DPR & Pertaruhan Demokrasi
A
A
A
DR GUN GUN HERYANTO
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Visiting Researcher di University of Western Sydney
Beberapa hari ini, di tengah aktivitas akademis yang sedang dilakukan di University of Western Sydney (UWS), penulis menyimak pemberitaan tentang politik Indonesia melalui media-media Australia terutama televisi. Salah satu topik hangat beberapa televisi Australia menyangkut Indonesia adalah soal munculnya pimpinan DPR “tandingan”. Mereka bisa memaklumi konteks DPR yang terbelah menjadi kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Meskipun demokrasi selalu melibatkan kontestasi, jelas tergambar keheranan mereka terkait munculnya pimpinan DPR “tandingan” tersebut. Ulasan berita bernada sinis terkait hal ini, sesungguhnya sangat bisa dimaklumi, karena fenomena yang sama juga disikapi secara kritis di berbagai media dalam negeri. Jika dibiarkan terusmenerus, hal ini menjadi pertaruhan berisiko bagi demokrasi Indonesia dan reputasi kita di dunia internasional.
Wakil Rakyat?
Indonesia memang memasuki fase pemerintahan terbelah (divided government). Satu kondisi yang merujuk pada apa yang kerap terjadi di Amerika Serikat. Partai yang menguasai Kongres adalah partai yang berseberangan dengan partai yang mengusung presiden. Hal berisiko dari situasi semacam ini adalah zero-sum game. Kedua belah pihak sama-sama ngotot, dan lebih mementingkan kelompoknya sendiri-sendiri dan berprinsip “kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Salah satu contoh tak simpatik mengemuka di DPR lewat drama pimpinan DPR “tandingan”. Memang kekesalan dalam pertarungan perebutan pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan lainnya pasti berimbas pada suasana di DPR, terlebih polarisasi tajam di DPR itu sudah terbentuk lama terutama saat rangkaian proses pemilu presiden dimulai. Titik kulminasi politik nasional sempat mencair, terutama saat Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Ada perjumpaan politik Jokowi dan Prabowo beserta sejumlah elite lain di DPR maupun MPR. Namun saat itu, penulis memprediksi bahwa suasana kekitaan antarelite tersebut tetap tidak akan menghilangkan rivalitas tajam antara KIH dan KMP.
DPR sejatinya adalah wakil rakyat bukan wakil elite politisi! Artinya sejak mereka ditahbiskan sebagai wakil rakyat yang terhormat, maka sejak itu pula mereka harus berkhidmat pada urusan rakyat bukan semata golongan. Dalam ranah intelektualitas, terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632–1704) dan Montesquieu (1689–1755). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan.
Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini merupakan perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Rakyat kecil atau masyarakat biasa dibiarkan untuk berjuang sendirian, tanpa akses pada proses pembuatan undang-undang.
Sementara dalam perspektif Montesquieu dalam mahakaryanya Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia.
Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat, sehingga lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris) atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Versi Locke tampak lebih elitis dan tersegmentasi di kaum bangsawan sementara Montesquieu lebih melihat konsep perwakilan secara luas dan merata hingga ke rakyat jelata. Secara konseptual, sistem perwakilan DPR kita mengacu pada konsep Trias Politikanya Montesquieu. Hal ini kita buktikan dengan sistem Pemilu langsung yang telah kita gelar. Artinya setiap politisi partai yang ada di DPR mewakili sejumlah konstituen di dapil masing- masing. Lebih maju lagi, tak semua politisi yang memperoleh suara di dapil bisa langsung melenggang ke Senayan jika partainya tak lolos parliamentary threshold (PT).
Namun demikian, dalam praktik politik sejak Orde Baru hingga sekarang, DPR kita lebih mirip dengan konsep perwakilan versi Locke yakni sebagai perwakilan bangsawan. Sejumlah hal yang kini diperjuangkan DPR nyaris kepentingan elitis yang jauh dari kehendak untuk melindungi atau menyejahterakan rakyat, meski kata rakyat kerap dijadikan komoditi. Yang menonjol justru sejumlah agenda dan kepentingan kelompok menengah dan menengah atas, yang menghendaki perlindungan hukum di balik sejumlah produk perundang-undangan serta fungsi pengawasan dan penganggaran DPR.
Manajemen Kehormatan
Seharusnya, DPR meminjam pendapat John van Mannen dan Stephen Barley (1985) mampu mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama ialah ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan outputkinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. DPR baru pun lebih banyak diramaikan hanya oleh perebutan posisi, kubu-kubuan dll. Hal yang harusnya diubah segera oleh para anggota DPR baru adalah menunjukkan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat. Sehingga, DPR benar-benar menjadi wakil rakyat.
Domain kedua, menyangkut jaringan atau interaksi diferensial (differential interaction). Dalam konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak lain. Yang menarik adalah, jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan checks and balances melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Hanya yang mengkhawatirkan, para politisi DPR tak cukup dewasa berpolitik sehingga saling menyandera satu dengan lainnya.
Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR baik pribadi maupun kolektif, harus paham dan konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkukuh elitisme. Amanah rakyat telah dipegang oleh mereka untuk dioptimalkan menjadi kerja nyata dalam satu periode jabatan. Kehormatan tak muncul serta-merta, melainkan harus diatur dan dikendalikan melalui berbagai tindakan individual yang relevan dengan fungsi mereka sebagai wakil rakyat, bukan wakil kaum bangsawan!
