Kepastian Arah Penyelesaian Sengketa Pilkada
A
A
A
SAMSUL WAHIDIN
Guru Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang
Jika tak ada aral, pada 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada) akan kembali dilakukan oleh DPRD dan tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini menyusul disetujui oleh sebagian terbesar kekuatan politik di DPR tentang pengembalian kewenangan memilih oleh para wakil rakyat di daerah tersebut.
Seiring itu, penyelesaian sengketa pilkada juga berubah. Perubahan itu menyusul dibacakan putusan No 1- 2/PUU-XII/14 berdasarkan permohonan uji materi inkonstitusionalitas Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan itu dijatuhkan pada 19 Mei 2014. Membaca legal reasoning dari putusan tersebut, secara teknis ternyata penyelesaian sengketa pilkada telah membuka ruang untuk korupsi.
Bukti konkretnya adalah tertangkap tangan Akil Mochtar sebagai terdakwa korupsi sengketa pilkada. Sebelum prahara MK yang mendudukkan Akil sebagai terdakwa, sebenarnya pembentuk UU sudah berencana mengalihkan penyelesaian sengketa pilkada tersebut dengan memberi kewenangan ke peradilan umum.
Berarti naungan formalnya adalah Mahkamah Agung dengan jajaran peradilan di bawahnya. Di dalam RUU Pilkada yang sebentar lagi disahkan, sengketa pilkada akan dikembalikan ke Mahkamah Agung (MA). Itu diatur pada Pasal 28 ayat 1.
Dinyatakan: ”Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan diajukan ke Mahkamah Agung paling lambat tiga hari setelah penetapan penghitungan suara dalam pemilihan gubernur dengan tembusan panitia pemilihan (panlih)”. Ketentuan ini berlaku untuk pemilihan gubernur (pilgub). Sejalan dengan mekanisme ini, perselisihan pilkada tingkat kabupaten/kota akan diselesaikan di pengadilan tinggi (PT). Penegasan ini diatur pada RUU Pasal 130 Ayat 1.
Dinyatakan: ”Terhadap penetapan reka-pitulasi penghitungan suara dan penetapan calon bupati/ wali kota terpilih, calon yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan tinggi paling lambat tiga hari setelah penetapan”. Putusan lembaga pengadil tersebut bersifat final and binding (final dan mengikat, tak ada upaya hukum lain). Klausul ini penting sebab jalur reguler perkara puncaknya senantiasa di MA. Dengan demikian, putusan sengketa pilkada hanya dilakukan pada satu tingkat dan hanya satu kali.
Penyelesaian Bukan oleh MK
Membaca dasar hukum, mengapa sengketa pilkada itu masuk ke MK hingga saat ini adalah Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksud. Pada pasal itu dinyatakan bahwa ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undangundang ini diundangkan”.
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Sebagai konsekuensi, pilkada masuk ke rezim pemilu dan namanya pemilukada.
Sebagai akibat ke hilirnya, oleh karena kewenangan MK adalah menyelesaikan masalah sengketa pemilu, pemilu untuk gubernur, bupati dan wali kota yang semestinya hajat lokal menjadi hajat nasional yang diselenggarakan di daerah. Sebenarnya terlalu besar jika memasukkan hajat daerah yang notabene wilayah kecil.
Hal demikian juga tidak sesuai dengan berbagai upaya yang arahnya desentralisasi dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah. Dari sisi ini, mengembalikan kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada ke pengadilan tinggi untuk level bupati/wali kota masuk akal.
Secara praktis, sengketa pemilukada bupati/ wali kota yang harus disele-saikan di level MK memerlukan biayabesar. Apalagijika sengketa itu berasal dari daerah yang jauh dari Jakarta. Kecenderungan selama ini, persidangan penyelesaian sengketa pemilukada di MK itu bahkan cenderung melibatkan massa. Ongkos untuk itu terlalu mahal, khususnyajikadibandingkan dengan penyelesaian yang dilaksanakan di ibu kota provinsi yaitu di pengadilan tinggi setempat. Kalau itu terjadi, berarti berubah lagi dari rezim pemilukada ke rezim pilkada.
Sisilainyangmenjadikeberatan dari sengketa pemilukada dan kalau nanti diselesaikan didaerah menjadi sengketa pilkada adalah kondisi pengadilan yang disinyalemen masih tidak atau belum bersih dari penyimpangan. Bahasa praktisnya institusipengadilan meskipun gaji hakimnya sudah dinaikkan, namun masih subur dicokoli mafia hukum.
