Kembali ke Kota

Sabtu, 02 Agustus 2014 - 14:01 WIB
Kembali ke Kota
Kembali ke Kota
A A A
HARI ini sebagian warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Pekanbaru, Palembang, Makassar, sedang menjalani arus balik ke kota tempatnya mencari nafkah.

Sementara itu, sebagian kecil lainnya sudah kembali terlebih dahulu baik karena alasan waktu liburnya yang sudah habis atau untuk menghindari puncak arus balik. Kepenatan yang muncul dari deraan macet yang tak terperi, terutama di jalur arus mudik dan arus balik di Pulau Jawa, tidak menghilangkan hangatnya hati setelah berkumpul bersama keluarga tercinta di kampung halaman.

Memang benar ikatan sosial itu mampu menghilangkan segala masalah yang memenuhi pikiran ketika merantau. Melihat kampung halaman serta orang-orang yang dicintai mampu membuat para perantau melupakan sejenak masalah yang dihadapi di tanah rantau. Kesuksesan bisa dibagi agar kian bersyukur, kesusahan bisa diceritakan agar kian ringan. Hal itulah yang membuat dorongan untuk mudik begitu kuat pada para penduduk kota-kota besar yang umumnya adalah perantau.

Namun, di tengah gembira ria kembalinya para pemudik ke kota-kota besar, dari tahun ke tahun ada masalah ikutan dari arus balik yaitu urbanisasi. Perpindahan penduduk yang umumnya ada pada usia produktif ini membuat kota-kota besar kian padat. Para pemudik yang kembali ke kampung halamannya membawa serta keluarganya ketika kembali ke kota besar tempatnya mengadu nasib.

Harapannya, tingkat ekonomi keluarga yang dibawa bisa meningkat setelah mendapatkan pekerjaan dengan tingkat penghasilan yang lebih besar. Ilmu ekonomi sudah menjelaskan fenomena ini sejak lama dengan dua konsep, yaitu adanya faktor pendorong (push factor) serta faktor penarik (pull factor) terjadinya arus urbanisasi. Yang pertama, faktor pendorong (push factor) berasal dari kondisi di berbagai desa di Indonesia yang umumnya kondisi ekonominya masih rendah.

Kesempatan kerja yang tersedia sangat minim, variasinya pun sangat terbatas. Kondisi ini mendorong para penduduk usia produktif terutama para pemuda untuk keluar dari desanya mencari pekerjaan yang lebih baik di kota-kota besar. Yang kedua, faktor penarik (pull factor) adalah hal-hal yang menarik dari kota-kota besar yang tidak ada di desa-desa. Salah satu yang paling penting adalah kesempatan kerja yang lebih luas, variasi jenis pekerjaan serta tawaran gaji yang lebih tinggi.

Kesempatan berusaha juga sangat besar. Di kota besar ada semacam adagium di para perantau asal mau bekerja keras di kota besar segalanya akan menjadi uang. Dengan padatnya penduduk di kota besar maka tingkat kebutuhan berbagai macam produk barang hingga jasa tentu akan jauh lebih tinggi.

Misalnya tentu saja seorang buruh tani di desa yang diupah Rp50.000-80.000 untuk kerja membanting tulang seharian di sawah, tak akan terbayangkan bahwa tukang ojek di Jakarta bisa mendapatkan uang Rp10.000 hanya dengan mengantarkan penumpang dengan jarak 1 kilometer di pusat kota yang waktu tempuhnya hanya 5-10 menit. Ketimpangan seperti ini yang diceritakan oleh anggota keluarganya yang sudah lebih dulu menjadi perantau, tentu akan menjadi penarik yang manis bagi sang buruh tani.

Sayangnya, banyak juga keluarga yang dibawa oleh para perantau adalah orang-orang yang pengalaman kerjanya minim dan tingkat pendidikannya rendah. Pada akhirnya para pengadu nasib ini tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya mereka berakhir menjadi penganggur. Kondisi ini akhirnya mengarah ke masalah sosial karena kemiskinan dan rasa frustrasi bisa mendorong orang untuk melakukan tindakan kriminal.

Arus urbanisasi ini tanpa disadari juga menipiskan harapan desa untuk maju. Sudah menjadi cerita umum bahwa di desa-desa di seantero Indonesia, penduduknya didominasi oleh penduduk di usia nonproduktif, baik anak kecil maupun orang tua. Solusi terbaik masalah ini adalah menyebar gula-gula perekonomian di seantero Indonesia. Jangan jadikan desa hanya sebagai pemasok sumber daya manusia untuk kota-kota besar, namun melupakan pertumbuhan desa itu sendiri.

Jika para penduduk usia produktif bisa mendapatkan kesempatan kerja yang lebih luas dan upah yang lebih menjanjikan, tentu desa tak akan ditinggalkan warganya. Kota besar pun tak akan penuh sesak oleh para pengadu nasib yang putus asa.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6938 seconds (0.1#10.140)