Harga BBM Subsidi Naik?
A
A
A
JAKARTA - Genting. Cukup satu kata itu untuk menggambarkan betapa bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah menjadi persoalan serius di negeri ini.
Dampak dari kebijakan pemerintah untuk menghemat premium dan solar yang diterapkan dalam sebulan terakhir ini telah menelan korban. Tengok saja, dispenser stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di rest area jalan tol yang khusus mengalirkan BBM bersubsidi terlihat mangkrak.
Itu persoalan kecil, persoalan lebih besar adalah beranikah presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK mengambil langkah tidak populis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi mengawali masa pemerintahannya demi mengurangi tekanan anggaran negara?
Mengatasi subsidi BBM yang terus menggelembung memang tantangan pertama yang harus ditaklukkan pemerintahan baru. Kalau subsidi tersebut bisa ditekan dan suplai premium serta solar tidak terganggu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, itu pertanda penguasa baru ini bakal lebih ringan menyelesaikan persoalan lain bangsa ini. Desakan terhadap pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi kini semakin kencang gaungnya.
Kalangan pengusaha yang biasanya alergi terhadap urusan kenaikan harga bahan bakar justru “membakar” pemerintah untuk segera menaikkan harga. Dalam pertemuan antara pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan Jokowi-JK pekan lalu, Apindo menantang presiden terpilih menaikkan harga BBM bersubsidi dalam 100 hari pertama setelah dilantik sebagai presiden RI.
Kalangan pengusaha meyakini kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi bakal berdampak positif terhadap pembangunan infrastruktur dan membuka lapangan kerja yang semakin lebar.
Selama ini, pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena sebagian anggaran negara tertelan subsidi salah sasaran. Pihak Apindo menyadari bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi memang bakal berpengaruh pada laju inflasi, tetapi sifatnya hanya sementara.
Bandingkan dengan kondisi sekarang, pemerintah tidak melakukan tindakan tegas, akhirnya tersandera terus-menerus. Konsumsi BBM bersubsidi terus melambung, angka impor pun terdongkrak yang pada akhirnya memperdalam defisit neraca perdagangan.
Sampai kapan akan mempertahankan kondisi tersebut? Saking gemasnya, pihak Apindo menantang pemerintahan baru nanti untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp3.000/liter. Bagi pengusaha, menaikkan harga BBM bersubsidi memang sebuah pilihan pahit, tetapi jauh lebih baik ketimbang infrastruktur Indonesia ketinggalan gara-gara anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus tergerogoti oleh subsidi yang tidak tepat sasaran.
Seandainya pemerintah baru nanti mengikuti usulan pihak Apindo menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp3.000/liter untuk tahun depan, pemerintah diperkirakan dapat melakukan penghematan Rp150 triliun.
Lalu sejau hmana angka inflasi bakal terderek dari dampak kenaikan harga bahan bakar tersebut? Berdasarkan hitung-hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), apabila pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada awal November mendatang Rp3.000/liter, angka inflasi bakal bertambah sekitar 1,5%. BPS memprediksi dampak inflasi yang terjadi November akan mulai dirasakan masyarakat pada Desember 2014 dan berlanjut hingga Januari 2015.
Setelah itu BPS memperkirakan bakal berangsur pulih atau stabil kembali. Meski opsi menaikkan harga BBM dinilai solusi paling tepat mengatasi angka subsidi bahan bakar, sejumlah pihak meragukan langkah tersebut dapat dilakukan segera.
Mengapa? Jika harga BBM bersubsidi dinaikkan pada awal November atau 10 hari setelah pelantikan presiden baru, bagaimana mengatasi program kompensasi bagi masyarakat miskin yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga tersebut? Masalahnya, biaya kompensasi belum teranggarkan pada APBN Perubahan 2014.
Memang bisa saja mengalihkan anggaran lain untuk program kompensasi, tetapi sudah pasti harus direstui DPR. Nah, persoalannya, fraksi pendukung pemerintah di DPR bisakah mengalahkan fraksi koalisi Merah Putih untuk mendapatkan restu?
