Idealitas Beasiswa Miskin
A
A
A
BELAKANGAN ini ramai berita mengenai Raeni, wisudawati terbaik Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan IPK 3,96 yang datang ke tempat wisuda diantar naik becak oleh bapaknya yang bekerja sebagai pengayuh becak.
Simpati mengalir deras ditujukan pada salah satu putri terbaik bangsa itu. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung memberikan Raeni beasiswa ke luar negeri. Salah satu program perlindungan sosial yang dikembangkan di Indonesia adalah menyediakan beasiswa untuk anak usia sekolah dan diharapkan mampu menjangkau untuk seluruh jenjang pendidikan.
Jika pada jenjang pendidikan dasar beasiswa dapat disediakan melalui pembebasan dari segala beban sekolah, pada jenjang pendidik tinggi beasiswa untuk anak-anak keluarga miskin disediakan melalui program afirmasi. Anak keluarga miskin setelah diterima di PT dinyatakan memperoleh beasiswa akan menerima tunjangan hidup dan bebas uang kuliah. Program afirmasi pendidikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berjalan.
Setidaknya, upaya ini dilakukan dengan maksud agar anak-anak keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Mengirim anak-anak tamat SMU dan SMK keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi memangsebuahharapannamun cukup kompleks. Mengingat, beban biaya hidup dan biaya pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mudah.
Selain dari itu, melalui program ini, tanggung jawab perguruan tinggi negeri khususnya juga diperbesar. Perlakuan khusus anak-anak tamatan pendidikan SLTA, di Papua misalnya, dapat melanjutkan pendidikan pada universitas-universitas negeri di Jawa. Dengan cara ini, diperkirakan angka partisipasi murni pendidikan tinggi dapat dinaikkan menjadi 30%. Capaian ini masih tetap jauh dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai oleh negara seperti Korea Selatan, di mana angka partisipasi murni pendidikan tingginya sudah melebihi 65%.
Penyediaan beasiswa untuk anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tentunya merupakan sebuah keyakinan yang tinggi. Melalui pendidikan sampai menamatkan jenjang pendidikan tinggi, akan memutus mata rantai kemiskinan. Dengan asumsi, setelah selesai melalui masa pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan sanggup mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kemudian menghasilkan eksternalitas setidaknya dalam keluarga miskin.
Dalam kaitan ini, Luisa Fernandez dari Bank Dunia mencoba memperkenalkan life cycle program (LCP) dalam menetapkan program sosial. Dalam pandangan life cycle, diperlihatkan bahwa menargetkan program sosial sebaiknya dengan melihat bagaimana kondisi penduduk yang masuk ke dalam penghasilan 10% terendah. Pada kelompok ini kemudian dihitung bagaimana kondisi dan jumlah dari anak-anak yang masuk ke dalam kategori termiskin.
Misalnya, akses pendidikan prasekolah, tingkat daftaran pada seluruh jenjang pendidikan, tingkat capaian mata pelajaran, akses pada jenjang pendidikan tinggi, penyediaan keterampilan untuk usia kerja, dan kondisi masyarakat kelompok usia tua. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2012, salah satu hasil yang menarik adalah hanya sekitar 2% anak-anak keluarga miskin (pengeluaran 10% terendah) yang sempat mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Rendahnya akses pendidikan tinggi anak dari keluarga miskin disebabkan mereka sudah lebih dulu putus sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apa yang membuat hasil perhitungan ini menjadi menarik? Jawabannya ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyediakan beasiswa melalui program afirmasi untuk kelompok miskin, ternyata jumlah beasiswa melebihi jumlah anak yang berpotensi memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Lantas, beasiswa yang terserap untuk jenjang pendidikan tinggi selama ini bagi siapa? Ada kemungkinan program pendidikan untuk pendidikan tinggi tidak akan banyak membantu keluarga sangat miskin, namun justru lebih masuk ke dalam kelompok keluarga pada decile terendah kedua, ketiga atau keempat. Katakanlah masuk ke kelompok pengeluaran antara 20–40%.
