Visi Capres di Perbatasan Negara

Jum'at, 27 Juni 2014 - 11:49 WIB
Visi Capres di Perbatasan...
Visi Capres di Perbatasan Negara
A A A
MASIH ingatkah kita tentang sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan? Sebuah peristiwa menyakitkan bagi eksistensi kedaulatan NKRI dalam perebutan perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia yang akhirnya dimenangkan Malaysia melalui International Court of Justice pada Desember 2002. Fakta itu hanyalah satu dari gunung es permasalahan perbatasan negara yang tak kunjung usai.

Sebut misalnya sengketa blok laut Ambalat di Sulawesi yang terus berpotensi mengalami gejolak. Peristiwa mutakhir, penanaman mercusuar di Tanjung Datu oleh negara tetangga yang memicu nuansa konflik. Ini urusan negara untuk memperkokoh keutuhan NKRI.

Di mana kehadiran negara? Tanpa berpretensi menyulut sentimen politik antarnegara, tulisan ini hendak mengonstruksi ulang betapa pentingnya merias perbatasan negara sebagai pengukuhan komitmen para pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) mengingat wilayah perbatasan belum mendapatkan perhatian serius dari negara (pemerintah).

Bermunculan problem perbatasan karena negara belum sepenuhnya hadir dalam denyut kehidupan mereka. Mengamati debat capres jilid III (22/06/2014), saya merasa ada persoalan paradigmatik yang masih melekat pada kognisi para capres dan para tim pemikirnya. Baik Prabowo maupun Jokowi masih terframe pada paradigma terpusat (centralized paradigm).

PARADIGMA ini lantas menggiring cara berpikir bahwa semua persoalan harus diselesaikan di pusat, selain standardisasi pembangunan yang harus dibangun dari pusat pula. Inilah yang kerap menegasi pembangunan daerah perbatasan.

Adagium yang sering kita dengar bahwa ”perbatasan adalah muka (wajah depan) negara” hanya menjadi pemanis bibir. Padahal ibarat rumah, perbatasan niscaya menjadi teras (front-yard) bagi eksistensi sebuah negara, bukan sebaliknya, malah menjadi dapur (backyard).

Pendekatan front yard ini telah dijadikan pijakan negara tetangga, terutama yang berbatasan dengan wilayah Indonesia sehingga eksistensi dan kedaulatan mereka semakin kuat, berbanding terbalik dengan Indonesia.

Ketidakhadiran negara di daerah perbatasan dalam beragam pembangunan sosial, budaya ekonomi, dan politik berdampak pada kemunculan beragam persoalan krusial di antaranya buruh migran tak terdokumentasi (undocumented migrant workers), pembalakan hutan (illegal logging), penyelundupan (smuggling) dan human trafficking, ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan NKRI.

Di sisi lain, kondisitingkatkesejahteraan masyarakat masih rendah karena belum meratanya pembangunan di daerah perbatasan memengaruhi tingkat pemahaman bela negara (nasionalisme) untuk menghadapi ancaman yang dapat membahayakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.

Penduduk Indonesia yang tinggal di perbatasan mengalami permasalahan kehidupan yang kompleks. Disampingsecara fisikmereka tinggal amat jauh dan terpencil dari ibu kota negara, tidak jarang mereka pun tinggal jauh dan terisolasi dari ibukota kecamatan, ibukota kabupaten, dan ibukota provinsi mereka sendiri. Sebaliknya, mereka berjarak amat dekat dengan negara tetangga. Memiliki bahasa, budaya, dan ciri-ciri fisik yang hampir sama dengan penduduk di negeri tetangga.

Namun, kesamaan ciri-ciri fisik ini tidak menjamin ada kesamaan tingkat kesejahteraan dan strata ekonomi antara warga dua negara yang berbatasan. Tidak sedikit WNI di perbatasan hidup serba kekurangan dengan akses terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi yang sulit dan terbatas jumlahnya.

Berbanding terbalik dengan masyarakat negara tetangga yang hidup serba berkecukupan dan daerah perbatasan yang telah sedemikian cantik dirias pemerintah mereka. Pada saat yang sama hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari negara tetangga.

Masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjual beli produk asal negara tetangga termasuk gula pasir sampai gas elpiji. Ini tentu semakin menggerus ikatan nasionalisme karena masyarakat merasa tidak butuh dan tidak dibutuhkan ibu pertiwi sendiri akibat absennya negara di wilayah perbatasan.

Di titik inilah penting mengingatkan para calon pemimpin negeri ini untuk hadir dalam beragam program revitalisasi pembangunan wilayah perbatasan. Martin Pratt dalam Boundary-Making, Challenges & Opportunity (UK: 2009) menyebut bahwa problema pokok wilayah perbatasan berkaitan dengan kekuasaan (border), ruang (state), dan jarak (distance).

Konstruksi sosial tentang perbatasan ditentukan oleh bagaimana persepsi kekuasaan yang berada di pusat memandang dari jarak tertentu dan kemudian memberlakukannya sebagai sebuah ruang yang tidak hanya bersifat geografis, tetapi juga bersifat sosial dan politik, hubungan kekuasaan yang bersifat hierarkis, superiorinverior, pusat-pinggiran, juga persoalan inclusion-exclusion.

Ketidakhadiran negara di perbatasan memosisikan Indonesia sebagai sesuatu yang asing bagi masyarakat setempat. Artinya, asing itu ternyata tidak ditentukan mereka yang berada di perbatasan, tapi oleh kita yang berada di pusat kekuasaan.

Negara harus hadir dan para capres niscaya memikirkan cetak biru (blue print) pembangunan perbatasan negara. Diakui memang perhatian negara terhadap wilayah perbatasan sudah mulai meningkat, namun masih jauh panggang dari api. Penduduk di wilayah perbatasan masih bernasib sama.

Penyiaran Perbatasan
Di antara wujud pembangunan sosial, budaya, ekonomi, dan politik di daerah perbatasan adalah penyediaan akses informasi yang memadai tentang NKRI, terutama diorientasikan memupuk semangat nasionalisme.

Masalahnya, lembaga penyiaran selama ini enggan menyoroti daerah perbatasan dalam program siarannya, mengingat rendahnya tingkat provitabilitasnya bagi industri media. Karena itu, dorongan niscaya dilakukan oleh pemimpin yang akan terpilih lima tahun mendatang untuk mendorong para investor dan pengusaha beriklan sebanyak mungkin terkhusus program siaran perbatasan.

Eksistensi penyiaran perbatasan, selain memperkokoh nasionalisme, juga akan memperkuat posisi diplomatis NKRI terhadap negara tetangga. Frekuensi sebagai aset negara yang terbatas harus dioptimalkan di perbatasan negara agar tidak terjadi interferensi oleh saingan asing yang akan memperlemah kedaulatan NKRI.

Berdasarkan pantauan Komisi Penyiaran Indonesia, ditemukan luberan siaran asing (spill over) yang masih banyak didengar dan ditonton oleh masyarakat setempat dalam durasi yang panjang dan sudah berlangsung lama.

Kondisi ini dikhawatirkan berpotensi mengikis jiwa nasionalisme. Selain itu, spot iklan negara asing yang masuk secara terus-menerus berpotensi menggerus ekonomi dalam negeri di wilayah perbatasan antarnegara.

Akhirnya, kita berharap pasangan presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti memahami bahwa konstruksi sosial wilayah perbatasan merupakan sebuah anyaman perubahan sosial dan kebudayaan sebagai wujud interaksi dinamis antara identitas dan ruang.

Senada dengan apa yang dikisahkan dalam justifikasi ilmiah berjudul Centering the Margin: Agency and Narrative in Southeast Asian Borderlands (Horstmann dkk: 2006), yang mencoba membalikkan persepsi bahwa dinamika sosial yang terjadi di perbatasan justru akan semakin menentukan kelangsungan negara dan bangsa pada masa depan. Semoga.

DANANG SANGGA BUWANA
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0574 seconds (0.1#10.140)