Membangun Stabilitas Pemerintahan
A
A
A
MOCH NURHASIM
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI.
HASIL pemilihan paket pimpinan DPR dan MPR makin mengukuhkan dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Walaupun saat pemilihan paket Pimpinan MPR, KMP tidak solid dengan menyeberangnya Partai Pembangunan Indonesia (PPP) ke kubu PDIP, secara umum KMP telah menjadi kekuatan buldoser di DPR dan MPR.
Peta kekuatan politik di DPR yang tidak imbang, akan terus menyulitkan partai koalisi pemerintah. Pascapemilihan pimpinan MPR, koalisi pemerintah yang awalnya hanya memiliki 37% dukungan, dengan masuknya PPP, jumlah dukungannya agak “relatif” meningkat menjadi 44%.
Walau ada peningkatan, masuknya PPP belum sepenuhnya menjadi isyarat bahwa PPP akan seterusnya mendukung koalisi pemerintah. Sementara itu, kekuatan KMP minus PPP tetap saja menakutkan.
Di atas kertas, KMP tetap dominan di DPR walau ditinggalkan PPP dengan dukungan suara 55%. Pascapemilihan pimpinan MPR, posisi “penyeimbang” yang awalnya diperankan oleh Partai Demokrat (PD), kini diperankan oleh PPP.
Posisi politik PPP relatif mengambang kalau tidak dapat disebut mengalami “kesulitan,” antara menjadi anggota koalisi pemerintah atau tetap menjadi bagian dari koalisi oposisi (KMP). Secara riil politik, perkembangan politik parlemen di atas juga menggambarkan lemahnya benteng KIH, koalisi pendukung pemerintah.
Kekalahan untuk ke sekian kali (5-0) KIH dari KMP di parlemen dapat ditafsirkan sebagai rapuhnya benteng politik presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam diskursus presidensialisme, kecilnya dukungan politik parlemen kepada presiden dan kuatnya oposisi dapat menimbulkan ketimpangan demokrasi presidensialisme. Ketimpangan kekuatan di parlemen selain menyulitkan presiden, juga akan menimbulkan kepincangan mekanisme checks and balances antara DPR dengan presiden.
Secara konseptual, presidensialisme mendudukkan posisi presiden dan parlemen sama-sama kuat, karena keduanya mendapat legitimasi dari pemilihan umum secara langsung. Walau secara konseptual seperti itu, dinamika politik yang beku antara presiden dengan DPR dapat memicu terjadinya kebuntuan politik yang panjang.
Kebuntuan politik adalah suatu kondisi di mana kebijakankebijakan pemerintah (presiden) digantung atau diambangkan oleh parlemen. Dalam sistem presidensialisme, tanpa dukungan DPR, presiden nyaris tidak akan efektif dapat menjalankan pemerintahannya. Checks and balances tidak mungkin dapat seimbang.
Contoh paling akurat dari peristiwa itu dapat dilihat dari peristiwa shutdown Amerika, ketikarancangan kebijakan keuangan Presiden Obama ditolak oleh parlemen, karena berubahnya perimbangan kekuatan Partai Republik atas Partai demokrat.
Gejala serupa dapat saja terjadi pada praktik presidensialisme di Indonesia, manakala kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi-JK terus ditolak oleh parlemen. Kebuntuan politik (dead lock) antara lain diakibatkan oleh lemahnya posisi presiden (eksekutif) di hadapan legislatif (DPR).
Posisi presiden yang lemah di parlemen tidak bisa dinafikan atau dibiarkan dengan cara yang penting presiden bekerja dan bekerja. Cara presiden tersebut tidak akan mengubah keadaan, karena bekerjanya sistem presidensialisme memerlukan hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat fondasi kebijakan pemerintahan. Solusi yang penting kerja dan kerja adalah gagasan yang keliru, karena situasi itu akan menyebabkan pemerintahan berjalan sendiri tanpa memedulikan fungsi dan peran legislatif.
Memahami presidensialisme dengan cara demikian, justru akan menimbulkan keguncangan politik yang tidak berujung, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kelumpuhan kelembagaan antara legislatif dan eksekutif.
Dalam konteks Indonesia, efek dari ketimpangan kekuatan politik koalisi pemerintah versus oposisi, akan membelenggu kinerja Jokowi-JK. Kehendak Jokowi-JK yang ingin menciptakan pemerintahan yang efektif, sebuah pemerintahan presidensial yang dapat bekerja dan memerintah, belum sepenuhnya aman. Keinginan tersebut dapat berbalik menjadi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dikendalikan.
