Harapan Kinerja Hukum Pemerintahan Jokowi-JK
A
A
A
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Sampai kemarin harap-harap cemas mengenai siapa calon menteri, khususnya bidang hukum dan penegakan hukum, amat terasa bukan bagi ahli hukum saja, melainkan juga pemangku kepentingan lain seperti kalangan pengusaha nasional dan asing. Mengapa? Alasan sederhana, karena mereka ingin Indonesia dihormati sebagai negara yang cinta damai, aman, dan nyaman serta setiap aktivitas selalu terlindungi secara hukum.
Keinginan tersebut tentu bersifat universal pada setiap bangsa dan di semua negara. Keinginan dimaksud tidak selalu tercapai dan bagi Indonesia, setelah melampaui masa pemerintahan enam presiden juga masih jauh dari harapan tersebut.
Mengapa? jawaban atas pertanyaan sangat kompleks, tidak cukup satu dua halaman, bahkan mungkin ratusan halaman jawaban sekalipun sulit menjawabnya.
Tampaknya pemimpin nasional Indonesia kewalahan membenahi masalah hukum dan penegakan hukum. Bukan mereka tidak mau, namun tidak mampu disebabkan tidak berjiwa hukum dalam setiap kebijakan politik di segala bidang. Apamaksudnya? Berjiwahukum adalah memandang hukum tidak sekadar norma dan logika semata, tetapi sebagai sebuah nilai (values) yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila di dalam penyusunan dan pembahasan setiap rancangan UU dan keputusan politik.
Dalam pengamatan penulis, nilai tersebut telah ditinggalkan. Sekalipun dalam bab “mengingat” setiap UU selalu dicantumkan UUD 1945, tetapi dalam penyusunan dan pembahasan RUU dilupakan. Alasannya hanya karena tidak cocok dengan nilai baru (modern) yang intinya bersumber pada filsafat liberalistik individualistik dan berpihak pada kaum pemilik modal (kapitalis). Konteks ini bertentangan secara diametral dengan keberpihakan pada paham musyawarah dan mufakat dan gotong royong yang bertujuan menyejahterakan sekitar 240 juta jiwa rakyat Indonesia.
Siapa yang tidak tahu masalah ini tentu hanya berpurapura tidak tahu, apalagi pejabat negara yang ketika disumpah menyatakan akan setia pada Pancasila dan UUD 1945. Namun apa lacur, kenyataan hidup pemerintahan kita selama enam kali masanya mempunyai arah lain yang dianggap lebih penting dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
Sebanyak 35% rakyat miskin tentu tidak mengetahui, lagi pula tidak perlu mengetahui kecuali perutnya terisi setiap hari dan esok lusa ada jaminan untuk tetap hidup lebih baik dari semula.
Namun, pemimpin dalam bidang hukum sejatinya mengawal perjalanan kebijakan bidang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan dengan segala ramifikasinya. Bukan sebaliknya, hanya ingin menunjukkan kuasa hukum semata, apalagi dibarengi arogansi kekuasaan bak Petruk jadi ratu.
Masyarakat Indonesia termasuk patrilineal, bukan matrilineal, sehingga seyogianya para pendamping pimpinan nasional sampai jajaran di bawahnya tidak “mendominasi”, apalagi berperilaku sebagai “kepala kantor” karena baikburuknya dan berhasil atau tidaknya kinerja suami adalah berada pada beban suaminya itu.
Dalam bahasa birokrasi di Indonesia, ada pepatah “jika jalan depan susah bisa jalan belakang”, sudah menjadi “tradisi” pada setiap pergantian pemerintahan, tentunya kita tidak tahu komisi apalagi yang patut mengawasi masalah ini.
Dalam konteks persaingan usaha yang didambakan sehat dan tidak curang, apalagi melibatkan korporasi asing, tentu korporasi nasional harus waspada dan menjaga kualitas kinerja menjauhi dari perbuatan suap untuk memperoleh proyek. Karena sudah banyak kasus baik di KPK dan kejaksaan, korporasi terlibat tindak pidana termasuk korupsi.
Namun di balik itu semua, tidak semua kasus korporasi adalah murni pidana melainkan juga ada yang dilatarbelakangi persaingan usaha (bisnis) mungkin khas di Indonesia saja.
