Politik Pragmatis Tanpa Nasionalisme
A
A
A
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, dalam Tajuk “Drama Pragmatisme Politik“, menyorot tajam pergulatan politik di Gedung DPR, Senayan. Dinyatakan bahwa sukses Koalisi Merah Putih (KMP) dalam pertarungan politik di parlemen mengukuhkan dominasi mereka, setelah mampu memecundangi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pengesahan Undang-Undang MD3, Tata Tertib DPR, dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Harus diakui, kekalahan KIH tersebut terjadi akibat ketidakmampuan mereka merangkul partai lain agar masuk dalam barisan koalisi hingga mereka gagal memenuhi kuota parpol supaya bisa mengajukan paket (3/10/14). Soal dominasi ataukah rangkul- merangkul, bergandengan tangan ataukah perseteruan abadi, dalam dunia perpolitikan serba mungkin terjadi.
Betapapun kita pesimistis akan terwujudnya sinergitas antara dua koalisi yang bertikai, namun pada dimensi moralitas, perlu ada pencerahan kepada semua pihak, agar wawasan politiknya tersingkap luas, sehingga kepentingan bangsa dan negara menjadi fokus orientasinya.
Nasionalisme, menjadi kata kunci untuk mengubah perbedaan pandangan, kepentingan dan wawasan, yang potensial konflik, menjadi persatuan dalam bingkai kebinekaan. Perihal nasionalisme, ada beberapa catatan untuk diingat, agar tidak menyembul sebagai komoditas politik semata, tetapi melekat erat sebagai sikap dan perilaku politik.
Pertama, nasionalis sejati adalah nasionalis yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sikap dan perilaku politik berawal dari niat baik untuk menggapai rida dan bimbingan ilahi (Tuhan Yang Maha Esa), sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai khalifatullah, dan oleh karenanya tiada ucapan dan perbuatan kecuali sopan dan santun demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keinsafan tentang posisi, jati diri, dan amanah sebagai khalifatullah, akan menjadi pendorong, pengarah, dan pengendali segala perilaku politiknya. Kedua, ajaran nasionalisme dari negara lain, baik yang bersumber dari nilai-nilai ketimuran, maupun kebaratan, umumnya mengajarkan perpolitikan dikotomis, sifatnya saling serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar kepentingan partainya sendiri, suatu nasionalisme transaksional, nasionalisme yang tega mengorbankan partai lain demi kemenangan dirinya.
Nasionalisme ini memiliki dosa publik begitu besar, karena publik senantiasa diobjekkan, dipermainkan, dan dibeli suaranya dengan dalih demokrasi. Dosa besar ini menjadi biang kehinaan dan kehancuran partai yang bersangkutan, ketika publik sadar dan berani menggugatnya.
Sejarah akan mencatatnya, dan bom waktu akan meledak, menghancurkannya. Ketiga, nasionalis sejati adalah nasionalis yang peka terhadap penderitaan rakyat. Konkretnya, KMP ataupun KIH hanya dapat disebut sebagai koalisi yang memiliki nasionalisme sejati, bila mampu mengendalikan diri, prihatin, ikut merasakan penderitaan rakyat.
Bangsa ini sedang dirundung malang, karena mismanajemen pemerintahan, sehingga negara terjerat utang, dan tunakedaulatan. Bersama rakyat, mestinya kita bangkit, survive, melepaskan diri dari belenggu neokolonialisme.
Nasionalis sejati, mestinya mampu memperbaiki sikap politiknya, bersatu padu melawan segala bentuk penjajahan, utamanya memulihkan kedaulatan atas sumber daya alam di seluruh wilayah negeri.
Nasionalisme Pancasila sebagai konsep telah teruji kebenaran dan kehebatannya, dan tak seorang pun mampu menyanggahnya. Namun, konsep bagus itu akan menjadi “macan ompong” atau menara gading semata, bila tidak diamalkan dalam kehidupan bernegara.
Para politikus dan penyelenggara negara, wajib memberi contoh dan keteladanan. Tanpa harus menyebut secara eksplisit Pancasila, siapa pun yang mampu berpolitik secara jujur, sopan, dan mengedepankan musyawarah, telah menjadi bukti bahwa dirinya ber-Pancasila.
Sebaliknya, betapapun dengan suara lantang, keras, berapi-api mengatasnamakanrakyat, akantetapi ujung-ujungnya walk out , patut dipertanyakan komitmennya terhadap Pancasila. Mengubah pragmatisme menjadi nasionalisme memang tidak semudah membalik tangan.
Kendala utama adalah sifat sombong (al-kibr). Sifat ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara. Kesombongan umumnya bermula dari rasa percaya diri berlebihan (al- `ujb).
