Bersiaplah untuk Kalah
A
A
A
JELANG berakhirnya kampanye, pasangan capres-cawapres beserta tim sukses masing-masing berupaya keras memaksimalkan dukungan di basis-basis massa.
Pasangan nomor 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, menggempur wilayah tradisional partai pendukung Jokowi, PDIP dan PKB, yakni Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rivalnya, Joko Widodo (Jokowi), memperkuat basis massanya yang konon sudah jatuh ke tangan pesaingnya. Bahkan, Jusuf Kalla (JK), yang beberapa hari belakangan tidak turun kampanye, kemarin juga sudah berada di Jawa Barat.
”Perang darat” yang dilakukan kedua pasangan hanya satu bagian dari strategi kampanye yang mereka lakukan, dari pengerahan artis, merilis Obor Rahmatan Lilalamin untuk melawan Obor Rakyat, jorjoran spanduk dan baliho di jalan, penggalangan opini dan iklan di media, dan lainnya. Di dunia maya, terutama Facebook dan Twitter, lebih kejam lagi. Para tim sukses dan simpatisannya habis-habisan perang status, link, foto dan gambar, saling caci, dan lainnya.
Saking kerasnya pertarungan, masing-masing pihak pun sudah saling melaporkan. Pihak Prabowo telah melaporkan Wimar Witoelar terkait gambar Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys; Hendropiyono terkait tudingan Prabowo psikopat; dan juga melaporkan bocornya keputusan Dewan Kehormatan Perwira. Dari kubu Jokowi juga tidak kalah, sudah melaporkan Obor Rakyat, transkrip rekaman pembicaraan Megawati Soekarnoputri dan Jaksa Agung Basrief Arief; komentar ”sinting” yang disampaikan Fahri Hamzah, dan lainnya.
Di alam pikiran kedua pasangan capres-cawapres saat ini hanya satu: sama-sama merasa bisa menang dan harus menang. Semua langkah yang dilakukan adalah bagian dari persiapan untuk menyambut kemenangan pada Pilpres 2014. Prabowo yang beberapa bulan sebelumnya terpaut selisih 2 digit di bawah Jokowi kini yakin menang karena elektabilitasnya terus meroket seperti disampaikan LSI, Indobarometer, dan SMRC. Bahkan, survei Polcomm, Vox Populi, PDB, LSN, Institut Survei Indonesia, sudah menyebut Prabowo mengungguli Jokowi.
Di lain pihak, survei P2P LIPI, Litbang Kompas, SSSG, Alvara Research Center, Cyrus Network, Indikator Politik, dan beberapa lainnya masih mengunggulkan Jokowi. Optimistis harus, tapi semuanya akan kembali pada hasil 9 Juli nanti. Hal yang pasti, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Karena itu, dalam kontes politik selalu didengungkan jargon fair play: ”siap menang dan siap kalah”.
Dalam realitas politik zero sum game ini pihak yang memang akan memegang kendali pemerintahan untuk lima tahun ke depan, sebaliknya yang kalah akan menanggung begitu banyak kerugian akibat seluruh sumber daya material, tenaga, dan mental yang habis-habisan mereka keluarkan. Kesiapan untuk kalah patut mendapat perhatian karena peperangan politik yang terjadi bukan hanya menyeret elite politik, tapi juga menggesekkan massa pendukung dan simpatisan.
Kondisi psikopolitik di lapangan sudah ibarat jerami kering yang mudah terbakar. Sedikit provokasi, emosi langsung tumpah seperti ditunjukkan dengan penyerbuan massa pendukung Jokowi ke kantor TVOne terkait pemberitaaan. Massa juga sudah mendatangi kantor PKS akibat pernyataan Fahri Hamzah. Semestinya, seberat apa pun persoalan jangan sampai diselesaikan dengan aksi massa. Semuanya harus dikembalikan ke mekanisme politik, yaitu diadukan ke Bawaslu, atau diselesaikan melalui jalur hukum melalui laporan ke kepolisian.
Jika menyangkut penyiaran atau pemberitaan seharusnya dilaporkan ke KPI atau Dewan Pers. Di sisi lain, para pemimpin yang menjadi panutan hendaknya tidak memprovokasi atau sengaja membiarkan terjadinya anarkisme massa karena Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan hukum. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi apabila pada 9 Juli nanti rakyat sudah mengambil keputusan siapa yang mendapatkan amanat memegang kepemimpinan negeri ini, di sisi lain harus ada yang gigit jari–jika Prabowo maupun Jokowi dan elite politik di sekitarnya tidak siap kalah.
Akan mengerikan sekali jika mereka tidak menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang memahami etika berdemokrasi, aturan hukum, dan memahami pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itulah kedua belah pihak hendaknya bukan hanya bersiap-siap untuk menang, tapi juga bersiap untuk kalah.
