Menuju Penguatan Checks and Balances
A
A
A
FIRMAN NOOR, PHD
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
PASCA-Pilpres 2014 bangsa kita disuguhi sebuah pertarungan sengit tingkat tinggi yang melibatkan dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pertarungan serial antara kubu KMP dan KIH dapat dilihat dalam berbagai macam bacaan.
Bagi yang pesimistis akan melihatnya sebagai sebuah situasi yang akan menyulitkan bagi pembuatan kebijakan (deadlock) yang ujung-ujungnya kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya.
Pertarungan sengit ini juga dianggap hanya akan menyuburkan nuansa oligarki, baik dalam makna mendahulukan kepentingan politik masing-masing kelompok maupun dalam arti semakin tergusurnya aspirasi masyarakat yang tertutup oleh awan mendung pertarungan kepentingan masing-masing kubu koalisi itu.
Pandangan-pandangan tersebut memang tidak bisa disalahkan. Beberapa ahli seperti Juan Linz dan Scott Mainwaring telah mengingatkan tentang situasi di atas. Bagi keduanya, situasi tidak menyenangkan di atas bahkan tetap berpotensi terjadi meski presiden bukanlah kekuatan minoritas dalam parlemen.
Meski demikian, situasi sengitnya pertarungan legislatif dan eksekutif sebenarnya tidak melulu harus berakhir fatal. Bahkan dapat menjadi situasi yang diperlukan, setidaknya dalam upaya membangun tradisi checks and balances yang lebih proporsional, yang tampaknya telah menjadi barang asing dalam kehidupan politik bangsa ini.
Dalam Naungan Kartel
Pertarungan politik antara legislatif dan eksekutif, dalam skema presidensial, yang mewujud pada pertarungan pihak KMP dan KIH sesungguhnya belum ada preseden di republik ini. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966) hingga Orde Baru (1966-1998) legislatif selalu dalam bayang-bayang presiden.
Peran DPR dikebiri hingga menjadi sekedar lembaga pemberi legitimasi atas kehendak presiden. Di awal reformasi, nuansa bangkitnya DPR (legislative heavy) mulai terasakan. Sepintas menunjukkan mulai adanya keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. Namun jika ditelaah lebih dalam, kontrol itu semu.
Hal ini karena pemerintah yang terbentuk merupakan kepanjangan tangan saja dari kekuatan politik dalam parlemen. Kenyataan ini terlihat dari komposisi kabinet Gus Dur yang dijejali sejumlah elite partai yang notabene adalah tokoh-tokoh teras seluruh partai besar dan menengah yang ada di DPR.
Dengan situasi ini, kehidupan politik secara substansi lebih bernuansakan kartel. Terbukti kemudian eksistensi pemerintahan Gus Dur segera pudar saat ia berupaya meninggalkan koalisi besar tersebut.
Di usia singkat pemerintahan Gus Dur, mekanisme checks andbalances sejatinya belum seutuhnya sempat terlaksana, terhenti tidak lama ketika upaya untuk lebih menyeimbangkan kekuatan itu dicoba oleh Gus Dur.
Pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden Megawati mewarisi sebuah situasi politik kartel yang secara substansi tetap tidak menguatkan semangat checks and balances. Pada masa SBY, situasi juga belum menggembirakan. Kalaupun coba untuk diupayakan pelaksanaan spirit checks and balances, itu masih bersifat sporadis.
Sumberdari inisemuaadalah karena presiden mampu menghimpun sebuah kekuatan politik mayoritas di parlemen. Pada periode pertama kekuasaannya, partai-partai pendukung pemerintahan SBY adalah kekuatan mayoritas di DPR, persisnya setelah keberhasilan JK menjadi pucuk pimpinan Golkar. Begitu juga pada periode kedua.
Gabungan kursi partaipartai pendukungnya bahkan menguasai 421 kursi atau sekitar 75% dari total kursi DPR. Dalam konstelasi politik semacam inilah sekali lagi dapat dimengerti jika hubungan bernuansakan kontrol jelas sulit untuk benar-benar mewujud.
Saat ini situasinya relatif berbeda, presiden bukanlah kepanjangan kepentingan DPR dan juga tidak didukung oleh kekuatan mayoritas di DPR. Masing-masing lembaga juga akan saling mengimbangi mengingat tidak dapat dengan mudahnya didikte. Dengan atmosfer tersebut, eksistensi trias politica dengan semangat checks and balances yang genuine berpotensi menguat.
