Jerman dan Legenda Lorelei
A
A
A
SAYA masih terpengaruh oleh euforia keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014 di Brasil. Memang angkanya tipis. Jerman hanya berhasil mengalahkan Argentina dengan skor 1-0. Tapi, mau bagaimana lagi? Final adalah pertarungan dua tim terbaik. Jadi, pasti tidak mudah untuk menang dengan skor telak.
Buat saya, kemenangan itu cermin keberhasilan Jerman melawan kisah dalam legenda klasik mereka: Lorelei. Buat Anda yang belum pernah mendengar, berikut ini kisah ringkasnya. Sungai Rhine membentang dari Pegunungan Alpen di Swiss melintasi Jerman, masuk ke Belanda, dan beranak cabang sampai ke Belgia hingga pada akhirnya bermuara di Laut Utara. Di sungai itulah legenda klasik Jerman, Lorelei, bermula. Dengan lebar hingga lebih dari 113 meter dan kedalaman sekitar 25 meter, arus Sungai Rhine sangat tenang. Itu sebabnya pada sekitar abad pertengahan banyak kapal Jerman yang suka berlayar melintasi sungai tersebut.
Namun arus yang tenang malah kerap kali menghanyutkan. Membuat para nakhoda yang kurang berpengalaman dan waspada menjadi lengah. Dongeng pada abad pertengahan yang telah melegenda itu bercerita, ketika kapal berlayar memasuki kawasan Sankt Goarhausen di Rhineland-Pfalz, di atas bukit setinggi 100-an meter, duduk seorang gadis cantik. Sambil menyisir rambutnya yang berwarna keemasan, gadis itu menyanyikan lagu yang berkisah tentang kerinduannya kepada sang kekasih. Ia duduk di atas bukit, menunggu sang kekasih yang lama pergi dan tak kunjung kembali.
Oleh karena tepi sungainya yang berupa bukit bebatuan, suara sang gadis tadi dipantulkan kembali oleh dinding-dinding bukit sehingga menghasilkan gema suara yang merdu mendayu. Nakhoda yang tengah berlayar terpana. Ia kagum dengan suara merdu sang gadis, darahnya berdesir melihat kecantikannya, tetapi sekaligus iba dengan nasibnya yang malang. Sebagian dari mereka mengutuk sang kekasih yang tega meninggalkan gadis itu.
Perangkap
Ketika perasaan tengah mengharu biru, mereka tak sadar bahwa di tengah sungai itu terdapat gundukan pasir yang membelah aliran sungai menjadi dua. Di sebelah kiri arusnya mengalir deras, sementara yang kanan lebih tenang. Setelah melewati gundukan pasir, dua arus tadi bertemu kembali dengan kecepatan yang berbeda dan menghasilkan pusaran. Banyak nakhoda yang tengah terpana dengan sang gadis tadi tak sadar masuk “perangkap” tersebut. Sejarah mencatat, sejumlah kapal pernah karam di tempat tersebut. Itu sebabnya kawasan itu kemudian dinamai Lorelei atau terjemahan bebasnya kurang lebih bukit batu dengan arus yang deras.
Legenda itu kemudian dituliskan dalam serangkaian puisi oleh sastrawan Jerman seperti Heinrich Heine (1824). Kini, untuk mencegah berulangnya kecelakaan tersebut, Pemerintah Jerman membangun rambu-rambu untuk mengingatkan kapal-kapal yang akan melintas di wilayah tersebut. Sebenarnya tim sepak bola Jerman bisa senasib dengan kapal-kapal yang karam tersebut. Mereka bisa saja lengah karena pada pertandingan semifinal sebelumnya tim Jerman mampu menenggelamkan tim Brasil dengan skor telak 7-1 dalam tempo pertandingan 2x45 menit.
Sementara itu tim Argentina baru lolos ke babak final setelah bertarung habis-habisan melawan Belanda selama 120 menit, ditambah dengan drama adu penalti yang menguras bukan saja fisik, tetapi juga mental para pemain. Namun legenda Lorelei seakan mengingatkan tim Jerman. Meski banyak kalangan menilai di atas kertas posisi tim Jerman seakan-akan berada di atas angin, Argentina bisa saja menjadi gundukan pasir di Sungai Rhine dan menyebabkan tim Jerman terseret arus dan karam. Untungnya, tim Jerman tidak lengah. Hasilnya, kita sama-sama tahu, tim Jerman harus bertarung habis-habisan sebelum mencetak satu-satunya gol pada menit ke-113 dan dalam waktu yang tersisa harus bertahan sekuat tenaga menghindari gempuran Lionel Messi dan kawan-kawan.