Dampak dari kebijakan pemerintah untuk menghemat premium dan solar yang diterapkan dalam sebulan terakhir ini telah menelan korban. Tengok saja, dispenser stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di rest area jalan tol yang khusus mengalirkan BBM bersubsidi terlihat mangkrak.
Itu persoalan kecil, persoalan lebih besar adalah beranikah presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-JK mengambil langkah tidak populis dengan menaikkan harga BBM bersubsidi mengawali masa pemerintahannya demi mengurangi tekanan anggaran negara?
Mengatasi subsidi BBM yang terus menggelembung memang tantangan pertama yang harus ditaklukkan pemerintahan baru. Kalau subsidi tersebut bisa ditekan dan suplai premium serta solar tidak terganggu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, itu pertanda penguasa baru ini bakal lebih ringan menyelesaikan persoalan lain bangsa ini. Desakan terhadap pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi kini semakin kencang gaungnya.
Kalangan pengusaha yang biasanya alergi terhadap urusan kenaikan harga bahan bakar justru “membakar” pemerintah untuk segera menaikkan harga. Dalam pertemuan antara pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dengan Jokowi-JK pekan lalu, Apindo menantang presiden terpilih menaikkan harga BBM bersubsidi dalam 100 hari pertama setelah dilantik sebagai presiden RI.
Kalangan pengusaha meyakini kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi bakal berdampak positif terhadap pembangunan infrastruktur dan membuka lapangan kerja yang semakin lebar.
Selama ini, pemerintah tidak bisa berbuat banyak karena sebagian anggaran negara tertelan subsidi salah sasaran. Pihak Apindo menyadari bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi memang bakal berpengaruh pada laju inflasi, tetapi sifatnya hanya sementara.
Bandingkan dengan kondisi sekarang, pemerintah tidak melakukan tindakan tegas, akhirnya tersandera terus-menerus. Konsumsi BBM bersubsidi terus melambung, angka impor pun terdongkrak yang pada akhirnya memperdalam defisit neraca perdagangan.
Sampai kapan akan mempertahankan kondisi tersebut? Saking gemasnya, pihak Apindo menantang pemerintahan baru nanti untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp3.000/liter. Bagi pengusaha, menaikkan harga BBM bersubsidi memang sebuah pilihan pahit, tetapi jauh lebih baik ketimbang infrastruktur Indonesia ketinggalan gara-gara anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) terus tergerogoti oleh subsidi yang tidak tepat sasaran.
Seandainya pemerintah baru nanti mengikuti usulan pihak Apindo menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp3.000/liter untuk tahun depan, pemerintah diperkirakan dapat melakukan penghematan Rp150 triliun.
Lalu sejau hmana angka inflasi bakal terderek dari dampak kenaikan harga bahan bakar tersebut? Berdasarkan hitung-hitungan Badan Pusat Statistik (BPS), apabila pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi pada awal November mendatang Rp3.000/liter, angka inflasi bakal bertambah sekitar 1,5%. BPS memprediksi dampak inflasi yang terjadi November akan mulai dirasakan masyarakat pada Desember 2014 dan berlanjut hingga Januari 2015.
Setelah itu BPS memperkirakan bakal berangsur pulih atau stabil kembali. Meski opsi menaikkan harga BBM dinilai solusi paling tepat mengatasi angka subsidi bahan bakar, sejumlah pihak meragukan langkah tersebut dapat dilakukan segera.
Mengapa? Jika harga BBM bersubsidi dinaikkan pada awal November atau 10 hari setelah pelantikan presiden baru, bagaimana mengatasi program kompensasi bagi masyarakat miskin yang terkena dampak langsung dari kenaikan harga tersebut? Masalahnya, biaya kompensasi belum teranggarkan pada APBN Perubahan 2014.
Memang bisa saja mengalihkan anggaran lain untuk program kompensasi, tetapi sudah pasti harus direstui DPR. Nah, persoalannya, fraksi pendukung pemerintah di DPR bisakah mengalahkan fraksi koalisi Merah Putih untuk mendapatkan restu?
(kur)