Perkembangan Politik Kita
A
A
A
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
TERLEPAS dari drama yang menyertainya, konstelasi politik kita yang telah berubah pascapilpres semakin tampak jelas.
Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri atas partaipartai pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres yakni Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Partai Demokrat (tanpa mengesampingkan PBB), telah memantapkan posisi politiknya di parlemen.
Kemenangannya dalam voting penentuan mekanisme pilkada yakni dilakukan melalui DPRD, menandai momen penting KMP, setelah sebelumnya menang dalam penentuan tata tertib pemilihan pimpinan DPR dan revisi UU tentang MD3.
Di luar parlemen, massa dicoba digerakkan untuk memprotes berbagai keputusan politik itu, tetapi parlemen tetap jalan dengan logika politiknya sendiri. Kalau dikaitkan dengan kekecewaan publik, tidak saja dikaitkan dengan manuver KMP diparlemen, tetapi juga manuver Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam mendesain kabinet dari yang semula dijanjikan ramping, tetapi kenyataannya tetap gemuk.
Ini seolah menunjukkan bahwa “janji kampanye adalah satu hal, kebijakan politik adalah hal lain.” Perubahan-perubahan agenda politik sangat mungkin terjadi dalam perjalanan pemerintahan ataupun parlemen. Dalam kasus Jokowi sebagai presiden terpilih, variabel pentingnya terutama adalah aktor, baru kemudian partai.
Tidak berubahnya postur kabinet yakni dengan tetap mempertahankan 34 buah kementerian sebagaimana kabinet pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono (SBY), variabel JK sebagai aktor tampak lebih berpengaruh. Dalam dinamika politik parlemen, KMP memainkan logika politik partai sebagai kekuatan penyeimbang.
Untuk mengimbangi kekuatan pemerintah, KMP harus menguasai kepemimpinan politik di parlemen dari pusat hingga daerah-daerah. Dalam konteks inilah, terlepas dari argumentasi yang telah dibangunnya, dikembalikannya pilkada melalui DPRD, memberikan peluang besar bagi KMP untuk merealisasikan agenda politik penguasaan parlemen.
Sisi Pemerintah
Jokowi sendiri kepada media mengatakan KMP adalah kerikil bagi pemerintahannya. Ini menunjukkan bahwa konsolidasi dan manuver politik KMP sangat diperhitungkan. Kini ia harus realistis dalam menghadapi perkembangan politik.
Tidak mungkin pemerintahan akan jalan dengan efektif manakala masalah-masalahnya dengan kalangan oposisi atau penyeimbang tidak terkelola dengan lebih baik.
Pihaknya kelihatannya tengah berpikir keras, bagaimana cara mengelola realitas oposisional yang pascaterbentuk pimpinan parlemen baru, “susah dipecah” itu. Ketika DPR dipimpin oleh KMP, setidaknya raket badminton telah dipegang oleh lawan tanding yang tidak dapat diabaikan kemampuan bermainnya.
Hubungan pemerintah dan DPR yang sehat dapat dibayangkan seperti permainan badminton atau bulu tangkis. Pemerintah ada di satu sisi, parlemen yang didominasi kekuatan penyeimbang ada di sisi lain.
Keduanya sama-sama memegang raket. Wasitnya Mahkamah Konstitusi. Rakyat sebagai penonton akan nyaman kalau pertandingannya imbang, setidaknya leher tidak kaku sebelah begitu pertandingan dimulai.
Sisi Penekan
Ketika rakyat telah menyerahkan urusanurusan politiknya sedemikian rupa ke pemerintah dan parlemen, logika politik lazim bergerak menurut logika pemerintah dan parlemen. Rakyat tetap abstrak dan lazim menggumpal kedalam kelompokkelompok kepentingan atau penekan yang digerakkan oleh elite-elite sipil nonpemerintah di luar parlemen.
Mereka dapat menjadi kumpulan massa yang punya tujuan yang sama atas tema-tema tertentu yang tidak mereka sukai, apakah kepada pemerintah atau parlemen.
