Hijrah dari Pencitraan ke Kerja

Sabtu, 25 Oktober 2014 - 19:49 WIB
Hijrah dari Pencitraan...
Hijrah dari Pencitraan ke Kerja
A A A
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim.

Presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK), telah dilantik. Yang patut disyukuri, pelantikan Jokowi-JK terlaksana dalam suasana penuh khidmat dan kehangatan. Hampir tidak ada kesan perseteruan antara partaipartai politik pendukung Jokowi- JK yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Bahkan kompetitor Jokowi-JK saat pilpres lalu, Prabowo- Hatta, juga hadir.

Tidak mengherankan jika pemimpin dunia, terutama dari negara tetangga, menyambut pelantikan Jokowi-JK dengan penuh optimisme. Mereka berharap dapat menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia. Itu karena sebagai negara terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis. Pada konteks inilah visi internasional Presiden Jokowi benar-benar diuji.

Tidak ketinggalan, rakyat pun menyambut pelantikan Jokowi- JK dengan sangat antusias. Acara tasyakuran yang digelar Jokowi-JK bersama tim relawan di ibu kota negara tampak sangat meriah. Tidak hanya di ibu kota, berbagai lapisan masyarakat dari penjuru tanah air juga turut memeriahkan perayaan tasyakuran. Rangkaian kegiatan itu menunjukkan bahwa dunia dan rakyat di antero negeri menaruh harapan pada kepemimpinan Jokowi-JK.

Saat menyampaikan pidato kenegaraan yang pertama, Jokowi mengajak seluruh elemen bangsa untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Jokowi mengingatkan bahwa persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks. Jika semua elemen bersinergi maka Indonesia akan lebih hebat dan bermartabat. Kini kompetisi antarelite politik telah berakhir. Saatnya semua elemen bersatu untuk membangun negeri.

Pelantikan Jokowi-JK hampir bersamaan waktunya dengan perayaan tahun baru Islam, 1 Muharram 1436 Hijriah (25 Oktober 2014). Itu berarti Jokowi- JK dapat menjadikan spirit tahun baru Islam sebagai pemicu untuk bekerja dengan sepenuh hati. Untuk mewujudkan Indonesia lebih hebat dan bermartabat, kata kuncinya adalah mau atau tidak mau, bukan bisa atau tidak bisa. Dengan spirit tahun baru Islam, elemen bangsa ini harus diajak menatap masa depan dengan optimistis.

Sejarah penentuan tahun baru Islam mengajarkan agar kita menjalani hidup dengan optimistis. Diceritakan bahwa penentuan tahun baru Islam bermula saat Umar bin Khattab menjadi khalifah. Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Para pemimpin di daerah kekuasaan Islam datang silih berganti untuk memberikan laporan pada khalifah. Umar melihat ada yang membingungkan dari laporan itu karena tidak disertai tanggal dan waktu. Umar pun mengundang para sahabat untuk menentukan kalender Islam.

Berbagai usulan disampaikan dalam pertemuan. Sebagian mengusulkan agar kalender Islam dimulai saat Muhammad SAW dilahirkan. Usulan ini ditolak karena saat seseorang dilahirkan pasti belum menunjukkan prestasi. Bahkan Muhammad belum diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Kelahiran Muhammad dari segi peristiwa dan waktu juga tergolong biasa-biasa saja. Kelahiran Muhammad tidak seheboh Isa al-Masih yang lahir tanpa ayah. Jadi, tidak ada makna yang dapat memberi kesan mendalam dalam peristiwa kelahiran Muhammad.

Juga muncul usulan yang menghendaki agar wafatnya Muhammad dijadikan patokan penentuan kalender Islam. Usulan ini pun ditolak Umar karena kematian justru menandakan akhir perjalanan hidup seseorang. Dengan kata lain, kematian seseorang sekaligus menjadi akhir dari capaian prestasinya. Karena itu kematian tidak layak untuk diperingati. Umar lantas mengajukan usulan agar kalender Islam dihitung sejak peristiwa hijrahnya Nabi. Usulan itulah yang kemudian disepakati para sahabat.

Pilihan peristiwa hijrahnya Nabi sebagai patokan kalender Islam memberikan dua makna penting. Pertama , sebagai pengakuan terhadap prestasi Nabi dan sahabat.Kedua, untuk menumbuhkan spirit optimisme. Dikatakan pengakuan terhadap prestasi karena pada saat hijrah, Nabi dan para sahabat telah menunjukkan prestasi gemilang saat berdakwah di Mekkah.

Hijrahnya Nabi juga bermakna untuk menumbuhkan optimisme dalam diri sahabat setelah mengalami masa-masa sulit di Mekkah. Dengan berhijrah ke Yatsrib (Madinah), berarti ada harapan bahwa Islam akan berkembang lebih baik.

Penentuan kalender Islam yang dimulai dari peristiwa hijrah juga mengajarkan bahwa yang terpenting dalam hidup adalah berprestasi atau beramal (QS Al-Najm : 39-40). Rasanya ajaran tentang beramal inilah yang sangat fundamental dalam semua agama. Ajaran ini juga menegaskan bahwa keberadaan seseorang dinilai bukan berdasar prestise, status sosial, dan keturunan, melainkan prestasi atau kinerjanya.

Karena yang terpenting dari seseorang adalah prestasinya maka setiap pribadi dituntut untuk melahirkan amal yang bermanfaat. Melalui amal itulah seseorang akan dikenang meskipun telah meninggal dunia. Itulah yang terjadi pada pribadi-pribadi agung semacam Muhammad, Isa al-Masih, serta tokoh besar lainnya. Mereka dikenang karena telah membawa perubahan besar dalam sejarah peradaban umat.

Itu berarti jika Jokowi-JK ingin dikenang bangsa ini sebagai pemimpin pembawa perubahan, yang harus ditunjukkan adalah bekerja keras memperbaiki kondisi bangsa. Kini euforia dan harapan rakyat begitu tinggi pada Jokowi-JK. Jika Jokowi-JK sukses menunaikan janjinya, terutama mewujudkan Indonesia Sehat dan Indonesia Pintar, dukungan rakyat pasti mengalir.

Sebaliknya, jika gagal memenuhi harapan rakyat, Jokowi- JK harus siap menerima kritik. Pendukung dan tim relawan juga harus legawa jika Jokowi- JK dikritik. Semua kritik itu harus dipahami sebagai wujud sayang rakyat pada pemimpinnya. Jokowi-JK harus membuktikan diri sebagai pemimpin yang lahir dari rakyat, bukan sekedar pencitraan. Jokowi- JK juga harus menjauhi gaya kepemimpinan pemberi harapan palsu (PHP) atau pemberi angin sorga (ansor).

Kini yang harus ditunjukkan Jokowi-JK adalah bersinergi untuk bekerja lebih baik, bukan sekedar pencitraan. Jika itu yang dilakukan maka sejarah pasti mencatat Jokowi- JK dengan tinta emas. Rakyat pasti akan mengenang presiden ketujuh RI layaknya pahlawan pembawa perubahan.

Karena itu Jokowi-JK harus menjadikan perayaan Tahun Baru Islam sebagai momentum untuk berhijrah dari politik pencitraan menjadi bekerja, bekerja, dan bekerja. Itu relevan dengan pernyataan Jokowi bahwa pencitraan akan muncuk jika pemimpinnya mau bekerja keras.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5682 seconds (0.1#10.140)