Pada level MA pun demikian. Banyakceritaburuktentangperilaku hakim MA yang mencuat ke publik. Ada yang menilai, perpindahan dari MK ke MA ibarat keluar dari mulut harimau, tapi masuk ke mulut buaya. Sami mawon . Pada perspektif yuridis, berdasarkan hukum acara selama ini MA tidak memeriksa fakta. MA adalah peradilan tertinggi, bukan judex factie .
Kalau kemudian perselisihan gubernur masuk ranah MA, itu memerlukan pembenahan terhadap asas hukum dimaksud dan itu levelnya adalah UU. Hal ini yang secara tersirat menjadi pertimbangan dalam putusan mengapa MK akhirnya memilih untuk tidak mengadili sengketa pilkada.
Dengan pembatalan ketentuan tentang kewenangan MK mengadili sengketa pilkada, kekhawatiran bahwa MK akan memegang kewenangan ”instan” tersebut tidak diperlukan. Artinya MK dengan sukarela melepaskan kewenangan yang sebenarnya bertentangan dengan khitah nya sebagai penengah atas sinyalemen pertentangan antara UU dan UUD.
Sebagai catatan, pada putusan yang dibacakan pada 19 Mei 2014 itu sengketa pilkada tetap ditangani MK sampai diberlakukan UU Pilkada dalam beberapa waktu mendatang. Padahal seharusnya putusan MK taat asas bahwa putusan berlaku sejak diucapkan.
Ketentuan pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD sudah tidak berlaku sejak saat itu. Artinya bahwa seharusnya kewenangan atas sengketa pilkada segera diserahkan kepada lembaga sebelum pengalihan kewenangan yaitu pada Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi.
Bukan menunda dengan alasan ketidaksiapan lembaga yang dibungkus dengan kalimat— menunggu perubahan undang undang. Kendati demikian, kabar gembiranya toh UU itu segera disahkan dan tidak ada sengketa pilkada yang sedang ditangani MK. Jadi sengketa pilkada yang akan diajukan pada 2015 dan seterusnya yang menangani adalah pengadilan tinggi untuk tingkat kabupaten/kota dan Mahkamah Agung untuk tingkat provinsi.
Guru Besar Hukum Tata Negara Unmer Malang
Jika tak ada aral, pada 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada) akan kembali dilakukan oleh DPRD dan tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ini menyusul disetujui oleh sebagian terbesar kekuatan politik di DPR tentang pengembalian kewenangan memilih oleh para wakil rakyat di daerah tersebut.
Seiring itu, penyelesaian sengketa pilkada juga berubah. Perubahan itu menyusul dibacakan putusan No 1- 2/PUU-XII/14 berdasarkan permohonan uji materi inkonstitusionalitas Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan itu dijatuhkan pada 19 Mei 2014. Membaca legal reasoning dari putusan tersebut, secara teknis ternyata penyelesaian sengketa pilkada telah membuka ruang untuk korupsi.
Bukti konkretnya adalah tertangkap tangan Akil Mochtar sebagai terdakwa korupsi sengketa pilkada. Sebelum prahara MK yang mendudukkan Akil sebagai terdakwa, sebenarnya pembentuk UU sudah berencana mengalihkan penyelesaian sengketa pilkada tersebut dengan memberi kewenangan ke peradilan umum.
Berarti naungan formalnya adalah Mahkamah Agung dengan jajaran peradilan di bawahnya. Di dalam RUU Pilkada yang sebentar lagi disahkan, sengketa pilkada akan dikembalikan ke Mahkamah Agung (MA). Itu diatur pada Pasal 28 ayat 1.
Dinyatakan: ”Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan diajukan ke Mahkamah Agung paling lambat tiga hari setelah penetapan penghitungan suara dalam pemilihan gubernur dengan tembusan panitia pemilihan (panlih)”. Ketentuan ini berlaku untuk pemilihan gubernur (pilgub). Sejalan dengan mekanisme ini, perselisihan pilkada tingkat kabupaten/kota akan diselesaikan di pengadilan tinggi (PT). Penegasan ini diatur pada RUU Pasal 130 Ayat 1.
Dinyatakan: ”Terhadap penetapan reka-pitulasi penghitungan suara dan penetapan calon bupati/ wali kota terpilih, calon yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan tinggi paling lambat tiga hari setelah penetapan”. Putusan lembaga pengadil tersebut bersifat final and binding (final dan mengikat, tak ada upaya hukum lain). Klausul ini penting sebab jalur reguler perkara puncaknya senantiasa di MA. Dengan demikian, putusan sengketa pilkada hanya dilakukan pada satu tingkat dan hanya satu kali.