Kelompok-kelompok penekan demikian dewasa ini tampak memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok media massa yang juga punya pilihan politik masing-masing.
Partisipasi masyarakat dalam konteks ini tidak lagi ditunjukkan dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara atau ikut berpemilu, tetapi berubah menjadi partisipasi politik penggalangan opini dan tekanan.
Biasanya mereka proaktif dalam mengampanyekan sesuatu yang secara sederhana lebih mudah ditangkap, mana yang mereka maksudkan sebagai pahlawan, dan mana pula yang “common enemy“.
Ekstremnya, sisi ini bisa membuahkan “people power“, sebagaimana kasus Mesir dalam penjatuhan Husni Mubarak, sebelum dalam perkembangannya, digagalkan oleh militer.
Namun, politik massa sangat riskan tindak kekerasan karena kekuatan pro biasanya segera diikuti kekuatan kontra yang di lapangan bisa bertabrakan. Dalam kadar tertentu kasus Thailand bisa menjadi pelajaran.
Sisi Parlemen
Dari sisi parlemen, kekuatan politik pemerintah yang lebih kecil dibanding penyeimbang bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan strategis justru lebih banyak ditentukan oposisi.
Kalau komunikasi politik pemerintah jelek dan dengan demikian pengelolaan parlemen oleh pemerintah tidak bagus, bisa saja kebijakan-kebijakan pemerintah akan tersandera.
Pemerintah setidaknya akan repot berhadapan dengan parlemen yang melalui fungsi kepengawasannya lebih aktif dalam mengkritik. Beberapa rencana kebijakan mungkin bisa tersandera oleh parlemen yang dikuasai oposisi.
Kendati demikian, dalam sistem politik Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) walaupun samasama berpemerintahan presidensial, parlemen Indonesia tidak dapat melumpuhkan negara.
DPR kita tidak akan bisa membuat negara “shutdown “ sebagaimana kejadian demikian pernah melanda AS beberapa kali. Di Indonesia, dan sesungguhnya juga demikian halnya di berbagai tempat, termasuk di Amerika, lobi antartokoh menjadi sangat menentukan dalam memecahkan kebuntuan politik.
Semakin cair hubungan komunikasi antartokoh, semakin mudahlah kebuntuan politik dipecahkan.
Sistem politik parlemen kita bagaimanapun erat ditentukan dinamikanya oleh partai-partai. Kendati pemilu legislatif yang mendasari anggota parlemen dilakukan dengan basis suara terbanyak, mereka tetap harus patuh dengan garis kebijakan partai.
Padahal partai lazim dikendalikan oleh aktor-aktor penentu yang dalam konteks tertentu oleh Robert Michels disebut para oligarkis.
Para aktor atau “the ruling elite “ partai itulah yang memainkan peran sangat penting dalam prosesproses politik parlemen. Ketika kebuntuan politik terjadi, dilakukan lobi dan hakikat lobi adalah antaraktor partai-partai.
Epilog
Dalam ranah persaingan politik parlemen, KMP tampak tengah “menjadi pemenangnya”. Atas realitas demikian, kubu pemerintah tidak perlu menyesalinya sebab memang seperti itulah realitas politik yang berkembang.
Yang penting semua pihak agar berikhtiar konsisten dalam mengejawantahkan prinsip "checks and balances" sehingga demokrasi berjalan secara imbang, baik dalam konteks korektif maupun kualitas kebijakan.
KMP sebagai penyeimbang maupun pemerintah termasuk semua menteri dalam kabinet pemerintahan semakin dituntut kompetensinya dalam berproses politik yang bermuara kualitas. Kalau aktor-aktor utama dan pelaku operasional KMP dan pemerintah tekor kompetensi, politik akan berhenti pada sekadar drama yang statis.
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
TERLEPAS dari drama yang menyertainya, konstelasi politik kita yang telah berubah pascapilpres semakin tampak jelas.
Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri atas partaipartai pendukung Prabowo-Hatta dalam pilpres yakni Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Partai Demokrat (tanpa mengesampingkan PBB), telah memantapkan posisi politiknya di parlemen.
Kemenangannya dalam voting penentuan mekanisme pilkada yakni dilakukan melalui DPRD, menandai momen penting KMP, setelah sebelumnya menang dalam penentuan tata tertib pemilihan pimpinan DPR dan revisi UU tentang MD3.
Di luar parlemen, massa dicoba digerakkan untuk memprotes berbagai keputusan politik itu, tetapi parlemen tetap jalan dengan logika politiknya sendiri. Kalau dikaitkan dengan kekecewaan publik, tidak saja dikaitkan dengan manuver KMP diparlemen, tetapi juga manuver Jokowi-Jusuf Kalla (JK) dalam mendesain kabinet dari yang semula dijanjikan ramping, tetapi kenyataannya tetap gemuk.
Ini seolah menunjukkan bahwa “janji kampanye adalah satu hal, kebijakan politik adalah hal lain.” Perubahan-perubahan agenda politik sangat mungkin terjadi dalam perjalanan pemerintahan ataupun parlemen. Dalam kasus Jokowi sebagai presiden terpilih, variabel pentingnya terutama adalah aktor, baru kemudian partai.
Tidak berubahnya postur kabinet yakni dengan tetap mempertahankan 34 buah kementerian sebagaimana kabinet pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono (SBY), variabel JK sebagai aktor tampak lebih berpengaruh. Dalam dinamika politik parlemen, KMP memainkan logika politik partai sebagai kekuatan penyeimbang.
Untuk mengimbangi kekuatan pemerintah, KMP harus menguasai kepemimpinan politik di parlemen dari pusat hingga daerah-daerah. Dalam konteks inilah, terlepas dari argumentasi yang telah dibangunnya, dikembalikannya pilkada melalui DPRD, memberikan peluang besar bagi KMP untuk merealisasikan agenda politik penguasaan parlemen.
Sisi Pemerintah
Jokowi sendiri kepada media mengatakan KMP adalah kerikil bagi pemerintahannya. Ini menunjukkan bahwa konsolidasi dan manuver politik KMP sangat diperhitungkan. Kini ia harus realistis dalam menghadapi perkembangan politik.
Tidak mungkin pemerintahan akan jalan dengan efektif manakala masalah-masalahnya dengan kalangan oposisi atau penyeimbang tidak terkelola dengan lebih baik.
Pihaknya kelihatannya tengah berpikir keras, bagaimana cara mengelola realitas oposisional yang pascaterbentuk pimpinan parlemen baru, “susah dipecah” itu. Ketika DPR dipimpin oleh KMP, setidaknya raket badminton telah dipegang oleh lawan tanding yang tidak dapat diabaikan kemampuan bermainnya.
Hubungan pemerintah dan DPR yang sehat dapat dibayangkan seperti permainan badminton atau bulu tangkis. Pemerintah ada di satu sisi, parlemen yang didominasi kekuatan penyeimbang ada di sisi lain.
Keduanya sama-sama memegang raket. Wasitnya Mahkamah Konstitusi. Rakyat sebagai penonton akan nyaman kalau pertandingannya imbang, setidaknya leher tidak kaku sebelah begitu pertandingan dimulai.
Sisi Penekan
Ketika rakyat telah menyerahkan urusanurusan politiknya sedemikian rupa ke pemerintah dan parlemen, logika politik lazim bergerak menurut logika pemerintah dan parlemen. Rakyat tetap abstrak dan lazim menggumpal kedalam kelompokkelompok kepentingan atau penekan yang digerakkan oleh elite-elite sipil nonpemerintah di luar parlemen.
Mereka dapat menjadi kumpulan massa yang punya tujuan yang sama atas tema-tema tertentu yang tidak mereka sukai, apakah kepada pemerintah atau parlemen.
