Mungkinkah Lebaran Tanpa Inflasi?

Kamis, 31 Juli 2014 - 17:42 WIB
Mungkinkah Lebaran Tanpa...
Mungkinkah Lebaran Tanpa Inflasi?
A A A
INFLASI pada bulan Ramadan biasanya tinggi. Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada Juli 2014 atau Ramadan 1435 Hijriah berada di kisaran 0,8%-1,2%.

Dalam kurun lima tahun terakhir rata-rata inflasi Juli secara month to month ada di angka 0,85 %. Sementara year on year setiap Juli di bawah 4,5%. Jika inflasi Juli 0,8%, diperkirakan inflasi year on year di angka 4,4%. Meskipun kecil, dipastikan inflasi Juli yang terbesar. Hampir bisa dipastikan, inflasi Juli 2014 tak bergeser dari karakteristik inflasi saat Ramadan di tahun-tahun sebelumnya.

Tahun lalu, inflasi saat Ramadan (Juli) meledak tinggi: 3,29%. Inflasi tahun kalender (Januari-Juli 2013) 6,75%, sedangkan inflasi tahunan 8,61%, melampaui target pemerintah (8,2%). Inflasi Juli 2013 merupakan yang tertinggi sejak inflasi Juli 1998 sebesar 8,56%. Bedanya, saat itu Indonesia dilanda krisis moneter. Inflasi tahunan 8,61% ini merupakan yang tertinggi sejak Juli 2008 (11,03%).

Menurut BPS, inflasi Juli 2013 merupakan hasil jalinan banyak faktor: kenaikan harga BBM bersubsidi, Ramadan, dan libur sekolah. Ada lima hal besar penyumbang inflasi Juli 2013: BBM, tarif angkutan dalam kota, bawang merah, daging ayam, dan ikan segar. Jika dipilah, harga yang diatur pemerintah menyumbang inflasi sebesar 1,41%, inflasi inti punya andil 0,59%, dan inflasi harga bergejolak menyumbang 1,29%.

Hampir bisa dipastikan, inflasi Juli 2014 akan disumbang Ramadan, libur sekolah, dan tarif listrik. Pertanyaannya, jika tidak ada kenaikan harga tarif listrik dan libur sekolah, akankah inflasi Juli rendah? Menarik untuk menelusuri jejak inflasi selama Ramadan. Pada 2005, Ramadan jatuh pada Oktober, kemudian 2008 (September), 2011 (Agustus), dan 2012 (Juli). Pada 2005, inflasi saat Ramadan mencapai rekor tinggi: 8,7%.

Ini terjadi karena saat itu pemerintah menaikkan harga BBM hanya empat hari menjelang Ramadan. Tahun 2013 kenaikan harga BBM dilakukan dua pekan menjelang Ramadan. Setelah itu, pada 2008 inflasi Ramadan 0,97%; 2011 (0,93%); dan 2012 (0,7%). Terlihat jelas bahwa inflasi Ramadan selalu tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir tak pernah di bawah 0,7%.

Seperti suatu kelaziman, kehadiran Ramadan dan kemeriahan perayaan Idul Fitri ditandai oleh kenaikan harga-harga (pangan). Pemerintah seperti mati kutu dan pasrah terhadap situasi ini. Tahun ini hampir semua komoditas pangan, seperti beras, daging (ayam dan sapi), telur, sayur-sayuran, dan buah-buahan harganya melejit tinggi. Alasannya, saat Ramadan terjadi kenaikan permintaan sekitar 20%.

Sesuai hukum besi supply-demand, ketika ada tekanan di sisi permintaan dengan pasokan tetap, harga akan terpantik tinggi. Akhirnya, inflasi tinggi saat Ramadan dan Lebaran dianggap sebagai sebuah kelaziman. Mungkinkah Ramadan dan Lebaran tanpa (deraan) inflasi? Bukankah di negara-negara maju, Amerika Serikat (AS), misalnya, perayaan tahunan Thanksgiving dan Natal tidak disertai lonjakan inflasi?