Sifat sombong cenderung terejawantahkan menjadi tindakan destruktif. Patut diduga, para politikus yang nongkrong di berbagai lembaga pemerintahan adalah mereka yang terjangkiti penyakit batin-kejiwaan. Bahkan, orang-orang mulia, seperti cendekiawan, para pakar, para ulama, pun tidak sedikit yang terjangkiti penyakit batin- kejiwaan ini.
Sebagian dari mereka, kini sedang menjalani “pengobatan” di rumah prodeo, agar kembali sehat dan menjadi manusia bermartabat. Menundukkan politik pragmatisme ke dalam nasionalisme, dapat dilakukan dengan mendasarkan pada dua hal.
Pertama, menumbuhkan moral intelektual melalui kesediaan belajar, menemukan kebenaran, dan mengembangkan ilmu. Pendidikan politik, oleh karenanya, perlu diajarkan sedari usia dini, misal: belajar sejarah perjuangan bangsa, mengenal makna simbol-simbol negara, menghayati lagu kebangsaan dan nasional, dan memupuk karakter komunalistik-religius, gotong-royong.
Pengetahuan yang diajarkan, terus ditumbuhkembangkan menjadi sikap dan perilaku politik, sehingga dapat dipastikan bahwa nilainilai Pancasila telah merasuk menjadi pandangan hidupnya. Kedua, mendekonstruksi kesombongan menjadi rendah hati (tawadhu).
Socrates, filsuf rendah hati, berkata, “I onlyknow that I don’t know.” Kini, banyak politikus tahu bahwa dirinya tak tahu tentang perpolitikan. Sudah sampai di Senayan, duduk di kursiempuk, menerima gaji dan fasilitas begitu besar, akan tetapi baru akan belajar berpolitik secara pragmatis.
Sungguh celaka, dengan ilmu politik yang dangkal, telah lantang mengklaim sebagai politikus nasional. Mereka itu, bagikan kodok dalam tempurung. Para politikus, perlu belajar tentang makna doa Nabi Musa AS “Rabbi zidni `ilman“ (Ya Allah, tambahkan kepadaku ilmu).
Ilmu itu basisnya amal. Ilmu itu lebih berharga daripada harta dan kekuasaan. Tanpa ilmu dan kerendahan hati, praktik politik cenderung sesat, menimbulkan kerusakan. Politik pragmatis tanpa nasionalisme sama artinya bernegara Indonesia tanpa Pancasila. WallahuWallahualam.
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
KORAN SINDO, dalam Tajuk “Drama Pragmatisme Politik“, menyorot tajam pergulatan politik di Gedung DPR, Senayan. Dinyatakan bahwa sukses Koalisi Merah Putih (KMP) dalam pertarungan politik di parlemen mengukuhkan dominasi mereka, setelah mampu memecundangi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam pengesahan Undang-Undang MD3, Tata Tertib DPR, dan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Harus diakui, kekalahan KIH tersebut terjadi akibat ketidakmampuan mereka merangkul partai lain agar masuk dalam barisan koalisi hingga mereka gagal memenuhi kuota parpol supaya bisa mengajukan paket (3/10/14). Soal dominasi ataukah rangkul- merangkul, bergandengan tangan ataukah perseteruan abadi, dalam dunia perpolitikan serba mungkin terjadi.
Betapapun kita pesimistis akan terwujudnya sinergitas antara dua koalisi yang bertikai, namun pada dimensi moralitas, perlu ada pencerahan kepada semua pihak, agar wawasan politiknya tersingkap luas, sehingga kepentingan bangsa dan negara menjadi fokus orientasinya.
Nasionalisme, menjadi kata kunci untuk mengubah perbedaan pandangan, kepentingan dan wawasan, yang potensial konflik, menjadi persatuan dalam bingkai kebinekaan. Perihal nasionalisme, ada beberapa catatan untuk diingat, agar tidak menyembul sebagai komoditas politik semata, tetapi melekat erat sebagai sikap dan perilaku politik.
Pertama, nasionalis sejati adalah nasionalis yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Sikap dan perilaku politik berawal dari niat baik untuk menggapai rida dan bimbingan ilahi (Tuhan Yang Maha Esa), sadar akan tugas dan kewajibannya sebagai khalifatullah, dan oleh karenanya tiada ucapan dan perbuatan kecuali sopan dan santun demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keinsafan tentang posisi, jati diri, dan amanah sebagai khalifatullah, akan menjadi pendorong, pengarah, dan pengendali segala perilaku politiknya. Kedua, ajaran nasionalisme dari negara lain, baik yang bersumber dari nilai-nilai ketimuran, maupun kebaratan, umumnya mengajarkan perpolitikan dikotomis, sifatnya saling serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar kepentingan partainya sendiri, suatu nasionalisme transaksional, nasionalisme yang tega mengorbankan partai lain demi kemenangan dirinya.
