Dinamika Politik
A
A
A
JAKARTA - Wajah panggung politik nasional dalam sepekan terakhir sangat dinamis bahkan bisa dikatakan tensinya memanas.
Diawali dengan pelantikan anggota DPR RI periode 2014- 2019 yang sempat diwarnai aksi kericuhan saat pengesahan tata tertib di DPR maupun ketika pemilihan pimpinan DPR.
Kita tidak perlu masuk dalam rivalitas politik yang sedang berkecamuk antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung mantan capres Prabowo Subianto dan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai ruling party pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Anggap saja rivalitas mereka sebagai proses politik yang kita harapkan berdampak baik dalam kehidupan demokrasi kita.
Pergulatan politik di parlemen adalah hal lumrah dalam sistem demokrasi di negara manapun.
Justru ini yang membedakan negara demokrasi dan negara otoriter yang kelihatan tenang di permukaan tapi cakar-cakaran di dalam.
Perbedaan pendapat, perebutan pengaruh, psywar, adu mulut, adu citra di mata publik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik di parlemen.
Pengambilan keputusan secara aklamasi maupun voting adalah hal yang telah disepakati sebagai konsekuensi sistem demokrasi.
Karena itu, dinamika politik di DPR harus didudukkan pada bingkai yang tepat. Kalah dan menang dalam pengambilan keputusan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Mungkin saat ini KMP sedang giliran menang dalam isu pilkada, tata terbit, maupun pemilihan pimpinan DPR, sedangkan KIH harus kecewa berat karena kalah strategi di tiga isu itu.
Kemenangan KMP dan kekalahan KIH bukanlah hal yang akan mutlak terjadi. Sangat mungkin dalam isu-isu lain di masa datang giliran KIH yang unggul dan KMP yang kalah. Dan sangatlah manusiawi jika yang menang senang dan yang kalah sedih. Yang penting semua itu dilalui dengan proses politik yang fair dan sesuai aturan main yang disepakati dalam undang-undang maupun tata tertib.
Para pendukung kedua kubu di luar parlemen juga diperbolehkan mengekspresikan perasaannya.
Pendukung yang menang boleh bersukacita dan pendukung yang kalah boleh protes, demonstrasi, dan menggugat keputusan DPR. Namun, semua harus dalam koridor aturan main yang disepakati tadi. Demonstrasi adalah bagian dari proses demokrasi. Tidak boleh dilarang dan dihalang-halangi.
Semua orang bebas berekspresi dan mengemukakan pendapat. Soal pendapatnya mampu mengubah keputusan atau tidak itu sangat bergantung dari dinamika politik yang terjadi.
Karena itu, dinamika politik yang terjadi di DPR tidak perlu ditanggapi berlebihan, sehingga seolah-olah sedang menghadapi perang dunia ketiga. Kita yakin para legislator baik dari KMP dan KIH di luar arena juga saling sapa bahkan saling canda.
Malah, banyak di antara mereka yang kawan akrab. Jadi kita yakin era rivalitas tensi tinggi ini pada suatu titik akan mengendur juga.
Politik itu luwes, tidak kaku, dan pasti dinamis. Akan sangat dipengaruhi oleh sosok sentral, ruang, dan waktu. Jadi tidak heran, persaingan kedua kubu yang meruncing itu pada suatu titik akan bertemu.
Dan, kita sangat berharap titik pertemuan rivalitas kedua kubu itu adalah kepentingan bersama, kepentingan rakyat dan kepentingan bangsa.
Bagi kita yang berada di luar parlemen, justru inilah saat yang tepat untuk mencatat perilaku para politikus yang kita telah pilih. Kita nilai apakah mereka pantas duduk sebagai wakil rakyat. Jika pantas, Anda boleh memilihnya kembali nanti. Jika tidak pantas, Anda boleh menyesal dan menghukumnya lima tahun ke depan.
Sekali lagi, perseteruan KMP dan KIH tidak harus dilihat sebagai babak akhir dari perjalanan politik bangsa yang panjang.
Ini baru babak awal yang boleh jadi membuat banyak orang kecewa. Namun, inilah realitas politik yang sering kali bertentangan dengan gambaran ideal.
Tugas kita sekarang adalah terus-menerus mendesak dan meneriaki para politikus kita di Senayan agar tidak larut dalam permainan politik dan melupakan tugas sebenarnya sebagai wakil rakyat.
