Mengukur Kebahagiaan
A
A
A
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Jika ekonom sering meneliti indeks prestasi ekonomi seseorang atau bangsa dengan pendekatan kuantitatif, kalangan psikolog akhir-akhir ini melengkapinya dengan melakukan penelitian tingkat kebahagiaan seseorang atau masyarakat.
Kalangan psikolog berangkat dari sebuah pertanyaan dan keraguan, benarkah tingkat kekayaan materi seseorang serta-merta mendatangkan kebahagiaan? Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang lebih bahagia? Beberapa eksperimentasi penelitian tentang kebahagiaan itu diceritakan oleh Richard Wiseman dalam 59 Seconds, Think a little, change a lot (2009) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Pustaka Alvabet 2014).
Suatu hari karyawan sebuah perusahaan memperoleh bonus uang. Selang beberapa bulan kemudian mereka itu disurvei, untuk mengukur seberapa besar dampak bonus uang tadi terhadap emosi rasa bahagianya. Secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok membelanjakan uangnya untuk membeli barang, kelompok yang lain untuk membeli pengalaman hidup, semisal rekreasi mengunjungi daerah wisata atau tempat lain yang baru.
Masing-masing dibagi pertanyaan untuk menjawab tingkat kesenangan dengan bonusnya tadi. Hasilnya? Ternyata mereka yang membeli pengalaman baru seperti berwisata kesan kebahagiaannya lebih tinggi dan lebih lama–bahkan masih tersimpan. Sementara yang membeli barang kebahagiaannya hanya berlangsung sebentar. Terlebih lagi ketika melihat barang sejenis, produk mutakhir, maka kebanggaannya kian menurun. Diceritakanlah orang yang membelanjakan uangnya untuk berwisata.
Ketika bertemu teman atau orang yang juga pernah berkunjung ke tempat yang sama, mereka bisa berbagi kesan dan pengalaman, meskipun kunjungannya itu sudah lama. Saya pun lalu teringat orangorang tua dari desa yang pernah pergi haji. Setiap ketemu teman atau tetangga yang baru pulang haji, kenangan indah itu seakan muncul kembali, lalu mereka terlibat obrolan yang asyik dan penuh antusias.
Biaya pergi haji sekitar Rp35 juta rupiah itu telah memberikan deposito kebahagiaan yang sekali-sekali mudah dibuka dan dirasakan kembali. Kalau saja uang sebesar itu dibelikan benda yang tidak produktif, sekadar memenuhi selera kepemilikan terhadap barang baru, pasti durasi kesenangannya amat pendek. Karena nilai sebuah barang akan terkena penyusutan, seperti mobil yang harga jualnya pasti turun setelah dipakai.
Apa yang diceritakan kembali oleh Richard Wiseman itu juga mengingatkan saya pada teman-teman yang pernah melakukan perjalanan wisata bareng, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa bulan lalu bersama sekitar 30 orang saya jalan-jalan ke Eropa, mengunjungi lima negara dengan kendaraan bus.
Setiap membuka kembali album foto-fotonya, atau ketemu teman seperjalanan, kenangan indah itu muncul kembali, serasa ingin mengulanginya lagi. Begitu pun ketika dua minggu lalu bersama teman-teman berkunjung ke Belitung dengan pantainya yang bersih dan indah, tempat syuting film Laskar Pelangi, kenangan itu masih terasa sampai sekarang. Jadi,jumlah uang yang sama, ketika dibelanjakan akan mendatangkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan batin yang berbeda.
Membeli pengalaman hidup yang baru itu rupanya lebih tinggi dan tahan lama tingkat kebahagiaannya ketimbang membeli barang yang bersifat sekunder atau konsumtif. Lebih lanjut Richard Wiseman meneliti, mengapa orang lebih senang membeli barang yang bermerek atau bergengsi ketimbang untuk membeli pengalaman? Lagi-lagi, beberapa temuannya cukup menarik diketahui, meskipun tidak selalu benar dan sesuai dengan budaya Indonesia.
Menurutnya, mereka yang memilih belanja barang ketika mendapatkan bonus, diduga kuat memiliki hubungan dengan masa kecilnya yang kurang bahagia dan kurang percaya diri sehingga memerlukan kompensasi berupa barang berharga untuk mendongkrak tingkat percaya dirinya. Temuan survei ini tentu saja bisa benar, bisa salah. Namun kita pun dengan mudah bisa melakukan pengamatan sendiri terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Benarkah mereka yang senang membeli barang bermerek itu memiliki hubungan dengan defisit percaya diri di masa lalunya? Kalau saja asumsi teoretis ini digunakan untuk meneliti para pejabat tinggi negara dan kalangan anggota DPR di Senayan, mungkin teori ini patah, tidak valid. Saya rasa mereka itu bermental pejuang, jauh dari sikap materialistik.
Namun bisa juga justru semakin memperkuat kebenaran teori ini. Bahwa membeli mobil dan barang-barang mewah itu mencerminkan kualitas pribadinya yang terbentuk tidak dengan tiba-tiba. Pesan pokok dari cerita survei di atas ialah setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia, karena orang yang bahagia lebih kreatif dan tidak mengancam bagi lingkungannya.
Mereka lebih senang memberi, bukannya meminta dan menerima. Yang pasti, rakyat akan senang jika para pemimpinnya itu kaya harta dan kaya hati, sehingga lebih ikhlas mencintai dan melayani rakyatnya. Bukannya meminta, tetapi memberi. Bukanya menindas, tetapi menolong dan menyelamatkan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
Jika ekonom sering meneliti indeks prestasi ekonomi seseorang atau bangsa dengan pendekatan kuantitatif, kalangan psikolog akhir-akhir ini melengkapinya dengan melakukan penelitian tingkat kebahagiaan seseorang atau masyarakat.