Jangan dilupakan bahwa presidensialisme juga mensyaratkan bahwa presiden perlu memperoleh jaminan dukungan diDPR. Selainitu, syarat kemampuan presiden dalam mengendalikan koalisi serta oposisi merupakan syarat awal kalau pemerintahan ingin dapat berfungsi secara maksimal.
Pengendalian koalisi merupakan titik kunci dari stabilitas pemerintahan yang dibangun. Tidak ada rumus baku atau akademik mengenai hal itu. Pengalaman politik seorang presiden terpilih akan menentukan apakah gerbong koalisi tetap utuh ataukah akan tercerai berai.
Sebaliknya, pengendalian pemerintahan dari gangguan oposisi memerlukan kepiawaian dalam menjalankan seni pemerintahan presidensialisme oleh presiden. Cara membiarkan yang penting bekerja bukanlah rumus yang pernah diajarkan sebagai jalan menstabilkan pemerintahan.
Karena itu, pesan penting bagi Jokowi-JK, tak ada rumus untuk dapat mengendalikan kekuatan oposisi yang begitu besar. Ancaman goyahnya politik dan ketidakefektifan pemerintahan Jokowi-JK justru makin terbuka lebar, manakala performance pemerintahan Jokowi- JK dianggap tidak optimal.
Ancaman stabilitas pemerintahan Jokowi-JK juga tergantung dari sikap dan perilaku Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam politik seharihari di parlemen. Kekalahan 5-0 PDIP dari KMP pada minggu pertama awal sidang parlemen harus menjadi pelajaran agar PDIP tidak jemawa dan tidak arogan. Sebagai partai yang sebelumnya oposisi, PDIP saat ini mengalami karma politik sebagai partai penguasa (partai pemerintah).
Kesalahan yang sama juga terjadi para lingkar dalam dan para pendukung Jokowi-JK yang membayangkan bahwa pemerintah dapat bekerja atau memerintah (governable) tanpa perlu dukungan partai politik di DPR yang kuat.
Perspektif itu ibarat memimpikan suatu harmoni tanpa modal, yang dalam perspektif presidensialisme justru dapat menjerumuskan presiden dalam situasi-situasi politik yang sulit. Sebaliknya, gaya kepemimpinan Presiden yang tidak perlu membutuhkan dukungan DPR justru akan menjadi awal dari ancaman instabilitas pemerintahan lima tahun mendatang.
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI.
HASIL pemilihan paket pimpinan DPR dan MPR makin mengukuhkan dominasi Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen. Walaupun saat pemilihan paket Pimpinan MPR, KMP tidak solid dengan menyeberangnya Partai Pembangunan Indonesia (PPP) ke kubu PDIP, secara umum KMP telah menjadi kekuatan buldoser di DPR dan MPR.
Peta kekuatan politik di DPR yang tidak imbang, akan terus menyulitkan partai koalisi pemerintah. Pascapemilihan pimpinan MPR, koalisi pemerintah yang awalnya hanya memiliki 37% dukungan, dengan masuknya PPP, jumlah dukungannya agak “relatif” meningkat menjadi 44%.
Walau ada peningkatan, masuknya PPP belum sepenuhnya menjadi isyarat bahwa PPP akan seterusnya mendukung koalisi pemerintah. Sementara itu, kekuatan KMP minus PPP tetap saja menakutkan.
Di atas kertas, KMP tetap dominan di DPR walau ditinggalkan PPP dengan dukungan suara 55%. Pascapemilihan pimpinan MPR, posisi “penyeimbang” yang awalnya diperankan oleh Partai Demokrat (PD), kini diperankan oleh PPP.
Posisi politik PPP relatif mengambang kalau tidak dapat disebut mengalami “kesulitan,” antara menjadi anggota koalisi pemerintah atau tetap menjadi bagian dari koalisi oposisi (KMP). Secara riil politik, perkembangan politik parlemen di atas juga menggambarkan lemahnya benteng KIH, koalisi pendukung pemerintah.
Kekalahan untuk ke sekian kali (5-0) KIH dari KMP di parlemen dapat ditafsirkan sebagai rapuhnya benteng politik presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam diskursus presidensialisme, kecilnya dukungan politik parlemen kepada presiden dan kuatnya oposisi dapat menimbulkan ketimpangan demokrasi presidensialisme. Ketimpangan kekuatan di parlemen selain menyulitkan presiden, juga akan menimbulkan kepincangan mekanisme checks and balances antara DPR dengan presiden.
Secara konseptual, presidensialisme mendudukkan posisi presiden dan parlemen sama-sama kuat, karena keduanya mendapat legitimasi dari pemilihan umum secara langsung. Walau secara konseptual seperti itu, dinamika politik yang beku antara presiden dengan DPR dapat memicu terjadinya kebuntuan politik yang panjang.