Di AS, Thanksgiving yang jatuh pada November ditandai pula dengan kebiasaan mudik. Saat itu petani gandum merayakan panen raya sebelum memasuki musim dingin. Sama seperti Lebaran, semua moda transportasi mendadak sibuk. Jalan-jalan antarkota macet, stasiun kereta dan bandara penuh penumpang. Uniknya, inflasi di AS tidak melonjak. Kenapa? Karena struktur pasar sudah mapan alias mendekati koordinat persaingan sempurna.

Produsen tidak memiliki peluang untuk menaikkan harga secara semena-mena dan sepihak. Kemungkinan adanya praktik kartel harga juga dapat dieliminasi oleh Komite Antikartel Harga. Akibatnya, ritual tahunan Thanksgiving tidak identik dengan kenaikan harga (barang dan jasa). Ada lonjakan permintaan barang dan jasa, tetapi tidak inflationary (Prasetiantono, 2010).

Di Indonesia, inflasi selalu melejit saat Ramadan dan Lebaran karena struktur dan mekanisme pasar masih jauh dari pasar persaingan sempurna. Produsen, pengusaha, atau sekelompok kecil orang yang memiliki kekuatan mengendalikan pasokan, dan mengatur harga di pasar masih terbuka peluangnya untuk melakukan kartel dan persekongkolan untuk mengatur volume, harga dan wilayah distribusi.

Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum optimal bekerja untuk menutup peluang kartel dan persekongkolan itu. Usaha KPPU selalu kandas. Celakanya, pemerintah sering kali memberi toleransi menaikkan harga, terutama pada sektor transportasi. Kenaikan tiket pesawat, bus, dan kereta api diizinkan sampai batas tertentu. Batas itu sering dilanggar tanpa sanksi tegas.

Mungkinkah Ramadan dan Lebaran tanpa inflasi? Mungkin saja. Tetapi, untuk mewujudkan itu selain perlu berbagai upaya yang tidak mudah, juga memerlukan konsistensi dan keteguhan pelaksanaan di lapangan.

Pertama, mendorong terciptanya struktur dan mekanisme pasar persaingan sempurna agar tidak ada produsen atau penjual yang bisa mendikte harga secara sepihak. Jika produsen menaikkan harga, konsumen dengan mudah pindah ke produsen lain tanpa biaya apa pun. Caranya, memperbanyak pemain dengan jalan mengatur pembatasan penguasaan barang pada segelintir pelaku. Penyebaran pemain ini diperlukan agar kemampuan kontrol pasokan dan harga tidak ditentukan oleh segelintir pelaku sehingga pasar tidak gampang dipermainkan.

Kedua, meningkatkan penegakan hukum. Pemerintah harus tegas menindak pelaku yang menaikkan harga atau tarif di luar ketentuan. Dalam kaitan ini, pemerintah dan DPR juga perlu memberdayakan lembaga KPPU. Bila dipandang perlu, sudah saatnya dilakukan amandemen pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk meningkatkan kewibawaan dan power KPPU. Ini penting agar KPPU mampu menutup setiap celah yang terbuka untuk melakukan kartel dan melakukan persekongkolan harga.

Ketiga, merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya. Bulog tidak hanya mengurus beras, tetapi juga menangani beberapa komoditas penting lain disertasi instrumen stabilisasi yang lengkap, seperti cadangan, harga, pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya pada Bulog. Ini akan mengeliminasi kuasa swasta dalam kontrol harga dan mereduksi praktik rente ekonomi.

Keempat, memperbaiki jalur distribusi barang. Selama ini harga barang mudah melejit tinggi ketika jalur distribusi terganggu. Ini terkait dengan kondisi infrastruktur yang buruk, sebuah pekerjaan rumah terbesar yang sedang dihadapi pemerintah.

Kelima, membenahi administrasi perdagangan dalam dan luar negeri. Paling penting adalah administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain akan mudah diestimasi, termasuk fluktuasi harga.

Lebih dari itu, administrasi yang baik dengan mudah mendeteksi dua adanya praktik moral hazard: aksi aji mumpung dalam bentuk penimbunan dan menciptakan kelangkaan pasar semu.

KHUDORI
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
Penulis buku "Ironi Negeri Beras"
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0979 seconds (0.1#10.140)