin karena cara-caranya tidak cerdas atau terlalu bernafsu, sebagian bisa terungkap.
Kita bisa menyaksikan sejumlah anggota DPR, para menteri, dan petinggi partai yang kena jerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian sudah divonis, sebagian lainnya ada yang masih menunggu proses persidangan. Para pelaku kartel juga berusaha sekuat tenaga untuk mencegah masuknya pendatang- pendatang baru.
Di kancah politik, mereka merancang berbagai regulasi guna mempersulit masuknya partai-partai baru dan gusar saat memilih calon komisioner KPK atau hakim agung. Orang yang baik digoreng habis-habisan tak diluluskan. Entahlah kalau pikiran kartel ini juga ada di kalangan pendidik saat memilih pemimpin- pemimpinnya. Banyak orang lugu atau berpura-pura lugu yang mudah dikendalikan kartel.
Konflik dan fitnah bisa dipakai sebagai cara untuk membuat kartel bekerja efektif. Akibat ulah kartel, siapa pun yang dipercaya akan sulit menjalankan fungsi pengawasan. Itu, misalnya, terjadi pada DPR periode 2009-2014.
Ketika itu mayoritas partai yang ada di DPR menjadi pendukung pemerintah. Kita tahu, dukungan semacam ini tidak pernah gratis. Ada harganya. Di antaranya dengan menjadi pemburu rente untuk proyek-proyek pemerintah yang ada di APBN.
Kartel vs Perubahan
Bagi pemimpin yang ingin melakukan perubahan, mereka pun harus berhadapan dengan kuatnya kartel di lingkungan internal organisasi. Saya bisa mencium baunya. Misalnya, saya sangat menghargai gagasan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan mewajibkan pejabat-pejabat di bawahnya untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ke KPK.
Saya juga sangat suka dengan gagasannya untuk membatasi transaksi tunai maksimal Rp25 juta di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saya juga melihat dampak strategis jika ebudgeting benar-benar diterapkan Pemprov DKI Jakarta. Jelas tak semua karyawan di lingkungan internal Pemprov DKI menyukai gagasan Ahok.
Selain di lingkungan Pemprov, saya juga merasakannya betapa tak semua partai atau anggota DPRD yang setuju dengannya. Preman berjubah agama saja gusar. Begitu pula para pengusaha atau perusahaan yang selama ini menjadi pemasok atau kontraktor untuk proyekproyek di lingkungan Pemprov bakal mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya.
Gaya Ahok dalam memimpin DKI tak sesuai dengan selera mereka. Kita yang berada di luar kemudian bisa merasakan bentukbentuk penolakan tersebut. Misalnya aksi-aksi demo yang menentang kepemimpinannya. Di lingkungan perusahaan swasta atau BUMN, praktikpraktik kartel yang dilakukan kalangan internal pun terjadi.
Misalnya, saya merasakan betul tekanan yang dihadapi RJ Lino ketika ingin mereformasi perusahaan yang dipimpinnya, PT Pelabuhan Indonesia II (yang kini berganti nama menjadi PT Indonesia Port Corporation). Bahkan, Lino harus menghadapi ancaman pemogokan karyawan.
Di lingkungan penegak hukum, ini yang sangat memprihatinkan, praktik kartel pun terjadi. Kita mengenalnya dengan istilah ”mafia kepolisian”, ”mafia perkara” atau ”mafia peradilan.” Belakangan di media cetak kita membaca ramainya komentar soal siapa kandidat yang layak dipilih menjadi Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan sebagian komentar, menurut saya, sudah sangat keterlaluan.
Sangat mendikte. Melihat begitu luasnya praktik-praktik kartel ini, saya melihat urgensinya kita untuk betul-betul melakukan revolusi mental. Maksudnya, tak perlu menunggu aba-aba dari pemerintah atau Presiden Jokowi, tetapi kita lakukan saja. Ayo! Jangan pelihara sekecil apa pun di mana pun kita berada.