Kelompok-kelompok penekan demikian dewasa ini tampak memperoleh dukungan dari kelompok-kelompok media massa yang juga punya pilihan politik masing-masing.
Partisipasi masyarakat dalam konteks ini tidak lagi ditunjukkan dengan mendatangi tempat-tempat pemungutan suara atau ikut berpemilu, tetapi berubah menjadi partisipasi politik penggalangan opini dan tekanan.
Biasanya mereka proaktif dalam mengampanyekan sesuatu yang secara sederhana lebih mudah ditangkap, mana yang mereka maksudkan sebagai pahlawan, dan mana pula yang “common enemy“.
Ekstremnya, sisi ini bisa membuahkan “people power“, sebagaimana kasus Mesir dalam penjatuhan Husni Mubarak, sebelum dalam perkembangannya, digagalkan oleh militer.
Namun, politik massa sangat riskan tindak kekerasan karena kekuatan pro biasanya segera diikuti kekuatan kontra yang di lapangan bisa bertabrakan. Dalam kadar tertentu kasus Thailand bisa menjadi pelajaran.
Sisi Parlemen
Dari sisi parlemen, kekuatan politik pemerintah yang lebih kecil dibanding penyeimbang bisa menyebabkan kebijakan-kebijakan strategis justru lebih banyak ditentukan oposisi.
Kalau komunikasi politik pemerintah jelek dan dengan demikian pengelolaan parlemen oleh pemerintah tidak bagus, bisa saja kebijakan-kebijakan pemerintah akan tersandera.
Pemerintah setidaknya akan repot berhadapan dengan parlemen yang melalui fungsi kepengawasannya lebih aktif dalam mengkritik. Beberapa rencana kebijakan mungkin bisa tersandera oleh parlemen yang dikuasai oposisi.
Kendati demikian, dalam sistem politik Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) walaupun samasama berpemerintahan presidensial, parlemen Indonesia tidak dapat melumpuhkan negara.
DPR kita tidak akan bisa membuat negara “shutdown “ sebagaimana kejadian demikian pernah melanda AS beberapa kali. Di Indonesia, dan sesungguhnya juga demikian halnya di berbagai tempat, termasuk di Amerika, lobi antartokoh menjadi sangat menentukan dalam memecahkan kebuntuan politik.
Semakin cair hubungan komunikasi antartokoh, semakin mudahlah kebuntuan politik dipecahkan.
Sistem politik parlemen kita bagaimanapun erat ditentukan dinamikanya oleh partai-partai. Kendati pemilu legislatif yang mendasari anggota parlemen dilakukan dengan basis suara terbanyak, mereka tetap harus patuh dengan garis kebijakan partai.
Padahal partai lazim dikendalikan oleh aktor-aktor penentu yang dalam konteks tertentu oleh Robert Michels disebut para oligarkis.
Para aktor atau “the ruling elite “ partai itulah yang memainkan peran sangat penting dalam prosesproses politik parlemen. Ketika kebuntuan politik terjadi, dilakukan lobi dan hakikat lobi adalah antaraktor partai-partai.
Epilog
Dalam ranah persaingan politik parlemen, KMP tampak tengah “menjadi pemenangnya”. Atas realitas demikian, kubu pemerintah tidak perlu menyesalinya sebab memang seperti itulah realitas politik yang berkembang.
Yang penting semua pihak agar berikhtiar konsisten dalam mengejawantahkan prinsip "checks and balances" sehingga demokrasi berjalan secara imbang, baik dalam konteks korektif maupun kualitas kebijakan.
KMP sebagai penyeimbang maupun pemerintah termasuk semua menteri dalam kabinet pemerintahan semakin dituntut kompetensinya dalam berproses politik yang bermuara kualitas. Kalau aktor-aktor utama dan pelaku operasional KMP dan pemerintah tekor kompetensi, politik akan berhenti pada sekadar drama yang statis.
(hyk)