Musyawarah dan Voting
A
A
A
Musyawarah dan voting selalu terasa merdu dan syahdu didengar kala panggung kehidupan berbangsa dan bernegara merindukan keputusan-keputusan besar.
Kini, entah karena rindu itu atau bukan, kedua kata itu didendangkan sedemikian hebatnya oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH dan KMP, dua poros kekuatan politik besar yang terbentuk, entah disengaja atau tidak, yang kini menghiasi, tidak hanya di kehidupan DPR, melainkan juga bangsa ini, jujur bukan tak memiliki faedah demokratis. Kelak gejala ini dapat meneguhkan prinsip pemerintahan partai, tetapi ambisi yang menyala-nyala bisa menjungkirbalikkan semuanya.
Mengelola Ambisi
KIH, untuk sebagian orang ditahbiskan sebagai pendukung pemerintah, nyatanya mengalami kekalahan beruntun dalam sejumlah isu di DPR. Sebaliknya KMP, yang ditahbiskan bukan lawan, melainkan pengimbang pemerintah, terus menang dalam serangkaian pertempuran di DPR.
Menang kalah, adu kuat, kuat-kuatan, tak terasa kini muncul menjadi tabiat politik dalam pertempuran itu. Akankah tabiat yang mulai menggejala ini melembaga dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik, khususnya di DPR? Rasanya tabiat itu bukan sesuatu yang pantas dirindukan.
Yang dirindukan orang, tentu sesuai akal sehat, tidak lain adalah ditemukannya cara-cara berkelas khas orang-orang berkelas menyelesaikan soal-soal besar. Partai politik, dan orang partai yang kebetulan menjadi anggota DPR, tak hanya harus berjibaku dengan keharusan-keharusan konvensional untuk mengagregasi dan memformulasi kemauan rakyat yang beragam itu, melainkan lebih dari itu.
Mereka harus menemukan halhal menawan, mengagumkan, bahkan membuat orang takjub untuk didedikasikan kepada bangsa ini. Bangsa bukan sekadar satu kesatuan hukum, apalagi administrasi, tetapi juga satu kesatuan budaya, kesatuan rasa tentang hari esok yang indah nan gemilang dalam semua aspek.
Deliberasi rasa itu, mau atau tidak, suka atau tidak, harus dikenali dengan sungguh-sungguh oleh partai politik, dan orangorang partai di DPR untuk dirumuskan dan diputuskan untuk dikerjakan pemerintah, dan mengawasinya. Diakui, rasa dan mimpimimpi itu tidak selalu mudah dirumuskan dan diberi bentuk. Perkaranya sederhana, selalu ada ambisi dari setiap partai atau anggota DPR, entah karena ideologi atau hal lainnya.
Ambisi-ambisi ini, apa pun yang merangsangnya, mau atau tidak, harus dikelola. Ambisi, mungkin seperti tesis Alexander Hamilton, salah seorang eksponen kenamaan dalam Phliadelphia Constitutional Convention 1787, harus dilawan dengan ambisi pula. Menghadap-hadapkan ambisi dengan ambisi, tentu bertujuan agar ambisi itu tidak berubah menjadi tirani; mayoritas atau minoritas.
Berhasrat semulia itu, mengantarkan para perumus konstitusi Amerika menemukan cara rumit, tetapi gemilang. Caranya adalah memberi kerangka normatif atas ambisi-ambisi itu melalui hukum, konstitusi. Kerangka normatif itu berfungsi sebagai pemandunya. Musyawarah mufakat atau voting adalah cara mengelola ambisi-ambisi, yang diberi kerangka kerja normatif.
Kerangka kerja normatif itu dirumuskan sangat eksplisit dalam UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sering disebut UU MD3. Kepatuhan pada kerangka kerja ini akan menjadi tabiat indah dan memberi sumbangan signifikan atas mekarnya elan esensial demokrasi-harkat dan martabat manusia.
Renungkan dan Kenalilah
Bukan karena bermusyawarah itu sama maknanya dengan mendekatkan yang jauh, mempersempit perbedaan dan menemukan titik temu yang elok, melainkan bermusyawarah juga sama maknanya dengan mendemonstrasikan elan kesantunan dan keagungan budi demokrasi.
Berdemokrasi bukan sekadar menata kelembagaan, tetapi berdemokrasi juga sama maknanya dengan memanggungkan kerinduan akan hidupnya akal budi. Memandu kehidupan kebangsaan dengan akal budi, yang dalam kasus kita terpancar dari sila demi sila dalam Pancasila, memang tidak selalu harus memutuskan hal ihwal berbangsa dan bernegara dengan cara musyawarah untuk mufakat. Tetapi tetap saja harus diusahakan sekuat tenaga, sesungguh- sungguhnya.