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
Dalam dunia bisnis, kartel adalah praktik terlarang. Larangan ini bukan hanya berlaku di negara kita, tetapi juga di dunia. Kita melarangnya melalui UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Antimonopoli.
Pasal 11 UU ini menegaskan bahwa kartel termasuk kategori perjanjian yang dilarang. Apa sebetulnya kartel? Sederhananya begini. Para pelaku usaha dalam industri tertentu melakukan perjanjian atau bersekongkol untuk memengaruhi harga. Mereka bisa mengatur volume produksi, jalur pemasarannya, atau keduanya sekaligus.
Anda tentu bisa menduga akhirnya, pilihan masyarakat untuk mendapatkan barang berkualitas dengan harga yang baik hilang, pendatang-pendatang baru dalam bisnis cepat dibuat keluar, harga jual barang kebutuhan pokok jadi mahal, lalu untuk melindungi kekuatannya mereka harus menyuap aparat, terjadi korupsi, manipulasi penegakan hukum, dan seterusnya.
Salah satu praktik kartel yang pernah terungkap adalah kartel tarif SMS yang disangkakan pernah dilakukan operator telekomunikasi di Tanah Air, juga bawang putih, cengkeh, ban, garam, dan ternak sapi. Saya menilai praktik kartel semacam ini jahat-jahat terselubung. Kelihatannya baikbaik saja, seakan bukan kejahatan besar, tapi efeknya besar.
Kita harus membayar jauh di atas harga normal tanpa sadar karena tidak punya harga referensi. Kita tidak tahu ”berapa harga yang normal itu” sampai kita bisa melihat di luar negeri yang pasarnya tak sebesar kita (artinya di sini mereka bisa lebih efisien karena memperoleh skala ekonomis), harganya tak setinggi itu. Tengok saja harga bawang putih. Dalam kondisi normal, harganya tak sampai Rp20.000/ kg.
Ketika kartel bermain, harganya bisa mencapai Rp85.000. Demikianjugasaat BBPC menguasai pembelian cengkeh dari petani, harga petani hancur, tapi mereka bisa jual dengan harga mahal kepada produsen rokok. Akibatnya perkebunan cengkeh rakyat yang dulu menjadi andalan kehidupan di Sulawesi Utara dan Aceh hancur tak terurus hingga sekarang.
Celakanya tak mudah untuk mengusut praktik ini. Maaf, ibarat buang angin, baunya tercium, tetapi wujudnya tak terlihat. Kita hanya bisa merasakan dampaknya yang tidak menyenangkan.
Bisnis ke Politik
Mungkin karena terpikat oleh tingginya keuntungan, praktik kartel pun masuk ke dalam kancah politik. Kita bisa merasakannya kalau rajin ikut rapat dengar pendapat antara politisi dengan menteri yang membawa deputi atau pejabat yang mengurus perizinan.
Ini membuat dialog tak bermutu, penuh tekanan, dan Anda tentu tahu ke mana tujuannya. Di koran mereka sering berkata tak takut dipecat partainya walau menekan kabinet yang diusung partai sendiri. Alasan besarnya: demi rakyat. Padahal, itu bohong besar. Yang benar: demi periuk bisnis sendiri.
Partai-partai politik semestinya bersandar pada ideologi yang mereka anut. Namun itu tak terjadi di negara kita. Mereka kerap kali menempatkan kepentingan jangka pendek. Itu terlihat ketika partai-partai politik yang ada di DPR bersekongkol untuk melengserkan presiden yang ketika itu tengah berkuasa. Bahkan ada yang mengaku menjadi bandar para operator mesin media sosial pemeras yang baru-baru ini ditangkap polisi.
Kita juga melihat praktik kartel terjadi ketika partai-partai itu melakukan berbagai cara agar alokasi anggaran belanja pemerintah atau proyek-proyek mengalir ke mereka. Kita mengenalnya dengan sebutan ”mafia anggaran”. Mungkin karena cara-caranya tidak cerdas atau terlalu bernafsu, sebagian bisa terungkap.
