Kebijakan Satu Pintu
A
A
A
Persoalan klasik di bidang investasi berupa perizinan yang berbelit- belit akibat birokrasi rumit masih menjadi kendala serius bagi investor.
Pihak swasta yang berminat terlibat dalam pembangunan infrastruktur tak jarang mundur teratur karena persoalan klasik tersebut masih selalu menjadi salah satu penghambat utama. Dalam acara Infrastructure Week 2014 di JCC, Senayan, Jakarta, yang digelar kemarin, persoalan perizinan karena birokrasi rumit kembali menyita perhatian para pengusaha.
Persoalan klasik tersebut mereduksi keinginan pemerintah untuk mengatasi keterbatasan anggaran pembangunan infrastruktur yang jauh dari kebutuhan. Tahun ini anggaran infrastruktur yang dipatok dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp206 triliun dan tahun depan mengerut menjadi Rp169 triliun.
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi seandainya pihak swasta tidak dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur. Selama ini respons pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur tak diragukan lagi baik investor domestik maupun pemodal asing. Namun, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan. Itu diakui Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto.
“Swasta ingin masuk, tetapi perizinan masih menjadi kendala,” kata Suryo. Karena itu, pihak swasta meminta pemerintah selain menyederhanakan perizinan dengan memangkas hambatan birokrasi, juga harus memunculkan terobosan yang inisiatif untuk memberi ruang gerak yang nyaman bagi investor. Masalah birokrasi yang masih menghambat pembangunan infrastruktur dari tahun ke tahun oleh Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dinilai sungguh sangat menyedihkan.
Wapres bahkan mengakui, selain masalah birokrasi yang rumit, masih terdapat dua persoalan lagi yang menjadi momok bagi kalangan investor sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi yakni bunga kredit perbankan yang tinggi dan biaya logistik yang mahal. Perdebatan tentang bunga kredit perbankan selalu muncul di permukaan, bahkan telah melahirkan berbagai kebijakan.
Namun, bunga kredit tetap tinggi dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Sebenarnya pemerintah sudah paham apa yang harus dilakukan untuk memutar roda perekonomian lebih kencang lagi. Sedangkan menyangkut biaya logistik yang mahal ditengarai salah satu pemicu bagi kalangan pengusaha untuk ramai-ramai menjadi importir.
Biaya logistik untuk komoditas terutama pangan di dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan mendatangkan pangan dari luar negeri. Karena itu, Wapres Jusuf Kalla optimistis pertumbuhan ekonomi sekitar 7% hingga 8% bisa terealisasi bila faktor penghambat tersebut bisa diminimalkan. “Peluang tumbuh perekonomian sangat besar,” ucap Jusuf Kalla saat membuka acara Infrastructure Week 2014 kemarin.
Pertanyaannya, kira-kira butuh berapa waktu untuk menyehatkan birokrasi, menurunkan bunga kredit perbankan yang ideal untuk dunia usaha, dan membuat biaya logistik lebih murah yang bisa mengalihkan perhatian importir menggarap komoditas pangan di dalam negeri. Tenggat waktu meminimalisasi tiga penghambat pertumbuhan perekonomian tersebut wajib ditegaskan.
Tidak cukup sekadar pengenalan masalah. Apalagi pemerintah baru ini mengklaim bahwa Indonesia masih menjadi primadona investasi pemodal asing. Kabarnya, tak kurang dari 20 perusahaan global di bidang jasa keuangan yang masuk dalam daftar 20-20 Investment Association siap membenamkan modal di negeri ini. Kelompok investor tersebut berafiliasi dengan The East-West Institute yang beranggotakan puluhan korporasi kelas kakap.
Kelompok pemodal yang berminat masuk ke Indonesia, sebagaimana dipublikasi pemerintah, mengelola dana sekitar USD8 triliun atau sekitar Rp96.000 triliun. Bayangkan, kalau pemerintah berhasil mengalihkan dana investor tersebut cukup 10% saja, dana yang akan berputar di dalam negeri sekitar Rp9.600 triliun.
Tetapi, kembali lagi, sejauh mana langkah pemerintah mengatasi birokrasi yang lambat dan rumit itu. Penyederhanaan kebijakan izin melalui satu pintu dan satu atap sudah lama dicanangkan, tetapi hasilnya belum maksimal sebab masih banyak pintu lain yang tetap terbuka.
