KPK Buka Penyelidikan Baru Kepala Daerah Penyuap Akil

Senin, 07 Juli 2014 - 07:34 WIB
KPK Buka Penyelidikan...
KPK Buka Penyelidikan Baru Kepala Daerah Penyuap Akil
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan untuk membuka penyelidikan baru terkait kepala daerah dan petinggi partai pemberi suap lain kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

Pemberi suap lain yakni yang belum dijerat sebagai tersangka dan terdakwa dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa pilkada di MK.

"Kemungkinan itu (penyelidikan baru) ada. Masih dikembangkan. Tapi sampai hari ini belum. belum ada," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP saat berbincang dengan SINDO di Jakarta, Minggu 6 Juli 2014.

Sebelumnya, dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pemilukada Gunung Mas, Kalimantan Tengah KPK sudah menyeret terdakwa Bupati Gunung Mas Hambit Bintih (sudah divonis), terpidana pengusaha Cornelis Nalau Antun, anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa.

Dalam sengketa Pemilukada Lebak, Banten dan Lampung Selatan, Provinsi Lampung yakni terdakwa advokat sekaligus Politikus PDIP Susi Tur Andayani (sudah divonis). Dalam sengketa Pemilukada Lebak dan Pilgub Banten sudah divonis terdakwa Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP) Tb Chaeri Wardana Chasan alias Wawan. Masih di sengketa Pemilukada Lebak, terdakwa Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut masih menjalani persidangan.

Terakhir terkait Pemilukada Kota Palembang dan pemberian keterangan palsu, beberapa hari lalu KPK sudah menetapkan tersangka Romi Herton (Wali Kota Palembang sekaligus politisi PDIP) dan istrinya Masyitoh.

Dalam putusannya, Akil terbukti menerima suap dan janji lebih dari Rp56,785 miliar dan USD500.000. Bila melihat putusan Akil majelis hakim menyatakan ada 14 sengketa pemilukada yang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

Untuk Gunung Mas tersangka dan terdakwanya sudah selesai. Sedangkan Palembang dan Banten sudah ada. Artinya dikurangi tiga pemilukada itu masih ada 11 sengketa pemilukada lain yang belum ada tersangkanya dari tujuh unsur kepala daerah dan ketua partai.

Yakni, pertama dalam Pemilukada Lebak, Akil dinilai mendapatkan Rp1 miliar dari terdakwa Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, terdakwa Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan calon bupati Lebak sekaligus mantan wakil bupati Amir Hamzah (belum tersangka), melalui terdakwa pengacara Susi Tur Andayani.

Kedua, Pemilukada Kabupaten Empat Lawang. Akil mendapat Rp10 miliar dan USD500.000 melalui Muhtar Ependy dari Bupati Petahana Budi Antoni Aljufri (belum tersangka). Ketiga, Pemilukada Buton, Sulawesi Tengara. Akil terima Rp1 miliar dari Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun (belum tersangka) yang ditransfer langsung melalui rekening CV Ratu Samagat.

Keempat, Pemilukada Pulau Morotai. Akil menerima Rp2,99 miliar dari calon bupati Rusli Sibua (belum tersangka). Uang diminta Akil melalui Sahrin Hamid (kuasa hukum Rusli), yang kemudian ditransfer Muchlis Tapi Tapi (kolega Rusli Sibua & mantan Plt Ketua KPUD Maluku Utara) dan Muchammad Djuffry (politikus PAN Maluku Utara dan Direktur Utama PT Manggala Rimba Sejahtera)

Kelima, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Akil menerima Rp1,8 miliar yang diberikan bupati terpilih Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang. Keenam, Pemilukada Jawa Timur. Akil terbukti mendapatkan janji untuk menerima uang Rp10 miliar dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah I Golkar Jawa Timur yang juga Ketua Ketua Bidang Pemenangan Pilkada Jawa Timur pasangan Soekarwo dan Saifullah Yusuf (Karsa), Zainuddin Amali. Namun sebelum janji itu terwujud Akil sudah ditangkap pada 2 Oktober 2013.

Ketujuh hingga kesebelas yakni lima pemilukada di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digul, Kota Jayapura, dan Kabupaten Nduga. Akil juga menerima Rp125 juta dari Wakil Gubernur Papua 2006-2011 Alex Hesegem sebagai imbalan konsultasi mengenai perkara permohonan keberatan lima pemilukada tersebut.

Johan melanjutkan, putusan yang sudah dijatuhkan kepada Akil masih di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta atau tingkat pertama dan belum berkekuatan hukum tetap (inkracht). Menurutnya, kalau sudah inkracht pengembangan ke arah 11 sengketa pemilukada dengan tujuh pemberi suap dan janji (enam kepala daerah dan satu ketua DPD) akan lebih cepat.

"Putusan itu bisa jadi bahan. Putusan tingkat pertama itu belum cukup," bebernya.

Disinggung perbandingan putusan Akil belum inkracht tetapi KPK bisa menetapkan Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyitoh, Johan melihatnya berbeda. Penetapan itu berarti dalam proses pengembangannya sudah ditemukan dua alat bukti yang cukup.

Sementara yang lain belum. Bisa saja, lanjutnya, pengembangan Romi dan istri itu dilakukan juga setelah dilakukan pemeriksaan pihak-pihak terkait.

"Karena itu kan muncul dari kesaksian di persidangan. Kemudian di proses penyidikan. Tetapi kan selalu aku bilang, tidak selalu nunggu putusan inkracht. Di KPK prosesnya berjalan juga. Termasuk pengembangan kasus Akil," imbuhnya.

Johan mengaku tidak bisa menilai apakah bukti-bukti pendukung seperti telpon, pesan singkat (SMS), bukti transfer, dan BlackBerry Massanger (BBM) yang disampaikan JPU dalam sidang sudah cukup atau belum untuk menjerat tujuh kepala daerah dan petinggi partai pemberi suap tersebut.

"Saya kan enggak nangani. Jadi enggak tahu ya apakah itu cukup atau enggak. Ya kalau dilihat belum ada tersangka baru, ya berarti belum cukup dua alat bukti buat yang lain. Yang sudah cukup kan yang Palembang yang kemudian ada tersangka," tandas Johan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6561 seconds (0.1#10.140)