Kala tak berujung manis, maka memutuskannya dengan cara pemungutan suara, voting, harus dilihat sebagai cara yang sama manisnya dalam esensi. Bangsa ini indah karena pernah dilintasi dengan cara itu. Rapat Panitia Perancang Undang- Undang Dasar 1945 pada tanggal 11Juli1945, yang dipimpin Bung Karno, proklamator dan negarawan yang dikagumi dunia ini, pernah menggunakannya.
Dikutip oleh Mohammad Yamin dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945, sebagai berikut.Ketua: mengulangi lagi bahwa kalimat itu kompromistis antara golongan kebangsaan dan Islam, yang hanya didapat dengan susah payah. Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam Preambule dianggap diterima.
Usai mengemukakan kalimat itu Bung Karno melanjutkan, yang dalam kata-katanya tergambar, betapa hal yang diputuskan itu diambil dengan cara voting. Kata Bung Karno, dimajukan soal pimpinan negara di tangan satu orang atau beberapa orang, panitia menyetujui satu orang, diterima dengan 10 suara setuju, 9 suara tidak setuju. Dimajukan soal nama kepala negara, nama presiden diterima oleh panitia dengan 12 suara (Mohammad Yamin, Jilid I, 1952, halaman 259).
Kenalilah sejarah seanggun dan semenawan itu, resapilah hakikatnya dan agunglah seutuhnya, niscaya tidak muncul rasionalitas tirani minoritas dan mayoritas. Keagungan sejarah itu tak memungkinkan 200 orang anggota DPR, sebut saja begitu, mungkin yang tergabung dalam KIH hanya datang pada saat paripurna. Tetapi membuat DPR baru, tandingan, sama dengan meminta pemerintah berhenti bekerja. Itu lantaran skema relasi fungsi konstitusional hanya memungkinkan pemerintah bekerja dengan satu organ DPR.
Konstitusionalisme ini mesti dirawat dengan akal budi demokrasi. Kisruh ini, jujur mesti diakhiri, dan untuk tujuan itu, hidupkanlah akal budi demokrasi. Mengawasi pemerintah itu penting, sama pentingnya dengan saling mengawasi dalam organ legislatif. Jangan undang datangnya tirani. ●
MARGARITO KAMIS
Doktor Tata Negara, Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
Kini, entah karena rindu itu atau bukan, kedua kata itu didendangkan sedemikian hebatnya oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH dan KMP, dua poros kekuatan politik besar yang terbentuk, entah disengaja atau tidak, yang kini menghiasi, tidak hanya di kehidupan DPR, melainkan juga bangsa ini, jujur bukan tak memiliki faedah demokratis. Kelak gejala ini dapat meneguhkan prinsip pemerintahan partai, tetapi ambisi yang menyala-nyala bisa menjungkirbalikkan semuanya.
Mengelola Ambisi
KIH, untuk sebagian orang ditahbiskan sebagai pendukung pemerintah, nyatanya mengalami kekalahan beruntun dalam sejumlah isu di DPR. Sebaliknya KMP, yang ditahbiskan bukan lawan, melainkan pengimbang pemerintah, terus menang dalam serangkaian pertempuran di DPR.
Menang kalah, adu kuat, kuat-kuatan, tak terasa kini muncul menjadi tabiat politik dalam pertempuran itu. Akankah tabiat yang mulai menggejala ini melembaga dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik, khususnya di DPR? Rasanya tabiat itu bukan sesuatu yang pantas dirindukan.
Yang dirindukan orang, tentu sesuai akal sehat, tidak lain adalah ditemukannya cara-cara berkelas khas orang-orang berkelas menyelesaikan soal-soal besar. Partai politik, dan orang partai yang kebetulan menjadi anggota DPR, tak hanya harus berjibaku dengan keharusan-keharusan konvensional untuk mengagregasi dan memformulasi kemauan rakyat yang beragam itu, melainkan lebih dari itu.
Mereka harus menemukan halhal menawan, mengagumkan, bahkan membuat orang takjub untuk didedikasikan kepada bangsa ini. Bangsa bukan sekadar satu kesatuan hukum, apalagi administrasi, tetapi juga satu kesatuan budaya, kesatuan rasa tentang hari esok yang indah nan gemilang dalam semua aspek.