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Visiting Researcher di University of Western Sydney
Beberapa hari ini, di tengah aktivitas akademis yang sedang dilakukan di University of Western Sydney (UWS), penulis menyimak pemberitaan tentang politik Indonesia melalui media-media Australia terutama televisi. Salah satu topik hangat beberapa televisi Australia menyangkut Indonesia adalah soal munculnya pimpinan DPR “tandingan”. Mereka bisa memaklumi konteks DPR yang terbelah menjadi kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Meskipun demokrasi selalu melibatkan kontestasi, jelas tergambar keheranan mereka terkait munculnya pimpinan DPR “tandingan” tersebut. Ulasan berita bernada sinis terkait hal ini, sesungguhnya sangat bisa dimaklumi, karena fenomena yang sama juga disikapi secara kritis di berbagai media dalam negeri. Jika dibiarkan terusmenerus, hal ini menjadi pertaruhan berisiko bagi demokrasi Indonesia dan reputasi kita di dunia internasional.
Wakil Rakyat?
Indonesia memang memasuki fase pemerintahan terbelah (divided government). Satu kondisi yang merujuk pada apa yang kerap terjadi di Amerika Serikat. Partai yang menguasai Kongres adalah partai yang berseberangan dengan partai yang mengusung presiden. Hal berisiko dari situasi semacam ini adalah zero-sum game. Kedua belah pihak sama-sama ngotot, dan lebih mementingkan kelompoknya sendiri-sendiri dan berprinsip “kalah jadi abu, menang jadi arang”.
Salah satu contoh tak simpatik mengemuka di DPR lewat drama pimpinan DPR “tandingan”. Memang kekesalan dalam pertarungan perebutan pimpinan DPR, MPR, dan alat kelengkapan Dewan lainnya pasti berimbas pada suasana di DPR, terlebih polarisasi tajam di DPR itu sudah terbentuk lama terutama saat rangkaian proses pemilu presiden dimulai. Titik kulminasi politik nasional sempat mencair, terutama saat Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Ada perjumpaan politik Jokowi dan Prabowo beserta sejumlah elite lain di DPR maupun MPR. Namun saat itu, penulis memprediksi bahwa suasana kekitaan antarelite tersebut tetap tidak akan menghilangkan rivalitas tajam antara KIH dan KMP.
DPR sejatinya adalah wakil rakyat bukan wakil elite politisi! Artinya sejak mereka ditahbiskan sebagai wakil rakyat yang terhormat, maka sejak itu pula mereka harus berkhidmat pada urusan rakyat bukan semata golongan. Dalam ranah intelektualitas, terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632–1704) dan Montesquieu (1689–1755). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Namun demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan.
Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini merupakan perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadap-hadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Rakyat kecil atau masyarakat biasa dibiarkan untuk berjuang sendirian, tanpa akses pada proses pembuatan undang-undang.
Sementara dalam perspektif Montesquieu dalam mahakaryanya Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politika ini lantas menjadi rujukan penting negara-negara di dunia.
Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini merupakan lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat, sehingga lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris) atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Versi Locke tampak lebih elitis dan tersegmentasi di kaum bangsawan sementara Montesquieu lebih melihat konsep perwakilan secara luas dan merata hingga ke rakyat jelata. Secara konseptual, sistem perwakilan DPR kita mengacu pada konsep Trias Politikanya Montesquieu. Hal ini kita buktikan dengan sistem Pemilu langsung yang telah kita gelar. Artinya setiap politisi partai yang ada di DPR mewakili sejumlah konstituen di dapil masing- masing. Lebih maju lagi, tak semua politisi yang memperoleh suara di dapil bisa langsung melenggang ke Senayan jika partainya tak lolos parliamentary threshold (PT).
Namun demikian, dalam praktik politik sejak Orde Baru hingga sekarang, DPR kita lebih mirip dengan konsep perwakilan versi Locke yakni sebagai perwakilan bangsawan. Sejumlah hal yang kini diperjuangkan DPR nyaris kepentingan elitis yang jauh dari kehendak untuk melindungi atau menyejahterakan rakyat, meski kata rakyat kerap dijadikan komoditi. Yang menonjol justru sejumlah agenda dan kepentingan kelompok menengah dan menengah atas, yang menghendaki perlindungan hukum di balik sejumlah produk perundang-undangan serta fungsi pengawasan dan penganggaran DPR.
Manajemen Kehormatan
Seharusnya, DPR meminjam pendapat John van Mannen dan Stephen Barley (1985) mampu mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama ialah ecological context yang merupakan dunia fisik, termasuk di dalamnya lokasi, waktu dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan outputkinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. DPR baru pun lebih banyak diramaikan hanya oleh perebutan posisi, kubu-kubuan dll. Hal yang harusnya diubah segera oleh para anggota DPR baru adalah menunjukkan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat. Sehingga, DPR benar-benar menjadi wakil rakyat.
Domain kedua, menyangkut jaringan atau interaksi diferensial (differential interaction). Dalam konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak lain. Yang menarik adalah, jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan checks and balances melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Hanya yang mengkhawatirkan, para politisi DPR tak cukup dewasa berpolitik sehingga saling menyandera satu dengan lainnya.
Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR baik pribadi maupun kolektif, harus paham dan konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkukuh elitisme. Amanah rakyat telah dipegang oleh mereka untuk dioptimalkan menjadi kerja nyata dalam satu periode jabatan. Kehormatan tak muncul serta-merta, melainkan harus diatur dan dikendalikan melalui berbagai tindakan individual yang relevan dengan fungsi mereka sebagai wakil rakyat, bukan wakil kaum bangsawan!
(bbg)