Pemimpin Baru di Bulan Ramadan
A
A
A
REPUBLIK Indonesia kembali hamil tua. Dari rahimnya segera lahir pemimpin baru dalam hitungan hari. Tidaklah mengada-ada untuk mengatakan bahwa kehadiran pemimpin baru Indonesia itu sebagai berkah dan rida Allah SWT, karena dia sudah bisa menampakkan diri di bulan suci Ramadan 1435 Hijriah ini.
Rakyat akan menentukan pilihan pada 9 Juli 2014, atau hari kesepuluh ibadah puasa Ramadan tahun ini. Berkat mekanisme hitung cepat (quick count), petang hari itu juga, atau paling lambat 10 Juli 2014 esok harinya, pemimpin terpilih sudah bisa diketahui. Perkiraan ini tentu saja tidak bermaksud mendahului. Namun, mengacu pada pengalaman pilpres terdahulu, pemenang Pilpres 2014 mestinya sudah bisa ditetapkan petang hari itu juga, saat puluhan juta keluarga Indonesia sedang menyiapkan hidangan buka puasa pada 9 Juli 2014 itu.
Berkah Yang Mahakuasa memang berlimpah untuk bangsa ini. Ketika kampanye pilpres kian memanas dan mulai membuat gelisah banyak orang, bulan puasa datang menghampiri negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini. Sisi lain dari bulan Ramadan adalah perintah kepada setiap muslim untuk kembali fokus kepada Sang Pencipta dalam ritual puasa, menahan dahaga dan lapar. Dahaga dan lapar tidak menyebabkan umat Muslim lemah, sebab kekuatan itu sejatinya bersumber dari Allah SWT.
Maka, ingar-bingar kampanye pilpres sudah mencapai puncaknya di penghujung Juni 2014. Hari-hari sepanjang bulan suci Ramadan di bulan Juli ini adalah waktunya menahan diri dan menghalau semua nafsu dan berpikir jernih. Memang, selain fokus beribadah, umat diwajibkan untuk tetap melaksanakan semua kegiatan yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing individu. Namun, semua kegiatan harus semata-mata bertujuan memuliakan Allah SWT.
Karena masih dalam persiapan menuju pelaksanaan pilpres, bisa dipastikan bahwa banyak komunitas akan berinisiatif menyelenggarakan doa bersama, memanjatkan harapan agar bangsa ini diberi pemimpin yang amanah. Kalau suasana kebatinan masyarakat sudah seperti itu, kampanye hitam, fitnah, hujatan, serta sumpah serapah di ruang terbuka tidak boleh bergema sepanjang bulan suci ini. Tidak berarti kampanye pilpres harus dihentikan. Dengan sisa waktu yang tidak banyak lagi, kampanye memang harus berlanjut dan diintensifkan. Tetapi, mengikuti asas kepatutan di bulan Ramadan, cara berkampanye tentu saja harus berubah total.
Mengumpulkan massa dan orasi di ruang terbuka tampaknya tidak memadai lagi. Idealnya, yang dikedepankan kepada konstituen adalah pendekatan dialogis berlandaskan ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam Islam). Jika pendekatannya dialogis, baik capres-cawapres maupun konstituen akan tergiring membahas hal-hal konkret, dan terhindar dari keinginan menyerang kandidat lain. Juga karena dialogis, tema yang dibahas lebih pada program-program konkret yang berkait dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat kebanyakan. Misalnya tentang politik pangan, papan, pendidikan hingga kesehatan.
Tentu saja program-program besar seperti pembangunan infrastruktur dan mewujudkan pusat pertumbuhan baru di luar Jawa juga perlu didiskusikan. Momentum bulan Ramadan hendaknya dimanfaatkan capres-cawapres untuk lebih mengampanyekan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, serta menerima perbedaan sebagai anugerah. Dengan pola kampanye yang mengikuti asas kepatutan di bulan Ramadan, Pilpres 2014 akan berjalan mulus dan damai.
Semua elemen rakyat pada hakikatnya memang menginginkan pilpres berlangsung sebagaimana mestinya dan mencerminkan derajat keadaban. Jadi, jangan nodai bulan Ramadan dengan kepentingan sempit tak terpuji yang berkait pilpres. Sebaliknya, gelisah dan cemas yang sempat tumbuh akibat kampanye yang kurang beretika bisa terhapuskan berkat kekuatan bulan Ramadan.
Kegembiraan Ramadan
Kalau pilpres sudah dipersepsikan sebagai kegembiraan politik, yang ditandai dengan tingginya aktivitas ribuan relawan, maka keterpilihan pemimpin baru di bulan suci ini pun layak dijadikan kegembiraan Ramadan. Utamanya karena Indonesia telah merampungkan salah satu agenda strategis dengan selamat. Juga karena rakyat Indonesia semakin dewasa melakoni demokrasi. Pemimpin terpilih pun akan tampil elegan karena dia lahir dari suasana kondusif di bulan suci.