Petinggi hukum harus waspada terhadap iklim persaingan usaha baik antara korporasi nasional dan asing atau antarkorporasi asing, karena ada beberapa kasus korporasi disponsori oleh korporasi pesaingnya dengan tujuan menghancurkan kredibilitas korporasi melalui penetapan pengurusnya sebagai tersangka dan terdakwa. Dari sana bisa terjadi aset korporasi disita dan akhirnya dirampas dengan putusan pengadilan. Dan, dampak negatifnya adalah karyawan di-PHK dan devisa dan pajak badan sirna karenanya. Dalam kasus seperti ini, jelas kerugian keuangan negara menjadi lima kali lipat dan unik karena negara telah menimbulkan kerugian bagi negaranya.
Pak Jokowi dan JK, penulis dan tentu semua ahli hukum mendambakan pemimpin yang perhatian terhadap masalah hukum sebagaimana penulis uraikan di atas, khususnya dalam bidang perpajakan yang bak benang kusut. Di satu sisi, penerimaan pajak (dalam negeri/ luar negeri) tidak pernah memenuhi target dalam setiap APBN dengan alasan jumlah wajib pajak (WP) yang baru mencapai 20 juta orang, dan kurangnya pegawai pajak berbanding jumlah penduduk (seharusnya jumlah WP). Selain itu, sistem otomasi perpajakan belum efektif sampai tingkat kecamatan/kabupaten/ kota. Di sisi lain, “hanky-panky “ fiskus dan WP masih belum berhenti mungkin akibat “selfassessment“ yang disalahgunakan. Selain itu operasi perpajakan belum dapat menyentuh jaringan tersembunyi antara fiskus, atasan fiskus,dan WP.
Pemerintah SBY telah mengeluarkan empat Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi, alih-alih korupsi cepat diberantas, malahan korupsinya meningkat semakin cepat. Revisi UU KUP dan UU Tipikor sangat mendesak agar dapat dibenahi mana perbuatan fiskus atau WP yang murni sengketa pajak, pidana pajak atau termasuk tindak pidana korupsi. Sampai saat ini, pembedaan tegas belum jelas karena UUnya dan iklim dunia usaha menjadi gamang khawatir berimbas menjadi korupsi hanya karena ada kerugian keuangan negara.
Visi dan misi hukum Indonesia ke depan seharusnya berbasis pada “cost and benefit ratio“ bukan hanya semata mata pada penilaian “benar (right) atau salah (wrong) karena penilaian pertama telah gagal secara signifikan membangun masyarakat yang sejahtera, aman, nyaman dan damai.
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
Sampai kemarin harap-harap cemas mengenai siapa calon menteri, khususnya bidang hukum dan penegakan hukum, amat terasa bukan bagi ahli hukum saja, melainkan juga pemangku kepentingan lain seperti kalangan pengusaha nasional dan asing. Mengapa? Alasan sederhana, karena mereka ingin Indonesia dihormati sebagai negara yang cinta damai, aman, dan nyaman serta setiap aktivitas selalu terlindungi secara hukum.
Keinginan tersebut tentu bersifat universal pada setiap bangsa dan di semua negara. Keinginan dimaksud tidak selalu tercapai dan bagi Indonesia, setelah melampaui masa pemerintahan enam presiden juga masih jauh dari harapan tersebut.
Mengapa? jawaban atas pertanyaan sangat kompleks, tidak cukup satu dua halaman, bahkan mungkin ratusan halaman jawaban sekalipun sulit menjawabnya.
Tampaknya pemimpin nasional Indonesia kewalahan membenahi masalah hukum dan penegakan hukum. Bukan mereka tidak mau, namun tidak mampu disebabkan tidak berjiwa hukum dalam setiap kebijakan politik di segala bidang. Apamaksudnya? Berjiwahukum adalah memandang hukum tidak sekadar norma dan logika semata, tetapi sebagai sebuah nilai (values) yang dapat mencerminkan nilai-nilai Pancasila di dalam penyusunan dan pembahasan setiap rancangan UU dan keputusan politik.
Dalam pengamatan penulis, nilai tersebut telah ditinggalkan. Sekalipun dalam bab “mengingat” setiap UU selalu dicantumkan UUD 1945, tetapi dalam penyusunan dan pembahasan RUU dilupakan. Alasannya hanya karena tidak cocok dengan nilai baru (modern) yang intinya bersumber pada filsafat liberalistik individualistik dan berpihak pada kaum pemilik modal (kapitalis). Konteks ini bertentangan secara diametral dengan keberpihakan pada paham musyawarah dan mufakat dan gotong royong yang bertujuan menyejahterakan sekitar 240 juta jiwa rakyat Indonesia.
Siapa yang tidak tahu masalah ini tentu hanya berpurapura tidak tahu, apalagi pejabat negara yang ketika disumpah menyatakan akan setia pada Pancasila dan UUD 1945. Namun apa lacur, kenyataan hidup pemerintahan kita selama enam kali masanya mempunyai arah lain yang dianggap lebih penting dan bermanfaat bagi kehidupan rakyatnya.