Diawali dengan pelantikan anggota DPR RI periode 2014- 2019 yang sempat diwarnai aksi kericuhan saat pengesahan tata tertib di DPR maupun ketika pemilihan pimpinan DPR.
Kita tidak perlu masuk dalam rivalitas politik yang sedang berkecamuk antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung mantan capres Prabowo Subianto dan kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai ruling party pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Anggap saja rivalitas mereka sebagai proses politik yang kita harapkan berdampak baik dalam kehidupan demokrasi kita.
Pergulatan politik di parlemen adalah hal lumrah dalam sistem demokrasi di negara manapun.
Justru ini yang membedakan negara demokrasi dan negara otoriter yang kelihatan tenang di permukaan tapi cakar-cakaran di dalam.
Perbedaan pendapat, perebutan pengaruh, psywar, adu mulut, adu citra di mata publik adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik di parlemen.
Pengambilan keputusan secara aklamasi maupun voting adalah hal yang telah disepakati sebagai konsekuensi sistem demokrasi.
Karena itu, dinamika politik di DPR harus didudukkan pada bingkai yang tepat. Kalah dan menang dalam pengambilan keputusan adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Mungkin saat ini KMP sedang giliran menang dalam isu pilkada, tata terbit, maupun pemilihan pimpinan DPR, sedangkan KIH harus kecewa berat karena kalah strategi di tiga isu itu.
Kemenangan KMP dan kekalahan KIH bukanlah hal yang akan mutlak terjadi. Sangat mungkin dalam isu-isu lain di masa datang giliran KIH yang unggul dan KMP yang kalah. Dan sangatlah manusiawi jika yang menang senang dan yang kalah sedih. Yang penting semua itu dilalui dengan proses politik yang fair dan sesuai aturan main yang disepakati dalam undang-undang maupun tata tertib.
Para pendukung kedua kubu di luar parlemen juga diperbolehkan mengekspresikan perasaannya.
Pendukung yang menang boleh bersukacita dan pendukung yang kalah boleh protes, demonstrasi, dan menggugat keputusan DPR. Namun, semua harus dalam koridor aturan main yang disepakati tadi. Demonstrasi adalah bagian dari proses demokrasi. Tidak boleh dilarang dan dihalang-halangi.
Semua orang bebas berekspresi dan mengemukakan pendapat. Soal pendapatnya mampu mengubah keputusan atau tidak itu sangat bergantung dari dinamika politik yang terjadi.
Karena itu, dinamika politik yang terjadi di DPR tidak perlu ditanggapi berlebihan, sehingga seolah-olah sedang menghadapi perang dunia ketiga. Kita yakin para legislator baik dari KMP dan KIH di luar arena juga saling sapa bahkan saling canda.
Malah, banyak di antara mereka yang kawan akrab. Jadi kita yakin era rivalitas tensi tinggi ini pada suatu titik akan mengendur juga.
Politik itu luwes, tidak kaku, dan pasti dinamis. Akan sangat dipengaruhi oleh sosok sentral, ruang, dan waktu. Jadi tidak heran, persaingan kedua kubu yang meruncing itu pada suatu titik akan bertemu.
Dan, kita sangat berharap titik pertemuan rivalitas kedua kubu itu adalah kepentingan bersama, kepentingan rakyat dan kepentingan bangsa.
Bagi kita yang berada di luar parlemen, justru inilah saat yang tepat untuk mencatat perilaku para politikus yang kita telah pilih. Kita nilai apakah mereka pantas duduk sebagai wakil rakyat. Jika pantas, Anda boleh memilihnya kembali nanti. Jika tidak pantas, Anda boleh menyesal dan menghukumnya lima tahun ke depan.
Sekali lagi, perseteruan KMP dan KIH tidak harus dilihat sebagai babak akhir dari perjalanan politik bangsa yang panjang.
Ini baru babak awal yang boleh jadi membuat banyak orang kecewa. Namun, inilah realitas politik yang sering kali bertentangan dengan gambaran ideal.
Tugas kita sekarang adalah terus-menerus mendesak dan meneriaki para politikus kita di Senayan agar tidak larut dalam permainan politik dan melupakan tugas sebenarnya sebagai wakil rakyat.
(dam)