Kalangan psikolog berangkat dari sebuah pertanyaan dan keraguan, benarkah tingkat kekayaan materi seseorang serta-merta mendatangkan kebahagiaan? Faktor-faktor apa sajakah yang membuat seseorang lebih bahagia? Beberapa eksperimentasi penelitian tentang kebahagiaan itu diceritakan oleh Richard Wiseman dalam 59 Seconds, Think a little, change a lot (2009) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Pustaka Alvabet 2014).
Suatu hari karyawan sebuah perusahaan memperoleh bonus uang. Selang beberapa bulan kemudian mereka itu disurvei, untuk mengukur seberapa besar dampak bonus uang tadi terhadap emosi rasa bahagianya. Secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok membelanjakan uangnya untuk membeli barang, kelompok yang lain untuk membeli pengalaman hidup, semisal rekreasi mengunjungi daerah wisata atau tempat lain yang baru.
Masing-masing dibagi pertanyaan untuk menjawab tingkat kesenangan dengan bonusnya tadi. Hasilnya? Ternyata mereka yang membeli pengalaman baru seperti berwisata kesan kebahagiaannya lebih tinggi dan lebih lama–bahkan masih tersimpan. Sementara yang membeli barang kebahagiaannya hanya berlangsung sebentar. Terlebih lagi ketika melihat barang sejenis, produk mutakhir, maka kebanggaannya kian menurun. Diceritakanlah orang yang membelanjakan uangnya untuk berwisata.
Ketika bertemu teman atau orang yang juga pernah berkunjung ke tempat yang sama, mereka bisa berbagi kesan dan pengalaman, meskipun kunjungannya itu sudah lama. Saya pun lalu teringat orangorang tua dari desa yang pernah pergi haji. Setiap ketemu teman atau tetangga yang baru pulang haji, kenangan indah itu seakan muncul kembali, lalu mereka terlibat obrolan yang asyik dan penuh antusias.
Biaya pergi haji sekitar Rp35 juta rupiah itu telah memberikan deposito kebahagiaan yang sekali-sekali mudah dibuka dan dirasakan kembali. Kalau saja uang sebesar itu dibelikan benda yang tidak produktif, sekadar memenuhi selera kepemilikan terhadap barang baru, pasti durasi kesenangannya amat pendek. Karena nilai sebuah barang akan terkena penyusutan, seperti mobil yang harga jualnya pasti turun setelah dipakai.
Apa yang diceritakan kembali oleh Richard Wiseman itu juga mengingatkan saya pada teman-teman yang pernah melakukan perjalanan wisata bareng, baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa bulan lalu bersama sekitar 30 orang saya jalan-jalan ke Eropa, mengunjungi lima negara dengan kendaraan bus.
Setiap membuka kembali album foto-fotonya, atau ketemu teman seperjalanan, kenangan indah itu muncul kembali, serasa ingin mengulanginya lagi. Begitu pun ketika dua minggu lalu bersama teman-teman berkunjung ke Belitung dengan pantainya yang bersih dan indah, tempat syuting film Laskar Pelangi, kenangan itu masih terasa sampai sekarang. Jadi,jumlah uang yang sama, ketika dibelanjakan akan mendatangkan tingkat kebahagiaan dan kepuasan batin yang berbeda.
Membeli pengalaman hidup yang baru itu rupanya lebih tinggi dan tahan lama tingkat kebahagiaannya ketimbang membeli barang yang bersifat sekunder atau konsumtif. Lebih lanjut Richard Wiseman meneliti, mengapa orang lebih senang membeli barang yang bermerek atau bergengsi ketimbang untuk membeli pengalaman? Lagi-lagi, beberapa temuannya cukup menarik diketahui, meskipun tidak selalu benar dan sesuai dengan budaya Indonesia.
Menurutnya, mereka yang memilih belanja barang ketika mendapatkan bonus, diduga kuat memiliki hubungan dengan masa kecilnya yang kurang bahagia dan kurang percaya diri sehingga memerlukan kompensasi berupa barang berharga untuk mendongkrak tingkat percaya dirinya. Temuan survei ini tentu saja bisa benar, bisa salah. Namun kita pun dengan mudah bisa melakukan pengamatan sendiri terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Benarkah mereka yang senang membeli barang bermerek itu memiliki hubungan dengan defisit percaya diri di masa lalunya? Kalau saja asumsi teoretis ini digunakan untuk meneliti para pejabat tinggi negara dan kalangan anggota DPR di Senayan, mungkin teori ini patah, tidak valid. Saya rasa mereka itu bermental pejuang, jauh dari sikap materialistik.
Namun bisa juga justru semakin memperkuat kebenaran teori ini. Bahwa membeli mobil dan barang-barang mewah itu mencerminkan kualitas pribadinya yang terbentuk tidak dengan tiba-tiba. Pesan pokok dari cerita survei di atas ialah setiap orang pasti menginginkan hidup bahagia, karena orang yang bahagia lebih kreatif dan tidak mengancam bagi lingkungannya.
Mereka lebih senang memberi, bukannya meminta dan menerima. Yang pasti, rakyat akan senang jika para pemimpinnya itu kaya harta dan kaya hati, sehingga lebih ikhlas mencintai dan melayani rakyatnya. Bukannya meminta, tetapi memberi. Bukanya menindas, tetapi menolong dan menyelamatkan.
(bbg)