Beberapa Dampak Positif
Terlepas dari beberapa aspek negatif yang masih berpotensi terjadi, kontestasi KMP dan KIH sebenarnya dapat menjadi sebuah jalan masuk bagi sebuah pemerintahan yang lebih berkualitas.
Prinsipnya, dengan menguatnya spirit checks and balances dari parlemen tentu saja pemerintah akan makin serius dalam mengajukan sebuah rancangan kebijakan dan juga dalam menjalankan kebijakan itu. Dengan kata lain, kualitas kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya akan lebih baik lagi. Terbangunnya checks and balances yang baik juga berpotensi kuat meminimalkan politik kartel.
Politik kartel yang cenderung menggejala selama ini muncul disebabkan karena para aktor politik, terutama antara pemerintah dan oposisi, tidak memiliki sikap yang ajek dalam memosisikan dirinya.
Akibatnya, manakala ada tawaran politik transaksional dari salah satu pihak pada pihak lain yang sifatnya memberikan keuntungan eksklusif bagi semua, hal itu dengan akan mudah bergayung sambut. Pertarungan di DPR belakangan ini memperlihatkan bahwa KMP masih cukup konsisten dengan agenda politiknya.
Terlepas dari masih lemahnya komunikasi politik PDIP dengan KMP, hal yang menyebabkan KMP bersikap konsisten adalah komitmen kuat terhadap cita-cita bersama yang ada di koalisi itu. Kita tidak pernah tahu sampai kapan sikap konsisten dan konsekuen ini akan terus terjadi.
Namun setidaknya hingga kini peluang untuk politik kartel masih relatif tertutup. Tentu saja ujung itu semua seharusnya tetap demi kepentingan bangsa dan bukan gagah-gagahan kelompok.
Untuk itu upaya-upaya untuk membuka komunikasi ala negarawan tidak boleh terhenti. Maksud utamanya adalah agar kedua belah pihak dapat saling memahami iktikad baik masing-masing pihak, yang nantinya dapat menjadi batu loncatan sebuah hubungan yang produktif.
Hanya dengan komunikasi yang baik itulah checks and balances akan tidak dipandang sebagai sarana untuk saling jegal, melainkan sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi hadirnya pemerintahan yang lebih aspiratif dan efektif.
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
PASCA-Pilpres 2014 bangsa kita disuguhi sebuah pertarungan sengit tingkat tinggi yang melibatkan dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Pertarungan serial antara kubu KMP dan KIH dapat dilihat dalam berbagai macam bacaan.
Bagi yang pesimistis akan melihatnya sebagai sebuah situasi yang akan menyulitkan bagi pembuatan kebijakan (deadlock) yang ujung-ujungnya kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya.
Pertarungan sengit ini juga dianggap hanya akan menyuburkan nuansa oligarki, baik dalam makna mendahulukan kepentingan politik masing-masing kelompok maupun dalam arti semakin tergusurnya aspirasi masyarakat yang tertutup oleh awan mendung pertarungan kepentingan masing-masing kubu koalisi itu.
Pandangan-pandangan tersebut memang tidak bisa disalahkan. Beberapa ahli seperti Juan Linz dan Scott Mainwaring telah mengingatkan tentang situasi di atas. Bagi keduanya, situasi tidak menyenangkan di atas bahkan tetap berpotensi terjadi meski presiden bukanlah kekuatan minoritas dalam parlemen.
Meski demikian, situasi sengitnya pertarungan legislatif dan eksekutif sebenarnya tidak melulu harus berakhir fatal. Bahkan dapat menjadi situasi yang diperlukan, setidaknya dalam upaya membangun tradisi checks and balances yang lebih proporsional, yang tampaknya telah menjadi barang asing dalam kehidupan politik bangsa ini.
Dalam Naungan Kartel
Pertarungan politik antara legislatif dan eksekutif, dalam skema presidensial, yang mewujud pada pertarungan pihak KMP dan KIH sesungguhnya belum ada preseden di republik ini. Pada masa demokrasi terpimpin (1959-1966) hingga Orde Baru (1966-1998) legislatif selalu dalam bayang-bayang presiden.
Peran DPR dikebiri hingga menjadi sekedar lembaga pemberi legitimasi atas kehendak presiden. Di awal reformasi, nuansa bangkitnya DPR (legislative heavy) mulai terasakan. Sepintas menunjukkan mulai adanya keseimbangan antara legislatif dan eksekutif. Namun jika ditelaah lebih dalam, kontrol itu semu.
