Konflik Internal PPP
A
A
A
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sedang dilanda konflik internal. Aksi saling pecat yang terjadi saat ini bisa menjadi bumerang yang kontraproduktif bagi keberlangsungan partai berlambang Kakbah tersebut. Bukan tak mungkin, PPP akan ditinggal pemilihnya bila konflik antarelitenya itu berlarut-larut.
PPP tergolong cukup sering digoyang perpecahan. Pada April lalu, PPP juga dilanda konflik. Aksi saling pecat saat itu terjadi ketika Ketua Umum DPP Suryadharma Ali (SDA) memutuskan berkoalisi dengan Partai Gerindra untuk mengusung calon presiden Prabowo Subianto.
Namun belakangan, mereka berdamai dan mengembalikan jabatan mereka masing-masing. Saat ini konflik kembali menyeruak di internal. Rapat pengurus harian (RPH) DPP PPP pada Rabu (10/9) memutuskan memecat SDA dari jabatan ketua umum. Pemecatan itu dilakukan karena SDA tidak segera mundur meski menjadi tersangka kasus dugaan korupsi haji.
Dinilai bisa meruntuhkan citra partai, SDA pun ”diusir” paksa dari kursinya. Tidak terima, SDA pun bermanuver balik dengan memecat tiga pengurus PPP, yakni Sekretaris Jenderal DPP PPP M Romahurmuziy, dan Wakil Ketua Umum DPP PPP Suharso Monoarfa dan Emron Pangkapi.
Seringnya konflik internal yang melanda PPP ini terjadi karena tidak adanya tokoh sentral yang dapat diterima oleh seluruh anggota partai. Hal ini berbeda dengan partai lain yang memiliki tokoh sentral, seperti Partai Demokrat yang memiliki Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP mempunyai Megawati Soekarnoputri, di Partai Gerindra ada Prabowo Subianto, ataupun di PKS ada Hilmi Aminuddin.
Masing-masing tokoh sentral tersebut mampu mengeliminasi potensi konflik yang muncul. SDA yang sebenarnya sudah cukup lama memimpin PPP dinilai belum menjadi tokoh sentral yang kuat. Apalagi, posisinya saat ini melemah dengan status barunya, tersangka kasus korupsi.
Ditambah lagi keengganannya untuk secara legawa melepas kursi ketua umum telah membuat sejumlah pengurus lain gerah dan kemudian mencopotnya. Fenomena PPP ini dulu hampir sama dengan PKB yang juga sering digoyang konflik internal karena tidak memiliki tokoh sentral setelah kepemimpinan Gus Dur. Konflik memang bukan hal yang tabu terjadi pada partai politik.
Bahkan, partai akan menjadi besar bila mampu mengatasi dinamika yang terjadi dalam partai tersebut. Misalnya PKB di bawah Muhaimim Iskandar yang mampu menyelesaikan konflik internal pada Pemilu 2014, malah meraih suara mengejutkan. PKB masuk lima besar dengan perolehan 9,04% di bawah PDIP, Golkar, Gerindra, dan Partai Demokrat.
Berangkat dari fenomena di atas, para petinggi PPP harus segera introspeksi dan berbenah diri. Konflik internal yang berkepanjangan akan merugikan citra partai ke depan. Para elite partai harus duduk bersama untuk mencari solusi yang tepat. Diperlukan sikap bijaksana, legawa, dan tidak saling menyalahkan untuk menyelesaikan konflik ini.
Demi keutuhan partai, secara elegan SDA sudah seharusnya rela melepaskan kursi ketua umum untuk berkonsentrasi dalam kasus hukumnya. Semakin lama SDA mempertahankan posisinya, konflik akan kian meruncing.
Sikap egois itu sangat tidak baik bagi partai yang telah ikut membesarkan namanya tersebut. SDA harus menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah tidak seperti dulu lagi. Status barunya sebagai tersangka korupsi tentu akan menyandera partai secara keseluruhan.
Bagaimanapun, PPP masih cukup diperhitungkan dalam kancah politik Tanah Air. Meski tidak terlalu menggembirakan, prestasi PPP dalam Pemilu 2014 patut diapresiasi.
Pada saat banyak pengamat pesimistis, PPP mampu menunjukkan eksistensinya. Bahkan dalam Pemilu 2014 kemarin, perolehan suaranya naik ketimbang Pemilu 2009. Pada Pemilu 2014, PPP memperoleh 8.157.488 suara atau 6,53% yang setara dengan 39 kursi DPR.
Sebelumnya, pada Pemilu 2009, PPP mendapat 5.533.214 suara atau 5,3% suara dengan perolehan 38 kursi di DPR. Kepercayaan para pemilih ini tentu harus dipertahankan dengan soliditas seluruh anggota partai. Jika terus berkonflik, bukan tidak mungkin PPP akan ditinggalkan para pemilihnya.