Sebanyak 35% rakyat miskin tentu tidak mengetahui, lagi pula tidak perlu mengetahui kecuali perutnya terisi setiap hari dan esok lusa ada jaminan untuk tetap hidup lebih baik dari semula.
Namun, pemimpin dalam bidang hukum sejatinya mengawal perjalanan kebijakan bidang lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan dengan segala ramifikasinya. Bukan sebaliknya, hanya ingin menunjukkan kuasa hukum semata, apalagi dibarengi arogansi kekuasaan bak Petruk jadi ratu.
Masyarakat Indonesia termasuk patrilineal, bukan matrilineal, sehingga seyogianya para pendamping pimpinan nasional sampai jajaran di bawahnya tidak “mendominasi”, apalagi berperilaku sebagai “kepala kantor” karena baikburuknya dan berhasil atau tidaknya kinerja suami adalah berada pada beban suaminya itu.
Dalam bahasa birokrasi di Indonesia, ada pepatah “jika jalan depan susah bisa jalan belakang”, sudah menjadi “tradisi” pada setiap pergantian pemerintahan, tentunya kita tidak tahu komisi apalagi yang patut mengawasi masalah ini.
Dalam konteks persaingan usaha yang didambakan sehat dan tidak curang, apalagi melibatkan korporasi asing, tentu korporasi nasional harus waspada dan menjaga kualitas kinerja menjauhi dari perbuatan suap untuk memperoleh proyek. Karena sudah banyak kasus baik di KPK dan kejaksaan, korporasi terlibat tindak pidana termasuk korupsi.
Namun di balik itu semua, tidak semua kasus korporasi adalah murni pidana melainkan juga ada yang dilatarbelakangi persaingan usaha (bisnis) mungkin khas di Indonesia saja.
Petinggi hukum harus waspada terhadap iklim persaingan usaha baik antara korporasi nasional dan asing atau antarkorporasi asing, karena ada beberapa kasus korporasi disponsori oleh korporasi pesaingnya dengan tujuan menghancurkan kredibilitas korporasi melalui penetapan pengurusnya sebagai tersangka dan terdakwa. Dari sana bisa terjadi aset korporasi disita dan akhirnya dirampas dengan putusan pengadilan. Dan, dampak negatifnya adalah karyawan di-PHK dan devisa dan pajak badan sirna karenanya. Dalam kasus seperti ini, jelas kerugian keuangan negara menjadi lima kali lipat dan unik karena negara telah menimbulkan kerugian bagi negaranya.
Pak Jokowi dan JK, penulis dan tentu semua ahli hukum mendambakan pemimpin yang perhatian terhadap masalah hukum sebagaimana penulis uraikan di atas, khususnya dalam bidang perpajakan yang bak benang kusut. Di satu sisi, penerimaan pajak (dalam negeri/ luar negeri) tidak pernah memenuhi target dalam setiap APBN dengan alasan jumlah wajib pajak (WP) yang baru mencapai 20 juta orang, dan kurangnya pegawai pajak berbanding jumlah penduduk (seharusnya jumlah WP). Selain itu, sistem otomasi perpajakan belum efektif sampai tingkat kecamatan/kabupaten/ kota. Di sisi lain, “hanky-panky “ fiskus dan WP masih belum berhenti mungkin akibat “selfassessment“ yang disalahgunakan. Selain itu operasi perpajakan belum dapat menyentuh jaringan tersembunyi antara fiskus, atasan fiskus,dan WP.
Pemerintah SBY telah mengeluarkan empat Inpres Percepatan Pemberantasan Korupsi, alih-alih korupsi cepat diberantas, malahan korupsinya meningkat semakin cepat. Revisi UU KUP dan UU Tipikor sangat mendesak agar dapat dibenahi mana perbuatan fiskus atau WP yang murni sengketa pajak, pidana pajak atau termasuk tindak pidana korupsi. Sampai saat ini, pembedaan tegas belum jelas karena UUnya dan iklim dunia usaha menjadi gamang khawatir berimbas menjadi korupsi hanya karena ada kerugian keuangan negara.
Visi dan misi hukum Indonesia ke depan seharusnya berbasis pada “cost and benefit ratio“ bukan hanya semata mata pada penilaian “benar (right) atau salah (wrong) karena penilaian pertama telah gagal secara signifikan membangun masyarakat yang sejahtera, aman, nyaman dan damai.
(hyk)