Deliberasi rasa itu, mau atau tidak, suka atau tidak, harus dikenali dengan sungguh-sungguh oleh partai politik, dan orangorang partai di DPR untuk dirumuskan dan diputuskan untuk dikerjakan pemerintah, dan mengawasinya. Diakui, rasa dan mimpimimpi itu tidak selalu mudah dirumuskan dan diberi bentuk. Perkaranya sederhana, selalu ada ambisi dari setiap partai atau anggota DPR, entah karena ideologi atau hal lainnya.
Ambisi-ambisi ini, apa pun yang merangsangnya, mau atau tidak, harus dikelola. Ambisi, mungkin seperti tesis Alexander Hamilton, salah seorang eksponen kenamaan dalam Phliadelphia Constitutional Convention 1787, harus dilawan dengan ambisi pula. Menghadap-hadapkan ambisi dengan ambisi, tentu bertujuan agar ambisi itu tidak berubah menjadi tirani; mayoritas atau minoritas.
Berhasrat semulia itu, mengantarkan para perumus konstitusi Amerika menemukan cara rumit, tetapi gemilang. Caranya adalah memberi kerangka normatif atas ambisi-ambisi itu melalui hukum, konstitusi. Kerangka normatif itu berfungsi sebagai pemandunya. Musyawarah mufakat atau voting adalah cara mengelola ambisi-ambisi, yang diberi kerangka kerja normatif.
Kerangka kerja normatif itu dirumuskan sangat eksplisit dalam UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, sering disebut UU MD3. Kepatuhan pada kerangka kerja ini akan menjadi tabiat indah dan memberi sumbangan signifikan atas mekarnya elan esensial demokrasi-harkat dan martabat manusia.
Renungkan dan Kenalilah
Bukan karena bermusyawarah itu sama maknanya dengan mendekatkan yang jauh, mempersempit perbedaan dan menemukan titik temu yang elok, melainkan bermusyawarah juga sama maknanya dengan mendemonstrasikan elan kesantunan dan keagungan budi demokrasi.
Berdemokrasi bukan sekadar menata kelembagaan, tetapi berdemokrasi juga sama maknanya dengan memanggungkan kerinduan akan hidupnya akal budi. Memandu kehidupan kebangsaan dengan akal budi, yang dalam kasus kita terpancar dari sila demi sila dalam Pancasila, memang tidak selalu harus memutuskan hal ihwal berbangsa dan bernegara dengan cara musyawarah untuk mufakat. Tetapi tetap saja harus diusahakan sekuat tenaga, sesungguh- sungguhnya.
Kala tak berujung manis, maka memutuskannya dengan cara pemungutan suara, voting, harus dilihat sebagai cara yang sama manisnya dalam esensi. Bangsa ini indah karena pernah dilintasi dengan cara itu. Rapat Panitia Perancang Undang- Undang Dasar 1945 pada tanggal 11Juli1945, yang dipimpin Bung Karno, proklamator dan negarawan yang dikagumi dunia ini, pernah menggunakannya.
Dikutip oleh Mohammad Yamin dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945, sebagai berikut.Ketua: mengulangi lagi bahwa kalimat itu kompromistis antara golongan kebangsaan dan Islam, yang hanya didapat dengan susah payah. Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam Preambule dianggap diterima.
Usai mengemukakan kalimat itu Bung Karno melanjutkan, yang dalam kata-katanya tergambar, betapa hal yang diputuskan itu diambil dengan cara voting. Kata Bung Karno, dimajukan soal pimpinan negara di tangan satu orang atau beberapa orang, panitia menyetujui satu orang, diterima dengan 10 suara setuju, 9 suara tidak setuju. Dimajukan soal nama kepala negara, nama presiden diterima oleh panitia dengan 12 suara (Mohammad Yamin, Jilid I, 1952, halaman 259).
Kenalilah sejarah seanggun dan semenawan itu, resapilah hakikatnya dan agunglah seutuhnya, niscaya tidak muncul rasionalitas tirani minoritas dan mayoritas. Keagungan sejarah itu tak memungkinkan 200 orang anggota DPR, sebut saja begitu, mungkin yang tergabung dalam KIH hanya datang pada saat paripurna. Tetapi membuat DPR baru, tandingan, sama dengan meminta pemerintah berhenti bekerja. Itu lantaran skema relasi fungsi konstitusional hanya memungkinkan pemerintah bekerja dengan satu organ DPR.
Konstitusionalisme ini mesti dirawat dengan akal budi demokrasi. Kisruh ini, jujur mesti diakhiri, dan untuk tujuan itu, hidupkanlah akal budi demokrasi. Mengawasi pemerintah itu penting, sama pentingnya dengan saling mengawasi dalam organ legislatif. Jangan undang datangnya tirani. ●
MARGARITO KAMIS
Doktor Tata Negara, Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate
(ars)