PPP tergolong cukup sering digoyang perpecahan. Pada April lalu, PPP juga dilanda konflik. Aksi saling pecat saat itu terjadi ketika Ketua Umum DPP Suryadharma Ali (SDA) memutuskan berkoalisi dengan Partai Gerindra untuk mengusung calon presiden Prabowo Subianto.
Namun belakangan, mereka berdamai dan mengembalikan jabatan mereka masing-masing. Saat ini konflik kembali menyeruak di internal. Rapat pengurus harian (RPH) DPP PPP pada Rabu (10/9) memutuskan memecat SDA dari jabatan ketua umum. Pemecatan itu dilakukan karena SDA tidak segera mundur meski menjadi tersangka kasus dugaan korupsi haji.
Dinilai bisa meruntuhkan citra partai, SDA pun ”diusir” paksa dari kursinya. Tidak terima, SDA pun bermanuver balik dengan memecat tiga pengurus PPP, yakni Sekretaris Jenderal DPP PPP M Romahurmuziy, dan Wakil Ketua Umum DPP PPP Suharso Monoarfa dan Emron Pangkapi.
Seringnya konflik internal yang melanda PPP ini terjadi karena tidak adanya tokoh sentral yang dapat diterima oleh seluruh anggota partai. Hal ini berbeda dengan partai lain yang memiliki tokoh sentral, seperti Partai Demokrat yang memiliki Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP mempunyai Megawati Soekarnoputri, di Partai Gerindra ada Prabowo Subianto, ataupun di PKS ada Hilmi Aminuddin.
Masing-masing tokoh sentral tersebut mampu mengeliminasi potensi konflik yang muncul. SDA yang sebenarnya sudah cukup lama memimpin PPP dinilai belum menjadi tokoh sentral yang kuat. Apalagi, posisinya saat ini melemah dengan status barunya, tersangka kasus korupsi.
Ditambah lagi keengganannya untuk secara legawa melepas kursi ketua umum telah membuat sejumlah pengurus lain gerah dan kemudian mencopotnya. Fenomena PPP ini dulu hampir sama dengan PKB yang juga sering digoyang konflik internal karena tidak memiliki tokoh sentral setelah kepemimpinan Gus Dur. Konflik memang bukan hal yang tabu terjadi pada partai politik.
Bahkan, partai akan menjadi besar bila mampu mengatasi dinamika yang terjadi dalam partai tersebut. Misalnya PKB di bawah Muhaimim Iskandar yang mampu menyelesaikan konflik internal pada Pemilu 2014, malah meraih suara mengejutkan. PKB masuk lima besar dengan perolehan 9,04% di bawah PDIP, Golkar, Gerindra, dan Partai Demokrat.
Berangkat dari fenomena di atas, para petinggi PPP harus segera introspeksi dan berbenah diri. Konflik internal yang berkepanjangan akan merugikan citra partai ke depan. Para elite partai harus duduk bersama untuk mencari solusi yang tepat. Diperlukan sikap bijaksana, legawa, dan tidak saling menyalahkan untuk menyelesaikan konflik ini.
Demi keutuhan partai, secara elegan SDA sudah seharusnya rela melepaskan kursi ketua umum untuk berkonsentrasi dalam kasus hukumnya. Semakin lama SDA mempertahankan posisinya, konflik akan kian meruncing.
Sikap egois itu sangat tidak baik bagi partai yang telah ikut membesarkan namanya tersebut. SDA harus menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah tidak seperti dulu lagi. Status barunya sebagai tersangka korupsi tentu akan menyandera partai secara keseluruhan.
Bagaimanapun, PPP masih cukup diperhitungkan dalam kancah politik Tanah Air. Meski tidak terlalu menggembirakan, prestasi PPP dalam Pemilu 2014 patut diapresiasi.
Pada saat banyak pengamat pesimistis, PPP mampu menunjukkan eksistensinya. Bahkan dalam Pemilu 2014 kemarin, perolehan suaranya naik ketimbang Pemilu 2009. Pada Pemilu 2014, PPP memperoleh 8.157.488 suara atau 6,53% yang setara dengan 39 kursi DPR.
Sebelumnya, pada Pemilu 2009, PPP mendapat 5.533.214 suara atau 5,3% suara dengan perolehan 38 kursi di DPR. Kepercayaan para pemilih ini tentu harus dipertahankan dengan soliditas seluruh anggota partai. Jika terus berkonflik, bukan tidak mungkin PPP akan ditinggalkan para pemilihnya.
(kri)