Mempertajam Arah Sasaran
Program proteksi sosial yang bertujuan agar anak yang berasal dari keluarga miskin dapat sekolah harus diperluas jangkauannya. Harus ada data soal mereka yang difabel, anak yang berasal dari keluarga yang secara geografis sulit dijangkau, serta anak dari keluarga yang memiliki masalah sosial ekonomi, agar beasiswa dapat diarahkan untuk jenis dan jenjang pendidikan yang prospek untuk masa depan mereka.
Pertama jenis pendidikan, alangkah lebih terarah jika beasiswa diarahkan untuk meningkatkan kesempatan bagi anak keluarga miskin memasuki jenjang pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, selain mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk berpendidikan, sebaiknya diarahkan kepada jenis pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi akan memudahkan mereka untuk lebih cepat memasuki pasar kerja.
Kedua, anak-anak dari keluarga miskin, kalaupun diberi kesempatan sampai jenjang pendidikan tinggi, diharapkan terpilih pada jenis jurusan yang memang diperlukan oleh pasar kerja. Jurusan-jurusan yang sulit memperoleh pekerjaan tentunya akan tetap tidak memudahkan mereka masuk ke pasar kerja.
Michael P Todaro pernah mengungkap pada pertengahan tahun 1980-an bahwa sekalipun pendidikan tinggi dapat diakses oleh anak-anak keluarga miskin, ketika mereka memasuki pasar kerja, akan banyak kendala yang berarti. Hal ini disebabkan, ketika pendidikan yang diikuti adalah jenis-jenis jurusan yang memang tidak banyak diperlukan di pasar kerja.
Oleh karenanya, sangat tepat jika afirmasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi diarahkan kepada jenis pendidikan keterampilan. Agenda akses pada pendidikan tinggi bermutu perlu kita tunggu dari kandidat presiden sekarang.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang
Simpati mengalir deras ditujukan pada salah satu putri terbaik bangsa itu. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) langsung memberikan Raeni beasiswa ke luar negeri. Salah satu program perlindungan sosial yang dikembangkan di Indonesia adalah menyediakan beasiswa untuk anak usia sekolah dan diharapkan mampu menjangkau untuk seluruh jenjang pendidikan.
Jika pada jenjang pendidikan dasar beasiswa dapat disediakan melalui pembebasan dari segala beban sekolah, pada jenjang pendidik tinggi beasiswa untuk anak-anak keluarga miskin disediakan melalui program afirmasi. Anak keluarga miskin setelah diterima di PT dinyatakan memperoleh beasiswa akan menerima tunjangan hidup dan bebas uang kuliah. Program afirmasi pendidikan yang diperkenalkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berjalan.
Setidaknya, upaya ini dilakukan dengan maksud agar anak-anak keluarga miskin dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Mengirim anak-anak tamat SMU dan SMK keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi memangsebuahharapannamun cukup kompleks. Mengingat, beban biaya hidup dan biaya pendidikan tinggi merupakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipenuhi dengan mudah.
Selain dari itu, melalui program ini, tanggung jawab perguruan tinggi negeri khususnya juga diperbesar. Perlakuan khusus anak-anak tamatan pendidikan SLTA, di Papua misalnya, dapat melanjutkan pendidikan pada universitas-universitas negeri di Jawa. Dengan cara ini, diperkirakan angka partisipasi murni pendidikan tinggi dapat dinaikkan menjadi 30%. Capaian ini masih tetap jauh dibandingkan dengan kondisi yang telah dicapai oleh negara seperti Korea Selatan, di mana angka partisipasi murni pendidikan tingginya sudah melebihi 65%.
Penyediaan beasiswa untuk anak-anak yang berasal dari keluarga miskin tentunya merupakan sebuah keyakinan yang tinggi. Melalui pendidikan sampai menamatkan jenjang pendidikan tinggi, akan memutus mata rantai kemiskinan. Dengan asumsi, setelah selesai melalui masa pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan sanggup mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kemudian menghasilkan eksternalitas setidaknya dalam keluarga miskin.
