Megawati dan PDIP
A
A
A
Rakernas IV Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah mengusulkan secara resmi Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri untuk kembali memimpin partai periode 2015-2020.
Munculnya kembali putri Bung Karno itu untuk memimpin PDIP lima tahun ke depan ini makin meneguhkan belum berjalannya regenerasi yang baik di tubuh partai tersebut. Jika dihitung saat dia terpilih dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya 1993 sebagai ketua umum PDI, nanti pada 2020 Megawati menjadi ketua umum partai terlama dalam politik Indonesia, yakni selama 27 tahun. Fenomena ini tentu tidak baik bagi keberlangsungan PDIP ke depan.
Kepemimpinan yang terlalu lama akan membuat partai tersebut stagnan dan tidak demokratis. Tidak ada demokrasi yang sehat muncul dalam pengambilan keputusan partai. Hal ini disebabkan dominasi kepemimpinan Megawati yang terlalu kuat.
Kepemimpinan yang terlalu lama juga bisa mematikan potensi bagus kader-kader muda partai yang seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk bisa memimpin dengan cara yang demokratis. Tak mengherankan jika dalam perjalanannya sejumlah kader PDIP memilih hengkang dari partai seperti Permadi, Roy BB Janis hingga Kwik Kian Gie.
Keluarnya sejumlah kader di atas harusnya menjadi pelajaran penting untuk kemajuan partai ini ke depan. Diusulkannya Megawati untuk kembali memimpin PDIP ini dapat dipahami dengan sejumlah alasan. Pertama, hingga saat ini belum ada kader PDIP yang bisa menggantikan posisi Megawati di lingkup internal.
Ditambah lagi kelompok-kelompok yang ada di partai tampaknya sudah sangat nyaman dengan kondisi saat ini. Karena itu, ketika ada usulan untuk mencalonkan lagi Megawati sebagai calon tunggal, mereka cenderung mengiyakan karena tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk atas posisinya di partai. Sebab, selama ini mereka tidak terbiasa bersaing dalam menentukan pimpinan partai.
Ada ketakutan jika Megawati turun tahta akan bisa berpengaruh negatif bagi keberlangsungan PDIP. Akibatnya, tidak akan ada kader yang berani mencalonkan diri untuk berkompetisi dengan Megawati. Kedua, secara internal, keberadaan Megawati diharapkan tetap membangun soliditas partai.
Apalagi saat ini PDIP menjadi partai pemerintah setelah 10 tahun menjadi oposisi. Ketiga, PDIP memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk membawa kepentingannya dalam mengawal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi- JK).
Keempat, dinobatkannya Megawati sebagai ketua umum PDIP ini sekaligus menampik spekulasi yang muncul bahwa Jokowi akan mengambil alih partai setelah terpilih menjadi presiden. Apalagi, salah satu yang mengusulkan untuk dipilihnya kembali Megawati sebagai ketua umum PDIP adalah Jokowi.
Strategi Jokowi ini dinilai sebagai upaya untuk terus membangun kepercayaan dari para kader PDIP sebagai sosok yang patuh terhadap Megawati meski dirinya sudah terpilih menjadi presiden. Atau justru sebaliknya, majunya kembali Megawati untuk memimpin PDIP bisa jadi untuk meredam agar partai tidak dikuasai Jokowi.
Bagaimanapun sebagai presiden nanti, Jokowi memiliki kekuatan besar yang dikhawatirkan akan “mengambil alih” PDIP dari trah Soekarno. Dengan tetap hadirnya Megawati, diharapkan Jokowi akan berpikir seribu kali untuk mengambil PDIP. Ingat, dalam politik semuanya bisa terjadi. Tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan.
Apa pun analisis yang muncul di atas mengenai kembalinya Megawati ke tampuk pimpinan tertinggi PDIP, hal itu semakin meneguhkan bahwa partai ini belum menjadi partai yang modern. PDIP ini masih sangat menggantungkan diri pada adanya sosok karismatik seperti Megawati. Kondisi ini tentu akan berbahaya bagi kelangsungan PDIP ke depan, terutama dalam jangka panjang.
PDIP nanti akan gagap untuk bersaing ketika pintu regenerasi di pucuk pimpinan tidak segera dimulai. Karena tidak akan selamanya PDIP terus mengantungkandiri kepada sosok Megawati yang kini sudah berusia 67 tahun. Ide regenerasi PDIP harus datang dari Megawati sendiri.
Karena para kader tidak akan berani muncul selama Megawati masih nyaman duduk sebagai ketua umum. Tentu akan terlambat bila Megawati baru menyiapkan kader-kadernya setelah nanti karier politiknya meredup. Megawati harus meminta kadernya untuk membangun politik bersaing secara sehat di saat dirinya masih berkuasa seperti saat ini.