Kita bisa menyaksikan sejumlah anggota DPR, para menteri, dan petinggi partai yang kena jerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebagian sudah divonis, sebagian lainnya ada yang masih menunggu proses persidangan. Para pelaku kartel juga berusaha sekuat tenaga untuk mencegah masuknya pendatang- pendatang baru.
Di kancah politik, mereka merancang berbagai regulasi guna mempersulit masuknya partai-partai baru dan gusar saat memilih calon komisioner KPK atau hakim agung. Orang yang baik digoreng habis-habisan tak diluluskan. Entahlah kalau pikiran kartel ini juga ada di kalangan pendidik saat memilih pemimpin- pemimpinnya. Banyak orang lugu atau berpura-pura lugu yang mudah dikendalikan kartel.
Konflik dan fitnah bisa dipakai sebagai cara untuk membuat kartel bekerja efektif. Akibat ulah kartel, siapa pun yang dipercaya akan sulit menjalankan fungsi pengawasan. Itu, misalnya, terjadi pada DPR periode 2009-2014.
Ketika itu mayoritas partai yang ada di DPR menjadi pendukung pemerintah. Kita tahu, dukungan semacam ini tidak pernah gratis. Ada harganya. Di antaranya dengan menjadi pemburu rente untuk proyek-proyek pemerintah yang ada di APBN.
Kartel vs Perubahan
Bagi pemimpin yang ingin melakukan perubahan, mereka pun harus berhadapan dengan kuatnya kartel di lingkungan internal organisasi. Saya bisa mencium baunya. Misalnya, saya sangat menghargai gagasan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan mewajibkan pejabat-pejabat di bawahnya untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ke KPK.
Saya juga sangat suka dengan gagasannya untuk membatasi transaksi tunai maksimal Rp25 juta di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saya juga melihat dampak strategis jika ebudgeting benar-benar diterapkan Pemprov DKI Jakarta. Jelas tak semua karyawan di lingkungan internal Pemprov DKI menyukai gagasan Ahok.
Selain di lingkungan Pemprov, saya juga merasakannya betapa tak semua partai atau anggota DPRD yang setuju dengannya. Preman berjubah agama saja gusar. Begitu pula para pengusaha atau perusahaan yang selama ini menjadi pemasok atau kontraktor untuk proyekproyek di lingkungan Pemprov bakal mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya.
Gaya Ahok dalam memimpin DKI tak sesuai dengan selera mereka. Kita yang berada di luar kemudian bisa merasakan bentukbentuk penolakan tersebut. Misalnya aksi-aksi demo yang menentang kepemimpinannya. Di lingkungan perusahaan swasta atau BUMN, praktikpraktik kartel yang dilakukan kalangan internal pun terjadi.
Misalnya, saya merasakan betul tekanan yang dihadapi RJ Lino ketika ingin mereformasi perusahaan yang dipimpinnya, PT Pelabuhan Indonesia II (yang kini berganti nama menjadi PT Indonesia Port Corporation). Bahkan, Lino harus menghadapi ancaman pemogokan karyawan.
Di lingkungan penegak hukum, ini yang sangat memprihatinkan, praktik kartel pun terjadi. Kita mengenalnya dengan istilah ”mafia kepolisian”, ”mafia perkara” atau ”mafia peradilan.” Belakangan di media cetak kita membaca ramainya komentar soal siapa kandidat yang layak dipilih menjadi Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan sebagian komentar, menurut saya, sudah sangat keterlaluan.
Sangat mendikte. Melihat begitu luasnya praktik-praktik kartel ini, saya melihat urgensinya kita untuk betul-betul melakukan revolusi mental. Maksudnya, tak perlu menunggu aba-aba dari pemerintah atau Presiden Jokowi, tetapi kita lakukan saja. Ayo! Jangan pelihara sekecil apa pun di mana pun kita berada.
(bbg)