Awan Mendung
Bagi kalangan bisnis, siapa pun pemenang dari partai final Jerman vs Argentina, hasilnya sebetulnya sama saja. Pemenang sesungguhnya adalah Adidas, merek perlengkapan olahraga asal Jerman. Sebab, selain menjadi salah satu sponsor utama Piala Dunia 2014, Adidas juga menjadi sponsor utama dua tim tersebut. Meski begitu, jika tim Jerman berhasil terhindar dari Lorelei, Adidas tampaknya masih berusaha keluar dari perangkap tersebut. Penjualan bersih Adidas selama kuartal I 2014 mencapai USD4,8 miliar atau turun hampir 6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ditambah dengan meningkatnya berbagai biaya, selama kurun waktu itu pula laba bersih Adidas menurun hingga 33,5%.
Jika kuartal I 2013 laba bersih Adidas masih USD419 juta, untuk tahun ini tinggal USD279 juta. Adidas adalah potret kecil dari gambaran besar perekonomian Jerman yang juga tengah bergerak menurun. Contohnya di industri manufaktur. Menurut survei komposit Purchasing Manager Index (PMI) yang melacak aktivitas di sektor manufaktur dan jasa, selama Februari-Maret 2014 telah terjadi penurunan indeks dari 56,4 menjadi 55,0. Banyak kalangan di Jerman menilai ini penurunan tertinggi selama kurun waktu 2,5 tahun terakhir. Potret penurunan yang lain juga terjadi pada sektor ritel.
Indikator German Retail Sales bulan per bulan pun menunjukkan terjadinya penurunan tersebut. Pada bulan Mei 2014, misalnya, angka indikator ritel turun 0,6%. Meski begitu penurunan tersebut lebih baik ketimbang April 2014 yang angkanya turun hingga 1,5%. Apa yang menjadi penyebab menurunnya kinerja perekonomian Jerman? Sejumlah ekonom di sana menunjuk pada krisis Ukraina-Rusia yang diperkirakan bakal berdampak pada pasokan energi di Jerman dan kinerja sektor-sektor bisnis lain. Kondisi itulah yang menyebabkan The Economist pada Juni lalu menulis, “Ada mendung di depan perekonomian Jerman.”
Meski begitu Pemerintah Jerman optimistis mereka bakal mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang 1,8%. Bahkan sebagian kalangan menduga angkanya bisa mendekati 2%. Apakah itu pertanda bahwa mereka sudah melihat adanya “Lorelei” yang ada di depan? Saya berharap begitu. Jadi, bukan sekadar optimisme yang dipengaruhi sentimen positif keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014. Sebab mengurus ekonomi jauh lebih rumit ketimbang mengurus sebuah tim sepak bola.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Buat saya, kemenangan itu cermin keberhasilan Jerman melawan kisah dalam legenda klasik mereka: Lorelei. Buat Anda yang belum pernah mendengar, berikut ini kisah ringkasnya. Sungai Rhine membentang dari Pegunungan Alpen di Swiss melintasi Jerman, masuk ke Belanda, dan beranak cabang sampai ke Belgia hingga pada akhirnya bermuara di Laut Utara. Di sungai itulah legenda klasik Jerman, Lorelei, bermula. Dengan lebar hingga lebih dari 113 meter dan kedalaman sekitar 25 meter, arus Sungai Rhine sangat tenang. Itu sebabnya pada sekitar abad pertengahan banyak kapal Jerman yang suka berlayar melintasi sungai tersebut.
Namun arus yang tenang malah kerap kali menghanyutkan. Membuat para nakhoda yang kurang berpengalaman dan waspada menjadi lengah. Dongeng pada abad pertengahan yang telah melegenda itu bercerita, ketika kapal berlayar memasuki kawasan Sankt Goarhausen di Rhineland-Pfalz, di atas bukit setinggi 100-an meter, duduk seorang gadis cantik. Sambil menyisir rambutnya yang berwarna keemasan, gadis itu menyanyikan lagu yang berkisah tentang kerinduannya kepada sang kekasih. Ia duduk di atas bukit, menunggu sang kekasih yang lama pergi dan tak kunjung kembali.
Oleh karena tepi sungainya yang berupa bukit bebatuan, suara sang gadis tadi dipantulkan kembali oleh dinding-dinding bukit sehingga menghasilkan gema suara yang merdu mendayu. Nakhoda yang tengah berlayar terpana. Ia kagum dengan suara merdu sang gadis, darahnya berdesir melihat kecantikannya, tetapi sekaligus iba dengan nasibnya yang malang. Sebagian dari mereka mengutuk sang kekasih yang tega meninggalkan gadis itu.