Dalam kaitan ini, Luisa Fernandez dari Bank Dunia mencoba memperkenalkan life cycle program (LCP) dalam menetapkan program sosial. Dalam pandangan life cycle, diperlihatkan bahwa menargetkan program sosial sebaiknya dengan melihat bagaimana kondisi penduduk yang masuk ke dalam penghasilan 10% terendah. Pada kelompok ini kemudian dihitung bagaimana kondisi dan jumlah dari anak-anak yang masuk ke dalam kategori termiskin.
Misalnya, akses pendidikan prasekolah, tingkat daftaran pada seluruh jenjang pendidikan, tingkat capaian mata pelajaran, akses pada jenjang pendidikan tinggi, penyediaan keterampilan untuk usia kerja, dan kondisi masyarakat kelompok usia tua. Dengan menggunakan data Susenas tahun 2012, salah satu hasil yang menarik adalah hanya sekitar 2% anak-anak keluarga miskin (pengeluaran 10% terendah) yang sempat mengecap jenjang pendidikan tinggi.
Rendahnya akses pendidikan tinggi anak dari keluarga miskin disebabkan mereka sudah lebih dulu putus sekolah pada jenjang pendidikan sebelumnya. Apa yang membuat hasil perhitungan ini menjadi menarik? Jawabannya ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menyediakan beasiswa melalui program afirmasi untuk kelompok miskin, ternyata jumlah beasiswa melebihi jumlah anak yang berpotensi memasuki jenjang pendidikan tinggi.
Lantas, beasiswa yang terserap untuk jenjang pendidikan tinggi selama ini bagi siapa? Ada kemungkinan program pendidikan untuk pendidikan tinggi tidak akan banyak membantu keluarga sangat miskin, namun justru lebih masuk ke dalam kelompok keluarga pada decile terendah kedua, ketiga atau keempat. Katakanlah masuk ke kelompok pengeluaran antara 20–40%.
Mempertajam Arah Sasaran
Program proteksi sosial yang bertujuan agar anak yang berasal dari keluarga miskin dapat sekolah harus diperluas jangkauannya. Harus ada data soal mereka yang difabel, anak yang berasal dari keluarga yang secara geografis sulit dijangkau, serta anak dari keluarga yang memiliki masalah sosial ekonomi, agar beasiswa dapat diarahkan untuk jenis dan jenjang pendidikan yang prospek untuk masa depan mereka.
Pertama jenis pendidikan, alangkah lebih terarah jika beasiswa diarahkan untuk meningkatkan kesempatan bagi anak keluarga miskin memasuki jenjang pendidikan menengah. Dalam kaitan ini, selain mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk berpendidikan, sebaiknya diarahkan kepada jenis pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi akan memudahkan mereka untuk lebih cepat memasuki pasar kerja.
Kedua, anak-anak dari keluarga miskin, kalaupun diberi kesempatan sampai jenjang pendidikan tinggi, diharapkan terpilih pada jenis jurusan yang memang diperlukan oleh pasar kerja. Jurusan-jurusan yang sulit memperoleh pekerjaan tentunya akan tetap tidak memudahkan mereka masuk ke pasar kerja.
Michael P Todaro pernah mengungkap pada pertengahan tahun 1980-an bahwa sekalipun pendidikan tinggi dapat diakses oleh anak-anak keluarga miskin, ketika mereka memasuki pasar kerja, akan banyak kendala yang berarti. Hal ini disebabkan, ketika pendidikan yang diikuti adalah jenis-jenis jurusan yang memang tidak banyak diperlukan di pasar kerja.
Oleh karenanya, sangat tepat jika afirmasi pendidikan untuk jenjang pendidikan tinggi diarahkan kepada jenis pendidikan keterampilan. Agenda akses pada pendidikan tinggi bermutu perlu kita tunggu dari kandidat presiden sekarang.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang
(hyk)