Narasi Domestik dan Relasi Global

Senin, 29 September 2014 - 17:05 WIB
Narasi Domestik dan...
Narasi Domestik dan Relasi Global
A A A
JAKARTA - AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Direktur Eksekutif Indef


PEMERINTAH yang akan datang, yang tak lama lagi akan dilantik, masih punya obsesi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia pada lima tahun ke depan.

Jika memungkinkan, pertumbuhan ekonomi bisa menembus 8% atau sekurang-kurangnya mencapai 7% tiap tahun. Pada tahun depan tentu impian itu sulit diwujudkan. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, presiden dan wakil presiden terpilih berharap pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi sesuai dengan target. Hasrat ini rasanya tak gampang dicapai karena akan dihadang banyak persoalan, baik dari aras domestik maupun internasional.

Pada sisi domestik, aneka problem ekonomi harus dituntaskan terlebih dulu agar sasaran pertumbuhan ekonomi lekas diperoleh. Sementara itu, pada sisi internasional, periode mendatang akan dihantui krisis sehingga prospek pertumbuhan ekonomi tak secerah tiga dekade terakhir.

Fondasi Struktur Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan tinggi tak selamanya salah asalkan telah mempertimbangkan kapasitas ekonomi, biaya oportunitas yang dikorbankan, dan halangan yang merintangi. Dalam konteks ini, sekurang-kurangnya terdapat tiga problem ekonomi domestik yang menjadi batu sandungan untuk mencapai sasaran dimaksud.

Pertama, semua paham bahwa fondasi struktur ekonomi Indonesia amat lemah. Sektor ekonomi yang menjadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja, yakni pertanian dan industri, sepanjang 10 terakhir merosot. Sektor pertanian makin tergantung pada impor sehingga ketahanan pangan dalam kondisi rawan.

Sementara itu, sektor industri tidak bertumpu terhadap bahan baku domestik. Komoditas ekspor tergantung pada komoditas primer yang tak memiliki nilai tambah tinggi sehingga menekan neraca perdagangan. Tercatat, rasio ekspor terhadap PDB saat ini cuma sekitar 20%, tertinggal jauh dari negara tetangga.

Kedua, perekonomian nasional selama ini mengabaikan pembangunan ekonomi di luar Jawa dan sektor maritim. Perekonomian berjalan pincang karena tergantung pada Jawa dan daratan.

Pemerintahan baru yang telah terpilih menyadari hal itu sehingga menempatkan wilayah Indonesia timur dan sektor maritim sebagai salah satu pusat pengembangan ekonomi. Investasi pada kedua wilayah dan sektor tersebut tentu sangat dibutuhkan dalam jumlah yang besar.

Kebutuhan investasi mungkin bisa dicarikan dari aneka sumber, tetapi langkah itu juga tak mudah selama pranata yang menopang keperluan investasi tak tersedia seperti insentif kebijakan, infrastruktur, dan kelembagaan yang mapan.

Jika itu telah dipenuhi, investasi bisa dieksekusi dan mulai menghasilkan. Tapi, jarak antara penyediaan pranata pembangunan dan hasil investasi tentu tak bisa dalam waktu singkat.

Ketiga, infrastruktur ekonomi sebagai penopang investasi di atas amat minim sehingga dibutuhkan pembangunan secara masif. Pembangunan infrastruktur bukan hanya perlu dana, tetapi juga waktu yang relatif lama. Perizinan, proses tender, pembebasan lahan, dan pelaksanaannya butuh proses yang panjang. Bahkan, investasi yang bernilai besar dan rumit seperti pembangunan Jem-batan Suramadu, perlu waktu bertahun- tahun.

Hal yang sama juga terkait dengan pembangunan bandara, pelabuhan, listrik, dan lain-lain. Apabila ini masih ditambah dengan infrastruktur terkait manusia, problem kualitas tenaga kerja juga dalam kondisi yang mencemaskan karena 65% tenaga kerja cuma tamat SMP ke bawah. Ketiga masalah di atas tentu bisa diatasi, tetapi butuh masa yang tak singkat sehingga dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tak secepat yang diinginkan.

Keterbukaan Ekonomi


Bila analisis diteruskan ke level ekonomi internasional, akan dijumpai realitas yang tak mengenakkan pula. Perekonomian Indonesia, dari sisi perdagangan, sangat tergantung pada pasar AS, Jepang, kawasan Eropa, China, dan ASEAN. Masalahnya, negara-negara tersebut dalam beberapa tahun ke depan belum akan kembali ke situasi normal.

AS dan Eropa masih berkutat mengatasi krisis ekonomi, barangkali tiga tahun lagi baru pulih normal. China sebagai salah satu lokomotif ekonomi dunia bahkan diprediksi akan memasuki dekade perlambatan ekonomi setelah negara itu sepanjang 20 tahun meraih capaian pertumbuhan ekonomi yang luar biasa, di atas 10% per tahun.

Lebih masalah lagi, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih defisit, seperti halnya dengan kawasan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2008 pertumbuhan ekonomi China sudah jatuh di bawah 10%, bahkan tahun ini diprediksi hanya pada kisaran 7,5%.

Ekspor China juga terjun bebas, yaitu pada periode 2001-2008 ekspor tumbuh rata-rata 29%/tahun, tapi sekarang tinggal di bawah 10%. Implikasinya, surplus neraca transaksi berjalan China yang mencapai puncaknya pada 2007 (mencapai 10% dari PDB) saat ini tinggal 2%.

Pertumbuhan tinggi pada masa lalu juga harus dibayar mahal oleh China karena ketimpangan pendapatan melompat nyaris tak terkendali. Pada 2010 ketimpangan pendapatan mencapai 0,52 (rasio gini), turun sedikit pada 2012 menjadi 0,50. Ini merupakan salah satu ketimpangan pendapatan tertinggi di dunia.

Diperkirakan ekonomi China akan menjalani proses keseimbangan kembali yang lama dan pertumbuhan ekonomi cuma sekitar 6-7% (Yang, 2014). Situasi muram itulah yang menggelayuti ekonomi global, yang sebagian masih akan ditambah oleh ancaman krisis dari beragam sumber. Dengan mencermati itu, pemerintah (baru) mesti menyusun langkah-langkah strategis untuk memperkuat perekonomian domestik.

Pertumbuhan ekonomi memang penting, tapi tak perlu dengan mematok target yang terlalu tinggi. Lima tahun ke depan penyelesaian masalah dasar ekonomi domestik di atas lebih urgen diupayakan meskipun mungkin belum akan ada hasil pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Demikian pula kondisi pasar global harus dimitigasi dengan ramuan kebijakan yang tepat, termasuk evaluasi terhadap keterbukan ekonomi, baik di pasar barang/jasa, tenaga kerja maupun keuangan. Narasi domestik dan relasi global itulah yang menjadi dasar pengelolaan ekonomi nasional di masa depan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0755 seconds (0.1#10.140)