Kebuntuan politik adalah suatu kondisi di mana kebijakankebijakan pemerintah (presiden) digantung atau diambangkan oleh parlemen. Dalam sistem presidensialisme, tanpa dukungan DPR, presiden nyaris tidak akan efektif dapat menjalankan pemerintahannya. Checks and balances tidak mungkin dapat seimbang.
Contoh paling akurat dari peristiwa itu dapat dilihat dari peristiwa shutdown Amerika, ketikarancangan kebijakan keuangan Presiden Obama ditolak oleh parlemen, karena berubahnya perimbangan kekuatan Partai Republik atas Partai demokrat.
Gejala serupa dapat saja terjadi pada praktik presidensialisme di Indonesia, manakala kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi-JK terus ditolak oleh parlemen. Kebuntuan politik (dead lock) antara lain diakibatkan oleh lemahnya posisi presiden (eksekutif) di hadapan legislatif (DPR).
Posisi presiden yang lemah di parlemen tidak bisa dinafikan atau dibiarkan dengan cara yang penting presiden bekerja dan bekerja. Cara presiden tersebut tidak akan mengubah keadaan, karena bekerjanya sistem presidensialisme memerlukan hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat fondasi kebijakan pemerintahan. Solusi yang penting kerja dan kerja adalah gagasan yang keliru, karena situasi itu akan menyebabkan pemerintahan berjalan sendiri tanpa memedulikan fungsi dan peran legislatif.
Memahami presidensialisme dengan cara demikian, justru akan menimbulkan keguncangan politik yang tidak berujung, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kelumpuhan kelembagaan antara legislatif dan eksekutif.
Dalam konteks Indonesia, efek dari ketimpangan kekuatan politik koalisi pemerintah versus oposisi, akan membelenggu kinerja Jokowi-JK. Kehendak Jokowi-JK yang ingin menciptakan pemerintahan yang efektif, sebuah pemerintahan presidensial yang dapat bekerja dan memerintah, belum sepenuhnya aman. Keinginan tersebut dapat berbalik menjadi kesulitan-kesulitan yang tak dapat dikendalikan.
Jangan dilupakan bahwa presidensialisme juga mensyaratkan bahwa presiden perlu memperoleh jaminan dukungan diDPR. Selainitu, syarat kemampuan presiden dalam mengendalikan koalisi serta oposisi merupakan syarat awal kalau pemerintahan ingin dapat berfungsi secara maksimal.
Pengendalian koalisi merupakan titik kunci dari stabilitas pemerintahan yang dibangun. Tidak ada rumus baku atau akademik mengenai hal itu. Pengalaman politik seorang presiden terpilih akan menentukan apakah gerbong koalisi tetap utuh ataukah akan tercerai berai.
Sebaliknya, pengendalian pemerintahan dari gangguan oposisi memerlukan kepiawaian dalam menjalankan seni pemerintahan presidensialisme oleh presiden. Cara membiarkan yang penting bekerja bukanlah rumus yang pernah diajarkan sebagai jalan menstabilkan pemerintahan.
Karena itu, pesan penting bagi Jokowi-JK, tak ada rumus untuk dapat mengendalikan kekuatan oposisi yang begitu besar. Ancaman goyahnya politik dan ketidakefektifan pemerintahan Jokowi-JK justru makin terbuka lebar, manakala performance pemerintahan Jokowi- JK dianggap tidak optimal.
Ancaman stabilitas pemerintahan Jokowi-JK juga tergantung dari sikap dan perilaku Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam politik seharihari di parlemen. Kekalahan 5-0 PDIP dari KMP pada minggu pertama awal sidang parlemen harus menjadi pelajaran agar PDIP tidak jemawa dan tidak arogan. Sebagai partai yang sebelumnya oposisi, PDIP saat ini mengalami karma politik sebagai partai penguasa (partai pemerintah).
Kesalahan yang sama juga terjadi para lingkar dalam dan para pendukung Jokowi-JK yang membayangkan bahwa pemerintah dapat bekerja atau memerintah (governable) tanpa perlu dukungan partai politik di DPR yang kuat.
Perspektif itu ibarat memimpikan suatu harmoni tanpa modal, yang dalam perspektif presidensialisme justru dapat menjerumuskan presiden dalam situasi-situasi politik yang sulit. Sebaliknya, gaya kepemimpinan Presiden yang tidak perlu membutuhkan dukungan DPR justru akan menjadi awal dari ancaman instabilitas pemerintahan lima tahun mendatang.
()