Menelusuri Jejak Iman Kita
A
A
A
”DI manakah jejak iman kita?” ”Apakah iman memang punya jejak?” ”Punya. Dia punya jejak, dan tanda-tanda, yang dapat dibaca” ”Apakah iman memang bergerak, dan meninggalkan tanda, hingga kita tahu ke mana arah geraknya?”
”Ya. Iman itu tumbuh, makin dewasa, makin matang, dan dia pun bergerak, sehingga jejak-jejak yang ditinggalkannya dapat kita temukan.” ”Nanti dulu. Iman siapa yang seperti itu ciri-cirinya? Komunitas orang-orang beriman yang bagaimana yang punya jejak, punya tanda dan bekas-bekas keimanan seperti itu?” ”Semua jenis komunitas orang-orang beriman seharusnya memiliki ciri-ciri identitas yang sama.”
”Tapi kenyataannya tidak sama. Dan kita tak mungkin membuatnya sama” ”Ya. Mungkin begitu. Dan jika memang benar begitu, saya tak mengerti lagi harus bicara apa. Iman yang sama, wujud ibadah yang sama, dipersembahkan pada Tuhan yang sama, mengapa berbeda-beda jejak dan wujud eksistensialnya?” ”Kau benar, dan berhak merasa heran, kalau ukuran yang kau pakai hanya semua yang standar, pakem, dan normatif: iman melahirkan salat, iman diwujudkan dalam puasa, iman membawa kewajiban-kewajiban hukum yang tak bisa diabaikan. Kalau ini ukurannya, jejak iman niscaya sama di mana-mana” ”Memangnya ada iman jenis apa lagi?”
”Kalau yang kau tanya itu, jawabnya jelas: iman ya iman. Di mana-mana tak kita temukan bedanya. Tapi buah iman ada banyak macamnya.” ”Banyak tapi sama. Apa yang datang dari ajaran yang sama, muncul praktik yang sama pula.” ”Ya. Itu kalau dilihat semata dari dimensi normatifnya agama.” ”Memangnya apalagi selain itu?” ”Mereka yang memperkaya pengamalan agama, dengan berbagai jenis ibadah, yang menunjung tinggi pula kewajiban etis, jelas membuat jejak-jejak iman yang berbeda. Mereka orang-orang yang tulus.” ”Ya. Tapi iman itu sama bukan?”
”Ya. Sama. Terutama bagi mereka yang memandang agama sebagai aturan hukum-hukum, yang normatif, dan tak bisa dielakkan. Semua orang beriman menaati aturan ini.” ”Itu sudah kita pahami bersama.” ”Tapi ada hamba-hamba yang baik hati, yang saleh, dan tulus dalam kesalehannya, telah membuat agama tampak menjadi lebih semarak, lebih manusiawi. Amalan lahir bukan semata karena panggilan hukum, melainkan juga karena panggilan etis, tambahan amal mulia, yang disukai Allah.
Orang-orang ini jelas meninggalkan jejak iman yang lain, yang tak sama dengan apa yang bisa disebut ”mainstream” keagamaan” Keduanya kemudian diam. Dan kita merasa diantar oleh keduanya, ke dalam suatu corak kesadaran keagamaan yang lain, yang ukuran-ukurannya kualitatif, yang menekankan makna ketulusan dalam iman. Bila kita terbiasa menemukan jejak-jejak iman kita sendiri, yang tampil lebih pada dimensi yang tulus ini, kita tahu bahwa kita telah membiasakan berlatih dengan baik untuk bisa menjadi hamba yang tulus.
Latihan ketulusan, yang kita tempuh, di atas landasan yang jelas, membuat kita siap menjalankan perintah puasa, yang ukuran-ukurannya begitu personal, dan menaruh ”trust-trust yang besar pada ketulusan kita. Mereka yang tak tulus bisa saja pada siang hari, ketika orang lain tak ada, makan kenyang, minum sepuas-puasnya, dan meneruskan puasanya, seperti orang-orang lain yang jujur pada diri mereka sendiri. Yang tak tulus, yang pura-pura berpuasa, bisa tak ketahuan siapa pun.