Siapa pun dia pasti akan diterima sebagai anugerah. Tak banyak negara di kawasan Asia yang bisa mengaktualisasikan demokrasi seperti yang dijalani Indonesia. Indonesia tidak mungkin lagi mundur dari pencapaian yang tercermin dari Pilpres 2014. Demokrasi akan terus bertumbuh. Ini sudah menjadi pilihan rakyat, sehingga semua potensi gangguan yang coba mereduksi pencapaian itu akan kalah dengan sendirinya. Belakangan beberapa kalangan sering bertanya apakah suasana pasca Pilpres 2014 akan kondusif? Pertanyaan ini menjadi sebuah kewajaran karena pihak berwenang pun memprediksi kemungkinan terjadinya gangguan keamanan.
Apalagi, beberapa peristiwa berskala kecil sudah mendahuluinya, sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta. Isu tentang potensi rusuh pasca Pilpres 2014 memang mulai menimbulkan ekses. Kecenderungan yang menggelisahkan ini mestinya tidak ditoleransi. Karena itu, jajaran TNI, Polri, dan BIN perlu memberi jaminan atau memastikan bahwa situasi pasca-Pilpres 2014 tetap kondusif.
Dalam beberapa pekan terakhir ini pergunjingan mengenai kemungkinan terjadinya rusuh pascapilpres semakin marak. Boleh jadi karena Polri pun sudah memprediksi kemungkinan terjadinya benturan fisik antarpendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden di beberapa kota. Situasi seperti ini menggelisahkan, dan mestinya tidak ditoleransi. Eksesnya sangat nyata.
Pada pekan terakhir Juni 2014, depresiasi rupiah berlanjut. Nilai tukar rupiah sudah tembus Rp12.000, tepatnya Rp12.103 per dolar AS. Sepanjang pekan itu, rupiah sudah terdepresiasi 1,56 persen terhadap dolar AS. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari transaksi terakhir, Jumat (27/6), terkoreksi 27,28 poin. Faktor utama yang memengaruhi situasi pasar valuta dan saham akhir-akhir ini adalah dinamika politik menuju pilpres yang terkesan tidak kondusif. Kalau isu itu dibiarkan menjadi kenyataan, demokrasi Indonesia dipaksa melangkah mundur. Hal ini mestinya tidak boleh terjadi. Syukur bahwa Polri, TNI dan BIN siaga dan terus memantau dinamika publik.
Memantau keadaan saja barangkali belum cukup. Sebagai langkah preventif, pihak berwenang tampaknya perlu berinisiatif membangun komunikasi dengan tim pemenangan masingmasing kubu capres-cawapres. Tak sekadar berkomunikasi, mereka diajak bekerja sama mewujudkan suasana kondusif dan damai. Masing-masing kubu harus menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Mudah-mudahan, niat baik yang digagas di bulan suci ini mendatangkan beribu manfaat.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Rakyat akan menentukan pilihan pada 9 Juli 2014, atau hari kesepuluh ibadah puasa Ramadan tahun ini. Berkat mekanisme hitung cepat (quick count), petang hari itu juga, atau paling lambat 10 Juli 2014 esok harinya, pemimpin terpilih sudah bisa diketahui. Perkiraan ini tentu saja tidak bermaksud mendahului. Namun, mengacu pada pengalaman pilpres terdahulu, pemenang Pilpres 2014 mestinya sudah bisa ditetapkan petang hari itu juga, saat puluhan juta keluarga Indonesia sedang menyiapkan hidangan buka puasa pada 9 Juli 2014 itu.
Berkah Yang Mahakuasa memang berlimpah untuk bangsa ini. Ketika kampanye pilpres kian memanas dan mulai membuat gelisah banyak orang, bulan puasa datang menghampiri negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ini. Sisi lain dari bulan Ramadan adalah perintah kepada setiap muslim untuk kembali fokus kepada Sang Pencipta dalam ritual puasa, menahan dahaga dan lapar. Dahaga dan lapar tidak menyebabkan umat Muslim lemah, sebab kekuatan itu sejatinya bersumber dari Allah SWT.
Maka, ingar-bingar kampanye pilpres sudah mencapai puncaknya di penghujung Juni 2014. Hari-hari sepanjang bulan suci Ramadan di bulan Juli ini adalah waktunya menahan diri dan menghalau semua nafsu dan berpikir jernih. Memang, selain fokus beribadah, umat diwajibkan untuk tetap melaksanakan semua kegiatan yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing individu. Namun, semua kegiatan harus semata-mata bertujuan memuliakan Allah SWT.
Karena masih dalam persiapan menuju pelaksanaan pilpres, bisa dipastikan bahwa banyak komunitas akan berinisiatif menyelenggarakan doa bersama, memanjatkan harapan agar bangsa ini diberi pemimpin yang amanah. Kalau suasana kebatinan masyarakat sudah seperti itu, kampanye hitam, fitnah, hujatan, serta sumpah serapah di ruang terbuka tidak boleh bergema sepanjang bulan suci ini. Tidak berarti kampanye pilpres harus dihentikan. Dengan sisa waktu yang tidak banyak lagi, kampanye memang harus berlanjut dan diintensifkan. Tetapi, mengikuti asas kepatutan di bulan Ramadan, cara berkampanye tentu saja harus berubah total.