Hal ini karena pemerintah yang terbentuk merupakan kepanjangan tangan saja dari kekuatan politik dalam parlemen. Kenyataan ini terlihat dari komposisi kabinet Gus Dur yang dijejali sejumlah elite partai yang notabene adalah tokoh-tokoh teras seluruh partai besar dan menengah yang ada di DPR.
Dengan situasi ini, kehidupan politik secara substansi lebih bernuansakan kartel. Terbukti kemudian eksistensi pemerintahan Gus Dur segera pudar saat ia berupaya meninggalkan koalisi besar tersebut.
Di usia singkat pemerintahan Gus Dur, mekanisme checks andbalances sejatinya belum seutuhnya sempat terlaksana, terhenti tidak lama ketika upaya untuk lebih menyeimbangkan kekuatan itu dicoba oleh Gus Dur.
Pemerintahan selanjutnya di bawah Presiden Megawati mewarisi sebuah situasi politik kartel yang secara substansi tetap tidak menguatkan semangat checks and balances. Pada masa SBY, situasi juga belum menggembirakan. Kalaupun coba untuk diupayakan pelaksanaan spirit checks and balances, itu masih bersifat sporadis.
Sumberdari inisemuaadalah karena presiden mampu menghimpun sebuah kekuatan politik mayoritas di parlemen. Pada periode pertama kekuasaannya, partai-partai pendukung pemerintahan SBY adalah kekuatan mayoritas di DPR, persisnya setelah keberhasilan JK menjadi pucuk pimpinan Golkar. Begitu juga pada periode kedua.
Gabungan kursi partaipartai pendukungnya bahkan menguasai 421 kursi atau sekitar 75% dari total kursi DPR. Dalam konstelasi politik semacam inilah sekali lagi dapat dimengerti jika hubungan bernuansakan kontrol jelas sulit untuk benar-benar mewujud.
Saat ini situasinya relatif berbeda, presiden bukanlah kepanjangan kepentingan DPR dan juga tidak didukung oleh kekuatan mayoritas di DPR. Masing-masing lembaga juga akan saling mengimbangi mengingat tidak dapat dengan mudahnya didikte. Dengan atmosfer tersebut, eksistensi trias politica dengan semangat checks and balances yang genuine berpotensi menguat.
Beberapa Dampak Positif
Terlepas dari beberapa aspek negatif yang masih berpotensi terjadi, kontestasi KMP dan KIH sebenarnya dapat menjadi sebuah jalan masuk bagi sebuah pemerintahan yang lebih berkualitas.
Prinsipnya, dengan menguatnya spirit checks and balances dari parlemen tentu saja pemerintah akan makin serius dalam mengajukan sebuah rancangan kebijakan dan juga dalam menjalankan kebijakan itu. Dengan kata lain, kualitas kebijakan pemerintah dan pelaksanaannya akan lebih baik lagi. Terbangunnya checks and balances yang baik juga berpotensi kuat meminimalkan politik kartel.
Politik kartel yang cenderung menggejala selama ini muncul disebabkan karena para aktor politik, terutama antara pemerintah dan oposisi, tidak memiliki sikap yang ajek dalam memosisikan dirinya.
Akibatnya, manakala ada tawaran politik transaksional dari salah satu pihak pada pihak lain yang sifatnya memberikan keuntungan eksklusif bagi semua, hal itu dengan akan mudah bergayung sambut. Pertarungan di DPR belakangan ini memperlihatkan bahwa KMP masih cukup konsisten dengan agenda politiknya.
Terlepas dari masih lemahnya komunikasi politik PDIP dengan KMP, hal yang menyebabkan KMP bersikap konsisten adalah komitmen kuat terhadap cita-cita bersama yang ada di koalisi itu. Kita tidak pernah tahu sampai kapan sikap konsisten dan konsekuen ini akan terus terjadi.
Namun setidaknya hingga kini peluang untuk politik kartel masih relatif tertutup. Tentu saja ujung itu semua seharusnya tetap demi kepentingan bangsa dan bukan gagah-gagahan kelompok.
Untuk itu upaya-upaya untuk membuka komunikasi ala negarawan tidak boleh terhenti. Maksud utamanya adalah agar kedua belah pihak dapat saling memahami iktikad baik masing-masing pihak, yang nantinya dapat menjadi batu loncatan sebuah hubungan yang produktif.
Hanya dengan komunikasi yang baik itulah checks and balances akan tidak dipandang sebagai sarana untuk saling jegal, melainkan sebagai sebuah kebutuhan dasar bagi hadirnya pemerintahan yang lebih aspiratif dan efektif.
(nfl)