Tak berpuasa tapi pura-pura berpuasa, semata karena malu jika kelihatan tak berpuasa, boleh saja kalau kita bisa menjalaninya. Tapi kepura-puraan seperti ini tak akan membuatnya mencapai sesuatu, atau menjadi sesuatu. Kepura-puraan ini sama dengan apa yang palsu, dan culas di dalam dunia politik. Orang politik terbiasa bersiasat, menipu seperti tak menipu, bohong seperti tidak bohong, dan kemudian, lebih serius lagi, memfitnah seperti tidak memfitnah. Tapi intinya mereka menipu, mereka bohong, dan mereka memfitnah.
Puasa menekankan kejujuran dan sikap tulus. Dan kita, yang sudah berpuluh-puluh bulan Ramadan berpuasa, apa yang kita praktikkan bila kita masih juga terpeleset dari apa yang bersifat etis, yang menjunjung kejujuran dalam hidup? Watak oportunis, dan bersikap serakah tanpa tahu malu, kelihatannya tak diperhatikan orang. Tapi kita tahu, di banyak kalangan watak itu dicaci maki, disesali dan dikutuk habis-habisan. Orang lain, yang kritis dan bawel itu, bisa saja kita tipu, dan kita kecoh.
Tapi dapatkah kita mengecoh diri kita sendiri? Mungkin, diam-diam, kita selalu –tiap saat– menelusuri kembali jejak iman kita, dan untuk tahu, kita ini jenis apa, memiliki jejak iman seperti apa, ataukah kita tak punya jejak sama sekali. Ajaran puasa, yang menekankan pada kebebasan itu, dapatkah kita laksanakan secara bebas, dengan kebebasan orang dewasa, dan bertanggung jawab? Puasa, yang memberi kita trust, untuk bersikap tulus, sudahkah kita sambut dengan ketulusan? Atau di sini kita bersiasat, bohong dan pura-pura, seperti orang-orang di dunia politik? Sering kita merasa seperti sudah berjalan jauh, tetapi kita tidak menjadi semakin dekat dengan apa yang kita cari dalam perjalanan ini.
Bahkan tak jarang, sesudah makin jauh kita melangkah, baru kita sadar, bahwa mungkin kita tersesat. Ini perjalanan tanpa peta, tanpa petunjuk arah, tanpa tanda kapan harus membelok, kapan berhenti, dan di tikungan mana belokan pertama dan terakhir. Berpuasa, begitu rumit, begitu dalam lekuk-lekuknya yang gelap. Tuhan, aku tak tahu, apa arti puasa dan ketulusanku.
MOHAMAD SOBARY
Budayawan
”Ya. Iman itu tumbuh, makin dewasa, makin matang, dan dia pun bergerak, sehingga jejak-jejak yang ditinggalkannya dapat kita temukan.” ”Nanti dulu. Iman siapa yang seperti itu ciri-cirinya? Komunitas orang-orang beriman yang bagaimana yang punya jejak, punya tanda dan bekas-bekas keimanan seperti itu?” ”Semua jenis komunitas orang-orang beriman seharusnya memiliki ciri-ciri identitas yang sama.”
”Tapi kenyataannya tidak sama. Dan kita tak mungkin membuatnya sama” ”Ya. Mungkin begitu. Dan jika memang benar begitu, saya tak mengerti lagi harus bicara apa. Iman yang sama, wujud ibadah yang sama, dipersembahkan pada Tuhan yang sama, mengapa berbeda-beda jejak dan wujud eksistensialnya?” ”Kau benar, dan berhak merasa heran, kalau ukuran yang kau pakai hanya semua yang standar, pakem, dan normatif: iman melahirkan salat, iman diwujudkan dalam puasa, iman membawa kewajiban-kewajiban hukum yang tak bisa diabaikan. Kalau ini ukurannya, jejak iman niscaya sama di mana-mana” ”Memangnya ada iman jenis apa lagi?”
”Kalau yang kau tanya itu, jawabnya jelas: iman ya iman. Di mana-mana tak kita temukan bedanya. Tapi buah iman ada banyak macamnya.” ”Banyak tapi sama. Apa yang datang dari ajaran yang sama, muncul praktik yang sama pula.” ”Ya. Itu kalau dilihat semata dari dimensi normatifnya agama.” ”Memangnya apalagi selain itu?” ”Mereka yang memperkaya pengamalan agama, dengan berbagai jenis ibadah, yang menunjung tinggi pula kewajiban etis, jelas membuat jejak-jejak iman yang berbeda. Mereka orang-orang yang tulus.” ”Ya. Tapi iman itu sama bukan?”