Mengumpulkan massa dan orasi di ruang terbuka tampaknya tidak memadai lagi. Idealnya, yang dikedepankan kepada konstituen adalah pendekatan dialogis berlandaskan ukhuwah islamiah (persaudaraan dalam Islam). Jika pendekatannya dialogis, baik capres-cawapres maupun konstituen akan tergiring membahas hal-hal konkret, dan terhindar dari keinginan menyerang kandidat lain. Juga karena dialogis, tema yang dibahas lebih pada program-program konkret yang berkait dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat kebanyakan. Misalnya tentang politik pangan, papan, pendidikan hingga kesehatan.
Tentu saja program-program besar seperti pembangunan infrastruktur dan mewujudkan pusat pertumbuhan baru di luar Jawa juga perlu didiskusikan. Momentum bulan Ramadan hendaknya dimanfaatkan capres-cawapres untuk lebih mengampanyekan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, serta menerima perbedaan sebagai anugerah. Dengan pola kampanye yang mengikuti asas kepatutan di bulan Ramadan, Pilpres 2014 akan berjalan mulus dan damai.
Semua elemen rakyat pada hakikatnya memang menginginkan pilpres berlangsung sebagaimana mestinya dan mencerminkan derajat keadaban. Jadi, jangan nodai bulan Ramadan dengan kepentingan sempit tak terpuji yang berkait pilpres. Sebaliknya, gelisah dan cemas yang sempat tumbuh akibat kampanye yang kurang beretika bisa terhapuskan berkat kekuatan bulan Ramadan.
Kegembiraan Ramadan
Kalau pilpres sudah dipersepsikan sebagai kegembiraan politik, yang ditandai dengan tingginya aktivitas ribuan relawan, maka keterpilihan pemimpin baru di bulan suci ini pun layak dijadikan kegembiraan Ramadan. Utamanya karena Indonesia telah merampungkan salah satu agenda strategis dengan selamat. Juga karena rakyat Indonesia semakin dewasa melakoni demokrasi. Pemimpin terpilih pun akan tampil elegan karena dia lahir dari suasana kondusif di bulan suci.
Siapa pun dia pasti akan diterima sebagai anugerah. Tak banyak negara di kawasan Asia yang bisa mengaktualisasikan demokrasi seperti yang dijalani Indonesia. Indonesia tidak mungkin lagi mundur dari pencapaian yang tercermin dari Pilpres 2014. Demokrasi akan terus bertumbuh. Ini sudah menjadi pilihan rakyat, sehingga semua potensi gangguan yang coba mereduksi pencapaian itu akan kalah dengan sendirinya. Belakangan beberapa kalangan sering bertanya apakah suasana pasca Pilpres 2014 akan kondusif? Pertanyaan ini menjadi sebuah kewajaran karena pihak berwenang pun memprediksi kemungkinan terjadinya gangguan keamanan.
Apalagi, beberapa peristiwa berskala kecil sudah mendahuluinya, sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta. Isu tentang potensi rusuh pasca Pilpres 2014 memang mulai menimbulkan ekses. Kecenderungan yang menggelisahkan ini mestinya tidak ditoleransi. Karena itu, jajaran TNI, Polri, dan BIN perlu memberi jaminan atau memastikan bahwa situasi pasca-Pilpres 2014 tetap kondusif.
Dalam beberapa pekan terakhir ini pergunjingan mengenai kemungkinan terjadinya rusuh pascapilpres semakin marak. Boleh jadi karena Polri pun sudah memprediksi kemungkinan terjadinya benturan fisik antarpendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden di beberapa kota. Situasi seperti ini menggelisahkan, dan mestinya tidak ditoleransi. Eksesnya sangat nyata.
Pada pekan terakhir Juni 2014, depresiasi rupiah berlanjut. Nilai tukar rupiah sudah tembus Rp12.000, tepatnya Rp12.103 per dolar AS. Sepanjang pekan itu, rupiah sudah terdepresiasi 1,56 persen terhadap dolar AS. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari transaksi terakhir, Jumat (27/6), terkoreksi 27,28 poin. Faktor utama yang memengaruhi situasi pasar valuta dan saham akhir-akhir ini adalah dinamika politik menuju pilpres yang terkesan tidak kondusif. Kalau isu itu dibiarkan menjadi kenyataan, demokrasi Indonesia dipaksa melangkah mundur. Hal ini mestinya tidak boleh terjadi. Syukur bahwa Polri, TNI dan BIN siaga dan terus memantau dinamika publik.
Memantau keadaan saja barangkali belum cukup. Sebagai langkah preventif, pihak berwenang tampaknya perlu berinisiatif membangun komunikasi dengan tim pemenangan masingmasing kubu capres-cawapres. Tak sekadar berkomunikasi, mereka diajak bekerja sama mewujudkan suasana kondusif dan damai. Masing-masing kubu harus menyadari pentingnya menjaga stabilitas politik dan keamanan dalam negeri. Mudah-mudahan, niat baik yang digagas di bulan suci ini mendatangkan beribu manfaat.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
(hyk)