Mengkaji Pahlawan Pilihan
A
A
A
Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 November, Jumat 7 November 2014 Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh anumerta.
Gelar yang disematkan diIstana Negara tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No. 115/TK/2014. Pahlawan Nasional itu adalah Letnan Jenderal Djamin Gintings (lahir 1921), komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan kolonialisme di Sumatera;
Sukarni Kartodiwirjo (lahir 1916), pejuang perang yang jadi ketua umum Pengurus Besar Indonesia Muda dan pegawai Departemen Propaganda (Sendenbu) zaman Jepang; Mayor Jenderal Mohamad Mangoendiprojo (lahir 1905), pamong praja yang bergabung dalam tentara Pembela Tanah Air, dan tercatat sebagai kakek Indroyono Soesilo, menteri koordinator kemaritiman Kabinet Kerja; serta KH Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888), pendiri Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi gerakan Pemuda Ansor, eyang buyut Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pengangkatan nama-nama di atas sedikit mengagetkan publik, karena keempat tokoh itu seberapa pun pantas dan besar jasanya sebelumnya nyaris tidak pernah digadangkan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul dalam perbincangan masyarakat.
Sebut saja gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin, tokoh pluralis dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Ketua Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Selain itu ada Suratin, insinyur lulusan Jerman yang berjuang lewat dunia olahraga, dengan mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI); serta Raden Saleh, pelukis pembuka modernisme kebudayaan Indonesia abad ke-19, yang diperjuangkan masuk oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro.
Bahkan HM Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia yang pernah dijuluki Bapak Pembangunan, sempat diusulkan. Sebuah pengusulan yang tumbuh menjadi wacana dan kontroversi hebat. Perbincangannya lantas dirasakan layak dijadikan refleksi tata kriteria serta eksekusi pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Pahlawan Teladan
Kandidasi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang melahirkan catatan khusus. Ini lantaran ada pihak-pihak yang kuat mendesak, sekaligus dalam waktu bersamaan ada pihak lain yang ramai-ramai menolak.
Prabowo Subianto, misalnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang berlangsung pada 3 Juni 2014 berjanji: apabila terpilih jadi presiden, ia akan memberi gelar Pahlawan Nasional untuk HM Soeharto. Karena diletupkan di tengah keriuhan pilpres, kontan wacana ini jadi tidak populer.
Joko Widodo juga pernah meluncurkan wacana ini pada Agustus 2013, atau 10 bulan sebelumnya. Kala itu selaku gubernur DKI Jakarta, ia ingin mengubah Jalan Medan Merdeka Timur jadi Jalan HM Soeharto, berbarengan dengan perubahan Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Soekarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, dan Jalan Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin.
Gubernur mengusulkan itu setelah berkonsultasi dengan Panitia 17. Semua tahu, penamaan jalan protokol Ibu Kota merupakan monumenisasi dari predikat Pahlawan Nasional yang sedang diajukan. Tujuannya, seperti halnya maksud Prabowo: rekonsiliasi antara Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sejak Joko Widodo mewacanakan, sampai Prabowo menawarkan gagasan itu lagi, banyak orang ikut menimbang. Alasannya, terlalu banyak hal yang harus dineracakan baikburuknya selama Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Reputasi Soeharto memang memenuhi salah satu kriteria pokok ”Gelar Pahlawan Nasional” Kementerian Sosial Indonesia, yang ditolakkan dari UU No 29 Tahun 2009.
Subbab kriteria ”Pahlawan Nasional” itu berbunyi: ”Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warna Negara Indonesia. Atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”
Namun, pemenuhan kriteria itu syahdan diganggu oleh reputasinya yang kurang memenuhi subbab kriteria ”Tindak Kepahlawanan”, yang berbunyi: ”Adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” Tuduhan bahwa Soeharto telah melakukan represi politik dan nepotisme disebut tidak sejalan dengan kalimat: ”...dapat dikenang dan diteladani”.