”Ya. Sama. Terutama bagi mereka yang memandang agama sebagai aturan hukum-hukum, yang normatif, dan tak bisa dielakkan. Semua orang beriman menaati aturan ini.” ”Itu sudah kita pahami bersama.” ”Tapi ada hamba-hamba yang baik hati, yang saleh, dan tulus dalam kesalehannya, telah membuat agama tampak menjadi lebih semarak, lebih manusiawi. Amalan lahir bukan semata karena panggilan hukum, melainkan juga karena panggilan etis, tambahan amal mulia, yang disukai Allah.
Orang-orang ini jelas meninggalkan jejak iman yang lain, yang tak sama dengan apa yang bisa disebut ”mainstream” keagamaan” Keduanya kemudian diam. Dan kita merasa diantar oleh keduanya, ke dalam suatu corak kesadaran keagamaan yang lain, yang ukuran-ukurannya kualitatif, yang menekankan makna ketulusan dalam iman. Bila kita terbiasa menemukan jejak-jejak iman kita sendiri, yang tampil lebih pada dimensi yang tulus ini, kita tahu bahwa kita telah membiasakan berlatih dengan baik untuk bisa menjadi hamba yang tulus.
Latihan ketulusan, yang kita tempuh, di atas landasan yang jelas, membuat kita siap menjalankan perintah puasa, yang ukuran-ukurannya begitu personal, dan menaruh ”trust-trust yang besar pada ketulusan kita. Mereka yang tak tulus bisa saja pada siang hari, ketika orang lain tak ada, makan kenyang, minum sepuas-puasnya, dan meneruskan puasanya, seperti orang-orang lain yang jujur pada diri mereka sendiri. Yang tak tulus, yang pura-pura berpuasa, bisa tak ketahuan siapa pun.
Tak berpuasa tapi pura-pura berpuasa, semata karena malu jika kelihatan tak berpuasa, boleh saja kalau kita bisa menjalaninya. Tapi kepura-puraan seperti ini tak akan membuatnya mencapai sesuatu, atau menjadi sesuatu. Kepura-puraan ini sama dengan apa yang palsu, dan culas di dalam dunia politik. Orang politik terbiasa bersiasat, menipu seperti tak menipu, bohong seperti tidak bohong, dan kemudian, lebih serius lagi, memfitnah seperti tidak memfitnah. Tapi intinya mereka menipu, mereka bohong, dan mereka memfitnah.
Puasa menekankan kejujuran dan sikap tulus. Dan kita, yang sudah berpuluh-puluh bulan Ramadan berpuasa, apa yang kita praktikkan bila kita masih juga terpeleset dari apa yang bersifat etis, yang menjunjung kejujuran dalam hidup? Watak oportunis, dan bersikap serakah tanpa tahu malu, kelihatannya tak diperhatikan orang. Tapi kita tahu, di banyak kalangan watak itu dicaci maki, disesali dan dikutuk habis-habisan. Orang lain, yang kritis dan bawel itu, bisa saja kita tipu, dan kita kecoh.
Tapi dapatkah kita mengecoh diri kita sendiri? Mungkin, diam-diam, kita selalu –tiap saat– menelusuri kembali jejak iman kita, dan untuk tahu, kita ini jenis apa, memiliki jejak iman seperti apa, ataukah kita tak punya jejak sama sekali. Ajaran puasa, yang menekankan pada kebebasan itu, dapatkah kita laksanakan secara bebas, dengan kebebasan orang dewasa, dan bertanggung jawab? Puasa, yang memberi kita trust, untuk bersikap tulus, sudahkah kita sambut dengan ketulusan? Atau di sini kita bersiasat, bohong dan pura-pura, seperti orang-orang di dunia politik? Sering kita merasa seperti sudah berjalan jauh, tetapi kita tidak menjadi semakin dekat dengan apa yang kita cari dalam perjalanan ini.
Bahkan tak jarang, sesudah makin jauh kita melangkah, baru kita sadar, bahwa mungkin kita tersesat. Ini perjalanan tanpa peta, tanpa petunjuk arah, tanpa tanda kapan harus membelok, kapan berhenti, dan di tikungan mana belokan pertama dan terakhir. Berpuasa, begitu rumit, begitu dalam lekuk-lekuknya yang gelap. Tuhan, aku tak tahu, apa arti puasa dan ketulusanku.
MOHAMAD SOBARY
Budayawan
(hyk)