Nasionalisme ini memiliki dosa publik begitu besar, karena publik senantiasa diobjekkan, dipermainkan, dan dibeli suaranya dengan dalih demokrasi. Dosa besar ini menjadi biang kehinaan dan kehancuran partai yang bersangkutan, ketika publik sadar dan berani menggugatnya.
Sejarah akan mencatatnya, dan bom waktu akan meledak, menghancurkannya. Ketiga, nasionalis sejati adalah nasionalis yang peka terhadap penderitaan rakyat. Konkretnya, KMP ataupun KIH hanya dapat disebut sebagai koalisi yang memiliki nasionalisme sejati, bila mampu mengendalikan diri, prihatin, ikut merasakan penderitaan rakyat.
Bangsa ini sedang dirundung malang, karena mismanajemen pemerintahan, sehingga negara terjerat utang, dan tunakedaulatan. Bersama rakyat, mestinya kita bangkit, survive, melepaskan diri dari belenggu neokolonialisme.
Nasionalis sejati, mestinya mampu memperbaiki sikap politiknya, bersatu padu melawan segala bentuk penjajahan, utamanya memulihkan kedaulatan atas sumber daya alam di seluruh wilayah negeri.
Nasionalisme Pancasila sebagai konsep telah teruji kebenaran dan kehebatannya, dan tak seorang pun mampu menyanggahnya. Namun, konsep bagus itu akan menjadi “macan ompong” atau menara gading semata, bila tidak diamalkan dalam kehidupan bernegara.
Para politikus dan penyelenggara negara, wajib memberi contoh dan keteladanan. Tanpa harus menyebut secara eksplisit Pancasila, siapa pun yang mampu berpolitik secara jujur, sopan, dan mengedepankan musyawarah, telah menjadi bukti bahwa dirinya ber-Pancasila.
Sebaliknya, betapapun dengan suara lantang, keras, berapi-api mengatasnamakanrakyat, akantetapi ujung-ujungnya walk out , patut dipertanyakan komitmennya terhadap Pancasila. Mengubah pragmatisme menjadi nasionalisme memang tidak semudah membalik tangan.
Kendala utama adalah sifat sombong (al-kibr). Sifat ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya dalam kehidupan bernegara. Kesombongan umumnya bermula dari rasa percaya diri berlebihan (al- `ujb).
Sifat sombong cenderung terejawantahkan menjadi tindakan destruktif. Patut diduga, para politikus yang nongkrong di berbagai lembaga pemerintahan adalah mereka yang terjangkiti penyakit batin-kejiwaan. Bahkan, orang-orang mulia, seperti cendekiawan, para pakar, para ulama, pun tidak sedikit yang terjangkiti penyakit batin- kejiwaan ini.
Sebagian dari mereka, kini sedang menjalani “pengobatan” di rumah prodeo, agar kembali sehat dan menjadi manusia bermartabat. Menundukkan politik pragmatisme ke dalam nasionalisme, dapat dilakukan dengan mendasarkan pada dua hal.
Pertama, menumbuhkan moral intelektual melalui kesediaan belajar, menemukan kebenaran, dan mengembangkan ilmu. Pendidikan politik, oleh karenanya, perlu diajarkan sedari usia dini, misal: belajar sejarah perjuangan bangsa, mengenal makna simbol-simbol negara, menghayati lagu kebangsaan dan nasional, dan memupuk karakter komunalistik-religius, gotong-royong.
Pengetahuan yang diajarkan, terus ditumbuhkembangkan menjadi sikap dan perilaku politik, sehingga dapat dipastikan bahwa nilainilai Pancasila telah merasuk menjadi pandangan hidupnya. Kedua, mendekonstruksi kesombongan menjadi rendah hati (tawadhu).
Socrates, filsuf rendah hati, berkata, “I onlyknow that I don’t know.” Kini, banyak politikus tahu bahwa dirinya tak tahu tentang perpolitikan. Sudah sampai di Senayan, duduk di kursiempuk, menerima gaji dan fasilitas begitu besar, akan tetapi baru akan belajar berpolitik secara pragmatis.
Sungguh celaka, dengan ilmu politik yang dangkal, telah lantang mengklaim sebagai politikus nasional. Mereka itu, bagikan kodok dalam tempurung. Para politikus, perlu belajar tentang makna doa Nabi Musa AS “Rabbi zidni `ilman“ (Ya Allah, tambahkan kepadaku ilmu).
Ilmu itu basisnya amal. Ilmu itu lebih berharga daripada harta dan kekuasaan. Tanpa ilmu dan kerendahan hati, praktik politik cenderung sesat, menimbulkan kerusakan. Politik pragmatis tanpa nasionalisme sama artinya bernegara Indonesia tanpa Pancasila. WallahuWallahualam.
(nfl)