Siapa yang Memilih
Namun, walaupun kriteria itu jelas, masyarakat umum tetap tidak memiliki kekuatan penuh untuk menolak dan menerima gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada seseorang. Karena lolos dan tidaknya seorang tokoh sebagai Pahlawan Nasional pada sesi terakhir ditentukan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang disyaratkan beranggotakan (paling banyak) 13 orang.
Terdiri dari praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi terkait. Masyarakat Indonesia seharusnya percaya seratus persen kepada TP2GP, yang keputusannya merupakan refleksi dari hati nurani bangsa Indonesia. Namun, kepercayaan itu sering kikis ketika masyarakat tidak pernah tahu ”bagian dalam” TP2GP.
Siapa saja mereka yang duduk di bangku TP2GP? Apakah mereka memang memiliki kesanggupan penuh mewakili rasa dan pikiran masyarakat luas? Bagaimana kualitas pengetahuan mereka terhadap sejarah? Sejauh mana mereka mampu melihat segala kejadian bangsa dengan mata objektif? Bagaimana mentalitas mereka sehingga bisa terhindar dari sikap keberpihakan?
Dan, siapakah yang menunjuk mereka untuk menjadi wakil dari bangsa Indonesia dalam mengetuk palu keputusan? Seperti halnya sebagian masyarakat mempertanyakan, siapakah yang menunjuk anggota TP2GP era Presiden Joko Widodo, yang baru berjalan tiga minggu?
Dari pergunjingan itu, lalu banyak yang mengusulkan: alangkah baik apabila namanama calon penerima gelar Pahlawan Nasional diwacanakan dahulu jauh hari ke masyarakat banyak, sehingga daulat rakyat ikut menilai untuk kemudian ikut memilih. Seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang memandang, menilai, dan memosisikan HM Soeharto. Karena, biar bagaimanapun, junjungan atas kepahlawanan seseorang ternyata bersifat situasional. Bergantung pada atmosfer politik dan suasana sosial.
Gelar yang disematkan diIstana Negara tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No. 115/TK/2014. Pahlawan Nasional itu adalah Letnan Jenderal Djamin Gintings (lahir 1921), komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan kolonialisme di Sumatera;
Sukarni Kartodiwirjo (lahir 1916), pejuang perang yang jadi ketua umum Pengurus Besar Indonesia Muda dan pegawai Departemen Propaganda (Sendenbu) zaman Jepang; Mayor Jenderal Mohamad Mangoendiprojo (lahir 1905), pamong praja yang bergabung dalam tentara Pembela Tanah Air, dan tercatat sebagai kakek Indroyono Soesilo, menteri koordinator kemaritiman Kabinet Kerja; serta KH Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888), pendiri Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi gerakan Pemuda Ansor, eyang buyut Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pengangkatan nama-nama di atas sedikit mengagetkan publik, karena keempat tokoh itu seberapa pun pantas dan besar jasanya sebelumnya nyaris tidak pernah digadangkan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul dalam perbincangan masyarakat.
Sebut saja gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin, tokoh pluralis dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Ketua Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Selain itu ada Suratin, insinyur lulusan Jerman yang berjuang lewat dunia olahraga, dengan mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI); serta Raden Saleh, pelukis pembuka modernisme kebudayaan Indonesia abad ke-19, yang diperjuangkan masuk oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro.
Bahkan HM Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia yang pernah dijuluki Bapak Pembangunan, sempat diusulkan. Sebuah pengusulan yang tumbuh menjadi wacana dan kontroversi hebat. Perbincangannya lantas dirasakan layak dijadikan refleksi tata kriteria serta eksekusi pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Pahlawan Teladan
Kandidasi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang melahirkan catatan khusus. Ini lantaran ada pihak-pihak yang kuat mendesak, sekaligus dalam waktu bersamaan ada pihak lain yang ramai-ramai menolak.