Penyelesaian Bukan oleh MK
Membaca dasar hukum, mengapa sengketa pilkada itu masuk ke MK hingga saat ini adalah Pasal 236c UU No 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dimaksud. Pada pasal itu dinyatakan bahwa ”Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undangundang ini diundangkan”.
Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa pemilihan umum. Sebagai konsekuensi, pilkada masuk ke rezim pemilu dan namanya pemilukada.
Sebagai akibat ke hilirnya, oleh karena kewenangan MK adalah menyelesaikan masalah sengketa pemilu, pemilu untuk gubernur, bupati dan wali kota yang semestinya hajat lokal menjadi hajat nasional yang diselenggarakan di daerah. Sebenarnya terlalu besar jika memasukkan hajat daerah yang notabene wilayah kecil.
Hal demikian juga tidak sesuai dengan berbagai upaya yang arahnya desentralisasi dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah. Dari sisi ini, mengembalikan kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada ke pengadilan tinggi untuk level bupati/wali kota masuk akal.
Secara praktis, sengketa pemilukada bupati/ wali kota yang harus disele-saikan di level MK memerlukan biayabesar. Apalagijika sengketa itu berasal dari daerah yang jauh dari Jakarta. Kecenderungan selama ini, persidangan penyelesaian sengketa pemilukada di MK itu bahkan cenderung melibatkan massa. Ongkos untuk itu terlalu mahal, khususnyajikadibandingkan dengan penyelesaian yang dilaksanakan di ibu kota provinsi yaitu di pengadilan tinggi setempat. Kalau itu terjadi, berarti berubah lagi dari rezim pemilukada ke rezim pilkada.
Sisilainyangmenjadikeberatan dari sengketa pemilukada dan kalau nanti diselesaikan didaerah menjadi sengketa pilkada adalah kondisi pengadilan yang disinyalemen masih tidak atau belum bersih dari penyimpangan. Bahasa praktisnya institusipengadilan meskipun gaji hakimnya sudah dinaikkan, namun masih subur dicokoli mafia hukum.
Pada level MA pun demikian. Banyakceritaburuktentangperilaku hakim MA yang mencuat ke publik. Ada yang menilai, perpindahan dari MK ke MA ibarat keluar dari mulut harimau, tapi masuk ke mulut buaya. Sami mawon . Pada perspektif yuridis, berdasarkan hukum acara selama ini MA tidak memeriksa fakta. MA adalah peradilan tertinggi, bukan judex factie .
Kalau kemudian perselisihan gubernur masuk ranah MA, itu memerlukan pembenahan terhadap asas hukum dimaksud dan itu levelnya adalah UU. Hal ini yang secara tersirat menjadi pertimbangan dalam putusan mengapa MK akhirnya memilih untuk tidak mengadili sengketa pilkada.
Dengan pembatalan ketentuan tentang kewenangan MK mengadili sengketa pilkada, kekhawatiran bahwa MK akan memegang kewenangan ”instan” tersebut tidak diperlukan. Artinya MK dengan sukarela melepaskan kewenangan yang sebenarnya bertentangan dengan khitah nya sebagai penengah atas sinyalemen pertentangan antara UU dan UUD.
Sebagai catatan, pada putusan yang dibacakan pada 19 Mei 2014 itu sengketa pilkada tetap ditangani MK sampai diberlakukan UU Pilkada dalam beberapa waktu mendatang. Padahal seharusnya putusan MK taat asas bahwa putusan berlaku sejak diucapkan.
Ketentuan pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD sudah tidak berlaku sejak saat itu. Artinya bahwa seharusnya kewenangan atas sengketa pilkada segera diserahkan kepada lembaga sebelum pengalihan kewenangan yaitu pada Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi.
Bukan menunda dengan alasan ketidaksiapan lembaga yang dibungkus dengan kalimat— menunggu perubahan undang undang. Kendati demikian, kabar gembiranya toh UU itu segera disahkan dan tidak ada sengketa pilkada yang sedang ditangani MK. Jadi sengketa pilkada yang akan diajukan pada 2015 dan seterusnya yang menangani adalah pengadilan tinggi untuk tingkat kabupaten/kota dan Mahkamah Agung untuk tingkat provinsi.
(kri)