Tiga Parpol ini Dianggap Neo Orba
A
A
A
JAKARTA - Lantaran menolak Pilkada langsung, Partai Golkar, PAN dan PKS dinilai sebagai Neo Orde Baru (Orba).
Sikap PAN dan PKS itu dinilai mencerminkan semangat reformasi yang diusung sebagai landasan pendirian partai tersebut era 98 sebagai antitesis Golkar saat itu, telah gugur dengan sendiri.
Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsyi, mengatakan sikap partai-partai yang dahulu dianggap reformis, ternyata berbalik mendukung apa yang telah dijalankan oleh Orde Baru diera Golkar zaman Suharto.
"Ini saat yang tepat buat PAN dan PKS membubarkan diri untuk bergabung dengan Golkar," kata Fahmi Habsyi, dalam keterangan resminya, Jumat (26/9/2014).
Karena, menurut dia, hakekat reformasi yang diperjuangkan dahulu dikubur oleh ambisi jangka pendeknya.
Dia teringat ketika Amien Rais pidato deklarasi Majelis amanat rakyat (MARA) sebagai embrio PAN, begitu mengebu-gebu mendukung pilkada dan pilpres langsung dan menyatakan bahwa MARA akan perjuangankan agenda reformasi.
Namun, ujar dia, hari ini Amien Rais sudah layak menjadi Ketua Golkar baru, jika PAN merger dengan Partai Golkar.
"Sebagai aktivis 98 dan kaum muda saya minta maaf karena telah salah mendengarkan dan percaya pada pidato Amien saat itu," katanya.
Dan dia pun mengimbau agar segala penyebutan Amien Rais sebagai tokoh reformasi, haram tercatat dalam literatur sejarah Bangsa demi kehormatan dan darah korban tragedi Trisakti dan Semanggi.
Sementara itu, Fahmi berpendapat, keputusan PAN yang mengikuti arahan Amien Rais untuk menolak Pilkada langsung dan ketidakseriusan SBY dalam mengambil sikap sehingga Partai Demokrat walk out dalam voting RUU Pilkada, memberikan teladan yang mengerikan pada generasi mendatang.
Fahmi menegaskan, ada kata bijak kongfutse yang bisa direnungi dari hal itu, bahwa kematian yang indah bukanlah banyaknya harta yang ditinggalkan, tapi begitu banyak yang bersedih, mendoakan dan banyaknya mengiringi dalam pemakaman.
Maka itu, Fahmi mempertanyakan sikap Amien Rais dan SBY sebagai tokoh nasional yang tidak memimpikan hal itu diakhir hidupnya.
"Atau tidakkah bermimpi adanya bendera setengah tiang di seantero negeri ketika ajal menjemput. Setiap pemimpin besar di dunia dimanapun berharap ada legacy bermakna yang ditinggalkan untuk generasi mendatang," kata dia.
Dia menambahkan, akrobatik kedua tokoh yang bertolak belakang antara ucapan dan perbuatan di RUU Pilkada adalah sebuah tragedi bangsa cukup ditampilkan di era saat ini saja.
"Mungkin sejarah mencatat tak ada legacy bernilai yang ditinggalkan SBY dan Amien Rais diakhir hidupnya untuk kami dan generasi masa datang. Semoga Tuhan mengampuni kita semua," pungkasnya.
Sikap PAN dan PKS itu dinilai mencerminkan semangat reformasi yang diusung sebagai landasan pendirian partai tersebut era 98 sebagai antitesis Golkar saat itu, telah gugur dengan sendiri.
Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsyi, mengatakan sikap partai-partai yang dahulu dianggap reformis, ternyata berbalik mendukung apa yang telah dijalankan oleh Orde Baru diera Golkar zaman Suharto.
"Ini saat yang tepat buat PAN dan PKS membubarkan diri untuk bergabung dengan Golkar," kata Fahmi Habsyi, dalam keterangan resminya, Jumat (26/9/2014).
Karena, menurut dia, hakekat reformasi yang diperjuangkan dahulu dikubur oleh ambisi jangka pendeknya.
Dia teringat ketika Amien Rais pidato deklarasi Majelis amanat rakyat (MARA) sebagai embrio PAN, begitu mengebu-gebu mendukung pilkada dan pilpres langsung dan menyatakan bahwa MARA akan perjuangankan agenda reformasi.
Namun, ujar dia, hari ini Amien Rais sudah layak menjadi Ketua Golkar baru, jika PAN merger dengan Partai Golkar.
"Sebagai aktivis 98 dan kaum muda saya minta maaf karena telah salah mendengarkan dan percaya pada pidato Amien saat itu," katanya.
Dan dia pun mengimbau agar segala penyebutan Amien Rais sebagai tokoh reformasi, haram tercatat dalam literatur sejarah Bangsa demi kehormatan dan darah korban tragedi Trisakti dan Semanggi.
Sementara itu, Fahmi berpendapat, keputusan PAN yang mengikuti arahan Amien Rais untuk menolak Pilkada langsung dan ketidakseriusan SBY dalam mengambil sikap sehingga Partai Demokrat walk out dalam voting RUU Pilkada, memberikan teladan yang mengerikan pada generasi mendatang.
Fahmi menegaskan, ada kata bijak kongfutse yang bisa direnungi dari hal itu, bahwa kematian yang indah bukanlah banyaknya harta yang ditinggalkan, tapi begitu banyak yang bersedih, mendoakan dan banyaknya mengiringi dalam pemakaman.
Maka itu, Fahmi mempertanyakan sikap Amien Rais dan SBY sebagai tokoh nasional yang tidak memimpikan hal itu diakhir hidupnya.
"Atau tidakkah bermimpi adanya bendera setengah tiang di seantero negeri ketika ajal menjemput. Setiap pemimpin besar di dunia dimanapun berharap ada legacy bermakna yang ditinggalkan untuk generasi mendatang," kata dia.
Dia menambahkan, akrobatik kedua tokoh yang bertolak belakang antara ucapan dan perbuatan di RUU Pilkada adalah sebuah tragedi bangsa cukup ditampilkan di era saat ini saja.
"Mungkin sejarah mencatat tak ada legacy bernilai yang ditinggalkan SBY dan Amien Rais diakhir hidupnya untuk kami dan generasi masa datang. Semoga Tuhan mengampuni kita semua," pungkasnya.
(sms)