Prabowo Subianto, misalnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang berlangsung pada 3 Juni 2014 berjanji: apabila terpilih jadi presiden, ia akan memberi gelar Pahlawan Nasional untuk HM Soeharto. Karena diletupkan di tengah keriuhan pilpres, kontan wacana ini jadi tidak populer.
Joko Widodo juga pernah meluncurkan wacana ini pada Agustus 2013, atau 10 bulan sebelumnya. Kala itu selaku gubernur DKI Jakarta, ia ingin mengubah Jalan Medan Merdeka Timur jadi Jalan HM Soeharto, berbarengan dengan perubahan Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Soekarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, dan Jalan Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin.
Gubernur mengusulkan itu setelah berkonsultasi dengan Panitia 17. Semua tahu, penamaan jalan protokol Ibu Kota merupakan monumenisasi dari predikat Pahlawan Nasional yang sedang diajukan. Tujuannya, seperti halnya maksud Prabowo: rekonsiliasi antara Orde Baru dan Orde Reformasi.
Sejak Joko Widodo mewacanakan, sampai Prabowo menawarkan gagasan itu lagi, banyak orang ikut menimbang. Alasannya, terlalu banyak hal yang harus dineracakan baikburuknya selama Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Reputasi Soeharto memang memenuhi salah satu kriteria pokok ”Gelar Pahlawan Nasional” Kementerian Sosial Indonesia, yang ditolakkan dari UU No 29 Tahun 2009.
Subbab kriteria ”Pahlawan Nasional” itu berbunyi: ”Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warna Negara Indonesia. Atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”
Namun, pemenuhan kriteria itu syahdan diganggu oleh reputasinya yang kurang memenuhi subbab kriteria ”Tindak Kepahlawanan”, yang berbunyi: ”Adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” Tuduhan bahwa Soeharto telah melakukan represi politik dan nepotisme disebut tidak sejalan dengan kalimat: ”...dapat dikenang dan diteladani”.
Siapa yang Memilih
Namun, walaupun kriteria itu jelas, masyarakat umum tetap tidak memiliki kekuatan penuh untuk menolak dan menerima gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada seseorang. Karena lolos dan tidaknya seorang tokoh sebagai Pahlawan Nasional pada sesi terakhir ditentukan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang disyaratkan beranggotakan (paling banyak) 13 orang.
Terdiri dari praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi terkait. Masyarakat Indonesia seharusnya percaya seratus persen kepada TP2GP, yang keputusannya merupakan refleksi dari hati nurani bangsa Indonesia. Namun, kepercayaan itu sering kikis ketika masyarakat tidak pernah tahu ”bagian dalam” TP2GP.
Siapa saja mereka yang duduk di bangku TP2GP? Apakah mereka memang memiliki kesanggupan penuh mewakili rasa dan pikiran masyarakat luas? Bagaimana kualitas pengetahuan mereka terhadap sejarah? Sejauh mana mereka mampu melihat segala kejadian bangsa dengan mata objektif? Bagaimana mentalitas mereka sehingga bisa terhindar dari sikap keberpihakan?
Dan, siapakah yang menunjuk mereka untuk menjadi wakil dari bangsa Indonesia dalam mengetuk palu keputusan? Seperti halnya sebagian masyarakat mempertanyakan, siapakah yang menunjuk anggota TP2GP era Presiden Joko Widodo, yang baru berjalan tiga minggu?
Dari pergunjingan itu, lalu banyak yang mengusulkan: alangkah baik apabila namanama calon penerima gelar Pahlawan Nasional diwacanakan dahulu jauh hari ke masyarakat banyak, sehingga daulat rakyat ikut menilai untuk kemudian ikut memilih. Seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang memandang, menilai, dan memosisikan HM Soeharto. Karena, biar bagaimanapun, junjungan atas kepahlawanan seseorang ternyata bersifat situasional. Bergantung pada atmosfer politik dan suasana sosial.
(bbg)