Perangkap
Ketika perasaan tengah mengharu biru, mereka tak sadar bahwa di tengah sungai itu terdapat gundukan pasir yang membelah aliran sungai menjadi dua. Di sebelah kiri arusnya mengalir deras, sementara yang kanan lebih tenang. Setelah melewati gundukan pasir, dua arus tadi bertemu kembali dengan kecepatan yang berbeda dan menghasilkan pusaran. Banyak nakhoda yang tengah terpana dengan sang gadis tadi tak sadar masuk “perangkap” tersebut. Sejarah mencatat, sejumlah kapal pernah karam di tempat tersebut. Itu sebabnya kawasan itu kemudian dinamai Lorelei atau terjemahan bebasnya kurang lebih bukit batu dengan arus yang deras.
Legenda itu kemudian dituliskan dalam serangkaian puisi oleh sastrawan Jerman seperti Heinrich Heine (1824). Kini, untuk mencegah berulangnya kecelakaan tersebut, Pemerintah Jerman membangun rambu-rambu untuk mengingatkan kapal-kapal yang akan melintas di wilayah tersebut. Sebenarnya tim sepak bola Jerman bisa senasib dengan kapal-kapal yang karam tersebut. Mereka bisa saja lengah karena pada pertandingan semifinal sebelumnya tim Jerman mampu menenggelamkan tim Brasil dengan skor telak 7-1 dalam tempo pertandingan 2x45 menit.
Sementara itu tim Argentina baru lolos ke babak final setelah bertarung habis-habisan melawan Belanda selama 120 menit, ditambah dengan drama adu penalti yang menguras bukan saja fisik, tetapi juga mental para pemain. Namun legenda Lorelei seakan mengingatkan tim Jerman. Meski banyak kalangan menilai di atas kertas posisi tim Jerman seakan-akan berada di atas angin, Argentina bisa saja menjadi gundukan pasir di Sungai Rhine dan menyebabkan tim Jerman terseret arus dan karam. Untungnya, tim Jerman tidak lengah. Hasilnya, kita sama-sama tahu, tim Jerman harus bertarung habis-habisan sebelum mencetak satu-satunya gol pada menit ke-113 dan dalam waktu yang tersisa harus bertahan sekuat tenaga menghindari gempuran Lionel Messi dan kawan-kawan.
Awan Mendung
Bagi kalangan bisnis, siapa pun pemenang dari partai final Jerman vs Argentina, hasilnya sebetulnya sama saja. Pemenang sesungguhnya adalah Adidas, merek perlengkapan olahraga asal Jerman. Sebab, selain menjadi salah satu sponsor utama Piala Dunia 2014, Adidas juga menjadi sponsor utama dua tim tersebut. Meski begitu, jika tim Jerman berhasil terhindar dari Lorelei, Adidas tampaknya masih berusaha keluar dari perangkap tersebut. Penjualan bersih Adidas selama kuartal I 2014 mencapai USD4,8 miliar atau turun hampir 6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ditambah dengan meningkatnya berbagai biaya, selama kurun waktu itu pula laba bersih Adidas menurun hingga 33,5%.
Jika kuartal I 2013 laba bersih Adidas masih USD419 juta, untuk tahun ini tinggal USD279 juta. Adidas adalah potret kecil dari gambaran besar perekonomian Jerman yang juga tengah bergerak menurun. Contohnya di industri manufaktur. Menurut survei komposit Purchasing Manager Index (PMI) yang melacak aktivitas di sektor manufaktur dan jasa, selama Februari-Maret 2014 telah terjadi penurunan indeks dari 56,4 menjadi 55,0. Banyak kalangan di Jerman menilai ini penurunan tertinggi selama kurun waktu 2,5 tahun terakhir. Potret penurunan yang lain juga terjadi pada sektor ritel.
Indikator German Retail Sales bulan per bulan pun menunjukkan terjadinya penurunan tersebut. Pada bulan Mei 2014, misalnya, angka indikator ritel turun 0,6%. Meski begitu penurunan tersebut lebih baik ketimbang April 2014 yang angkanya turun hingga 1,5%. Apa yang menjadi penyebab menurunnya kinerja perekonomian Jerman? Sejumlah ekonom di sana menunjuk pada krisis Ukraina-Rusia yang diperkirakan bakal berdampak pada pasokan energi di Jerman dan kinerja sektor-sektor bisnis lain. Kondisi itulah yang menyebabkan The Economist pada Juni lalu menulis, “Ada mendung di depan perekonomian Jerman.”
Meski begitu Pemerintah Jerman optimistis mereka bakal mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini yang 1,8%. Bahkan sebagian kalangan menduga angkanya bisa mendekati 2%. Apakah itu pertanda bahwa mereka sudah melihat adanya “Lorelei” yang ada di depan? Saya berharap begitu. Jadi, bukan sekadar optimisme yang dipengaruhi sentimen positif keberhasilan Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014. Sebab mengurus ekonomi jauh lebih rumit ketimbang mengurus sebuah tim sepak bola.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(hyk)