Pihak swasta yang berminat terlibat dalam pembangunan infrastruktur tak jarang mundur teratur karena persoalan klasik tersebut masih selalu menjadi salah satu penghambat utama. Dalam acara Infrastructure Week 2014 di JCC, Senayan, Jakarta, yang digelar kemarin, persoalan perizinan karena birokrasi rumit kembali menyita perhatian para pengusaha.
Persoalan klasik tersebut mereduksi keinginan pemerintah untuk mengatasi keterbatasan anggaran pembangunan infrastruktur yang jauh dari kebutuhan. Tahun ini anggaran infrastruktur yang dipatok dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp206 triliun dan tahun depan mengerut menjadi Rp169 triliun.
Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi seandainya pihak swasta tidak dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur. Selama ini respons pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur tak diragukan lagi baik investor domestik maupun pemodal asing. Namun, realisasi di lapangan masih jauh dari harapan. Itu diakui Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto.
“Swasta ingin masuk, tetapi perizinan masih menjadi kendala,” kata Suryo. Karena itu, pihak swasta meminta pemerintah selain menyederhanakan perizinan dengan memangkas hambatan birokrasi, juga harus memunculkan terobosan yang inisiatif untuk memberi ruang gerak yang nyaman bagi investor. Masalah birokrasi yang masih menghambat pembangunan infrastruktur dari tahun ke tahun oleh Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla dinilai sungguh sangat menyedihkan.
Wapres bahkan mengakui, selain masalah birokrasi yang rumit, masih terdapat dua persoalan lagi yang menjadi momok bagi kalangan investor sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi yakni bunga kredit perbankan yang tinggi dan biaya logistik yang mahal. Perdebatan tentang bunga kredit perbankan selalu muncul di permukaan, bahkan telah melahirkan berbagai kebijakan.
Namun, bunga kredit tetap tinggi dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Sebenarnya pemerintah sudah paham apa yang harus dilakukan untuk memutar roda perekonomian lebih kencang lagi. Sedangkan menyangkut biaya logistik yang mahal ditengarai salah satu pemicu bagi kalangan pengusaha untuk ramai-ramai menjadi importir.
Biaya logistik untuk komoditas terutama pangan di dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan mendatangkan pangan dari luar negeri. Karena itu, Wapres Jusuf Kalla optimistis pertumbuhan ekonomi sekitar 7% hingga 8% bisa terealisasi bila faktor penghambat tersebut bisa diminimalkan. “Peluang tumbuh perekonomian sangat besar,” ucap Jusuf Kalla saat membuka acara Infrastructure Week 2014 kemarin.
Pertanyaannya, kira-kira butuh berapa waktu untuk menyehatkan birokrasi, menurunkan bunga kredit perbankan yang ideal untuk dunia usaha, dan membuat biaya logistik lebih murah yang bisa mengalihkan perhatian importir menggarap komoditas pangan di dalam negeri. Tenggat waktu meminimalisasi tiga penghambat pertumbuhan perekonomian tersebut wajib ditegaskan.
Tidak cukup sekadar pengenalan masalah. Apalagi pemerintah baru ini mengklaim bahwa Indonesia masih menjadi primadona investasi pemodal asing. Kabarnya, tak kurang dari 20 perusahaan global di bidang jasa keuangan yang masuk dalam daftar 20-20 Investment Association siap membenamkan modal di negeri ini. Kelompok investor tersebut berafiliasi dengan The East-West Institute yang beranggotakan puluhan korporasi kelas kakap.
Kelompok pemodal yang berminat masuk ke Indonesia, sebagaimana dipublikasi pemerintah, mengelola dana sekitar USD8 triliun atau sekitar Rp96.000 triliun. Bayangkan, kalau pemerintah berhasil mengalihkan dana investor tersebut cukup 10% saja, dana yang akan berputar di dalam negeri sekitar Rp9.600 triliun.
Tetapi, kembali lagi, sejauh mana langkah pemerintah mengatasi birokrasi yang lambat dan rumit itu. Penyederhanaan kebijakan izin melalui satu pintu dan satu atap sudah lama dicanangkan, tetapi hasilnya belum maksimal sebab masih banyak pintu lain yang tetap terbuka.
(bbg)