Munculnya kembali putri Bung Karno itu untuk memimpin PDIP lima tahun ke depan ini makin meneguhkan belum berjalannya regenerasi yang baik di tubuh partai tersebut. Jika dihitung saat dia terpilih dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya 1993 sebagai ketua umum PDI, nanti pada 2020 Megawati menjadi ketua umum partai terlama dalam politik Indonesia, yakni selama 27 tahun. Fenomena ini tentu tidak baik bagi keberlangsungan PDIP ke depan.
Kepemimpinan yang terlalu lama akan membuat partai tersebut stagnan dan tidak demokratis. Tidak ada demokrasi yang sehat muncul dalam pengambilan keputusan partai. Hal ini disebabkan dominasi kepemimpinan Megawati yang terlalu kuat.
Kepemimpinan yang terlalu lama juga bisa mematikan potensi bagus kader-kader muda partai yang seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk bisa memimpin dengan cara yang demokratis. Tak mengherankan jika dalam perjalanannya sejumlah kader PDIP memilih hengkang dari partai seperti Permadi, Roy BB Janis hingga Kwik Kian Gie.
Keluarnya sejumlah kader di atas harusnya menjadi pelajaran penting untuk kemajuan partai ini ke depan. Diusulkannya Megawati untuk kembali memimpin PDIP ini dapat dipahami dengan sejumlah alasan. Pertama, hingga saat ini belum ada kader PDIP yang bisa menggantikan posisi Megawati di lingkup internal.
Ditambah lagi kelompok-kelompok yang ada di partai tampaknya sudah sangat nyaman dengan kondisi saat ini. Karena itu, ketika ada usulan untuk mencalonkan lagi Megawati sebagai calon tunggal, mereka cenderung mengiyakan karena tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk atas posisinya di partai. Sebab, selama ini mereka tidak terbiasa bersaing dalam menentukan pimpinan partai.
Ada ketakutan jika Megawati turun tahta akan bisa berpengaruh negatif bagi keberlangsungan PDIP. Akibatnya, tidak akan ada kader yang berani mencalonkan diri untuk berkompetisi dengan Megawati. Kedua, secara internal, keberadaan Megawati diharapkan tetap membangun soliditas partai.
Apalagi saat ini PDIP menjadi partai pemerintah setelah 10 tahun menjadi oposisi. Ketiga, PDIP memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk membawa kepentingannya dalam mengawal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi- JK).
Keempat, dinobatkannya Megawati sebagai ketua umum PDIP ini sekaligus menampik spekulasi yang muncul bahwa Jokowi akan mengambil alih partai setelah terpilih menjadi presiden. Apalagi, salah satu yang mengusulkan untuk dipilihnya kembali Megawati sebagai ketua umum PDIP adalah Jokowi.
Strategi Jokowi ini dinilai sebagai upaya untuk terus membangun kepercayaan dari para kader PDIP sebagai sosok yang patuh terhadap Megawati meski dirinya sudah terpilih menjadi presiden. Atau justru sebaliknya, majunya kembali Megawati untuk memimpin PDIP bisa jadi untuk meredam agar partai tidak dikuasai Jokowi.
Bagaimanapun sebagai presiden nanti, Jokowi memiliki kekuatan besar yang dikhawatirkan akan “mengambil alih” PDIP dari trah Soekarno. Dengan tetap hadirnya Megawati, diharapkan Jokowi akan berpikir seribu kali untuk mengambil PDIP. Ingat, dalam politik semuanya bisa terjadi. Tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan.
Apa pun analisis yang muncul di atas mengenai kembalinya Megawati ke tampuk pimpinan tertinggi PDIP, hal itu semakin meneguhkan bahwa partai ini belum menjadi partai yang modern. PDIP ini masih sangat menggantungkan diri pada adanya sosok karismatik seperti Megawati. Kondisi ini tentu akan berbahaya bagi kelangsungan PDIP ke depan, terutama dalam jangka panjang.
PDIP nanti akan gagap untuk bersaing ketika pintu regenerasi di pucuk pimpinan tidak segera dimulai. Karena tidak akan selamanya PDIP terus mengantungkandiri kepada sosok Megawati yang kini sudah berusia 67 tahun. Ide regenerasi PDIP harus datang dari Megawati sendiri.
Karena para kader tidak akan berani muncul selama Megawati masih nyaman duduk sebagai ketua umum. Tentu akan terlambat bila Megawati baru menyiapkan kader-kadernya setelah nanti karier politiknya meredup. Megawati harus meminta kadernya untuk membangun politik bersaing secara sehat di saat dirinya masih berkuasa seperti saat ini.
(kri)