Pasangan nomor 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, menggempur wilayah tradisional partai pendukung Jokowi, PDIP dan PKB, yakni Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rivalnya, Joko Widodo (Jokowi), memperkuat basis massanya yang konon sudah jatuh ke tangan pesaingnya. Bahkan, Jusuf Kalla (JK), yang beberapa hari belakangan tidak turun kampanye, kemarin juga sudah berada di Jawa Barat.
”Perang darat” yang dilakukan kedua pasangan hanya satu bagian dari strategi kampanye yang mereka lakukan, dari pengerahan artis, merilis Obor Rahmatan Lilalamin untuk melawan Obor Rakyat, jorjoran spanduk dan baliho di jalan, penggalangan opini dan iklan di media, dan lainnya. Di dunia maya, terutama Facebook dan Twitter, lebih kejam lagi. Para tim sukses dan simpatisannya habis-habisan perang status, link, foto dan gambar, saling caci, dan lainnya.
Saking kerasnya pertarungan, masing-masing pihak pun sudah saling melaporkan. Pihak Prabowo telah melaporkan Wimar Witoelar terkait gambar Gallery of Rogues, Kebangkitan Bad Guys; Hendropiyono terkait tudingan Prabowo psikopat; dan juga melaporkan bocornya keputusan Dewan Kehormatan Perwira. Dari kubu Jokowi juga tidak kalah, sudah melaporkan Obor Rakyat, transkrip rekaman pembicaraan Megawati Soekarnoputri dan Jaksa Agung Basrief Arief; komentar ”sinting” yang disampaikan Fahri Hamzah, dan lainnya.
Di alam pikiran kedua pasangan capres-cawapres saat ini hanya satu: sama-sama merasa bisa menang dan harus menang. Semua langkah yang dilakukan adalah bagian dari persiapan untuk menyambut kemenangan pada Pilpres 2014. Prabowo yang beberapa bulan sebelumnya terpaut selisih 2 digit di bawah Jokowi kini yakin menang karena elektabilitasnya terus meroket seperti disampaikan LSI, Indobarometer, dan SMRC. Bahkan, survei Polcomm, Vox Populi, PDB, LSN, Institut Survei Indonesia, sudah menyebut Prabowo mengungguli Jokowi.
Di lain pihak, survei P2P LIPI, Litbang Kompas, SSSG, Alvara Research Center, Cyrus Network, Indikator Politik, dan beberapa lainnya masih mengunggulkan Jokowi. Optimistis harus, tapi semuanya akan kembali pada hasil 9 Juli nanti. Hal yang pasti, akan ada yang menang dan ada yang kalah. Karena itu, dalam kontes politik selalu didengungkan jargon fair play: ”siap menang dan siap kalah”.
Dalam realitas politik zero sum game ini pihak yang memang akan memegang kendali pemerintahan untuk lima tahun ke depan, sebaliknya yang kalah akan menanggung begitu banyak kerugian akibat seluruh sumber daya material, tenaga, dan mental yang habis-habisan mereka keluarkan. Kesiapan untuk kalah patut mendapat perhatian karena peperangan politik yang terjadi bukan hanya menyeret elite politik, tapi juga menggesekkan massa pendukung dan simpatisan.
Kondisi psikopolitik di lapangan sudah ibarat jerami kering yang mudah terbakar. Sedikit provokasi, emosi langsung tumpah seperti ditunjukkan dengan penyerbuan massa pendukung Jokowi ke kantor TVOne terkait pemberitaaan. Massa juga sudah mendatangi kantor PKS akibat pernyataan Fahri Hamzah. Semestinya, seberat apa pun persoalan jangan sampai diselesaikan dengan aksi massa. Semuanya harus dikembalikan ke mekanisme politik, yaitu diadukan ke Bawaslu, atau diselesaikan melalui jalur hukum melalui laporan ke kepolisian.
Jika menyangkut penyiaran atau pemberitaan seharusnya dilaporkan ke KPI atau Dewan Pers. Di sisi lain, para pemimpin yang menjadi panutan hendaknya tidak memprovokasi atau sengaja membiarkan terjadinya anarkisme massa karena Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan hukum. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi apabila pada 9 Juli nanti rakyat sudah mengambil keputusan siapa yang mendapatkan amanat memegang kepemimpinan negeri ini, di sisi lain harus ada yang gigit jari–jika Prabowo maupun Jokowi dan elite politik di sekitarnya tidak siap kalah.
Akan mengerikan sekali jika mereka tidak menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang memahami etika berdemokrasi, aturan hukum, dan memahami pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk itulah kedua belah pihak hendaknya bukan hanya bersiap-siap untuk menang, tapi juga bersiap untuk kalah.
(hyk)