Basis Data Pelaku dan Korban
A
A
A
PREDATOR seksual adalah setan yang bergentayangan meneror anak-anak kita. Jumlah mereka, sebagaimana yang terungkap di media massa, sebenarnya ”belum” begitu banyak.
Demikian pula dengan korban, hanya sedikit yang berproses hukum. Apabila logika dengan hitung-hitungan macam itu yang dipakai, akan mudah bagi siapa pun–termasuk penegak hu-kum–untuk berpikir bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak belum mencapai derajat yang mengkhawatirkan. Bandingkan dengan predator asal Australia, Osborne, yang di dalam catatannya mengaku telah memerkosa sekitar 2.500 anak.
Torehan kebiadaban sedahsyat itu barangkali hanya bisa disaingi oleh Schwartzmiller. Ia, selama tiga puluh tahun, mengekspresikan watak durjananya di tiga negara. Hasilnya adalah timbunan nama bocah-bocah malang dalam sebuah daftar sepanjang 1.300 halaman.
Jika hasil penelitian dirujuk, bahwa terdapat potensi kuat para korban suatu saat akan beralih paras menjadi pelaku kejahatan yang sama, maka bisa dibayangkan kelipatan angka yang sebegitu besar menyangkut jumlah bibitbibit predator seksual berikutnya.
Itu dengan catatan mereka, korban kanak-kanak itu, tidak memperoleh pertolongan komprehensif sepanjang hayat guna mendukung pemulihan cedera fisik dan luka psikis mereka. Tingginya angka ”kloning” pelaku kekerasan seksual terhadap anak, baru satu hal.
Hal lain, yang kian menakutkan, adalah fakta bahwa hingga saat ini belum ditemukan formula jitu guna memodifikasi tabiat dan perilaku mereka. Penghukuman, termasuk kebiri sekali pun, tidak akan menurunkan kecenderungan para pelaku kejahatan yang satu ini untuk mengulangi perbuatan keji mereka (baca ”Kebiri Membuat Predator Lebih Keji ”, KORAN SINDO , 19 Mei 2014).
Pada saat yang sama, riset memperlihatkan bahwa para pelaku membangun dua bentuk jejaring sosial sebagai cara mereka beradaptasi terhadap lingkungan. Pertama, sebagai konsekuensi hidup dikucilkan publik, sesama predator berinteraksi satu sama lain untuk tujuan katarsis.
Terlebih difasilitasi oleh teknologi komunikasi semacam surel dan grup-grup maya, orang-orang itu saling merintih dan menyemangati satu sama lain agar bisa membawa diri secara lebih patut di tengah-tengah masyarakat. Para predator itu juga tukar menukar pengetahuan mengenai cara-cara yang bisa dilakukan guna mengendalikan syahwat tak senonoh mereka.
Berbeda dengan bentuk jejaring pertama yang dibentuk dengan maksud positif, jejaring jenis lain dibikin dengan tujuan nista. Antarpredator saling bertukar informasi tentang pengalaman ”menyenangkan” dan wilayah-wilayah yang strategis untuk mengincar mangsa kanak-kanak berikutnya.
Adanya pola interaksi semacam inilah yang perlu disikapi otoritas hukum dengan membongkar–antara lain–riwayat akses internet orang-orang yang selama ini dicurigai sebagai monster di sekolah sekaligus zone pemangsaan para predator seksual tersebut.
Bertitik tolak dari kompleksitas psikologis para pelaku serta dinamika pelaku-korban seperti di atas, sesungguhnya amat penting bagi kepolisian, keimigrasian, kependidikan, kepariwisataan, ketenagakerjaan, dan lembaga-lembaga lainnya untuk membangun basis data (database) tunggal dan terintegrasi tentang para pelaku kejahatan seksual, baik yang bertipe pedofil maupun yang melancarkan aksinya akibat dorongan situasional. Bahkan, khusus bagi pelaku yang tengah dan telah menjalani sanksi pidana, data-data mereka dibuka bagi publik.
Jadi, ketika mengubah pelaku bisa dikatakan mustahil dilakukan, paling tidak negara menyediakan satu fasilitas bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya tangkal mereka terhadap penyusupan para predator seksual.
Basis data ini secara tidak langsung merupakan bentuk sanksi sosial, yakni mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan seksual di masyarakat. Di samping basis data yang berisi biodata tentang para predator, otoritas terkait juga perlu membangun basis data khusus tentang korban.
Basis data ini harus bersifat tertutup alias tidak dapat diakses oleh sembarang pihak. Basis data khusus ini didesain sebagai sistem pemantauan terhadap proses rehabilitasi korban. Di mana korban berobat, siapa profesional yang menanganinya, keluhan-keluhan yang dialami korban, dan informasi- informasi lainnya tersedia dalam kondisi senantiasa terbarui.
Basis data khusus korban merupakan bentuk ”pertanggungjawaban” atas kegagalan para pihak yang sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak disebut eksplisit bertanggung jawab melakukan perlindungan terhadap anak-anak.
Kondisi korban yang selalu terpantau diharapkan menjadi stimulan bagi siapa pun yang telah menjadi korban keganasan para predator seksual. Ini merupakan jawaban atas keraguan para korban dan keluarga mereka bahwa, alih-alih menderita ulang akibat viktimisasi publik, melapor ke bala bantuan (polisi, rumah sakit, sentra perlindungan anak, dan lainnya) merupakan titik awal proses penyembuhan.
Dengan kondisi terpantau seperti itu pula, peluang korban menjadi pelaku dapat ditekan semaksimal mungkin, sehingga putuslah mata rantai kekerasan seksual itu. Hemat saya, terlepas bahwa hingga kini belum ada definisi dan parameter tentang ”Indonesia darurat kejahatan terhadap anak”, pola penanganan terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap anak sudah saatnya diperkuat.
Rangkaian tindakan yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi, seperti yang diperagakan menyusul kegemparan kasus TK Jakarta International School, sungguh tidak akan mampu mengimbangi kecanggihan operasi kejahatan seksual terhadap anak yang telah mengambil bentuk berupa jaringan internasional.
Siapa kiranya yang paling patut tergerak membangun sistem perlindungan anak berbasis data tersebut? Siapa lagi kalau bukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang baru saja menyelesaikan rapat kerjanya. Semangat, langkah serempak!
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Anggota World Society of Victimology, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
Demikian pula dengan korban, hanya sedikit yang berproses hukum. Apabila logika dengan hitung-hitungan macam itu yang dipakai, akan mudah bagi siapa pun–termasuk penegak hu-kum–untuk berpikir bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak-anak belum mencapai derajat yang mengkhawatirkan. Bandingkan dengan predator asal Australia, Osborne, yang di dalam catatannya mengaku telah memerkosa sekitar 2.500 anak.
Torehan kebiadaban sedahsyat itu barangkali hanya bisa disaingi oleh Schwartzmiller. Ia, selama tiga puluh tahun, mengekspresikan watak durjananya di tiga negara. Hasilnya adalah timbunan nama bocah-bocah malang dalam sebuah daftar sepanjang 1.300 halaman.
Jika hasil penelitian dirujuk, bahwa terdapat potensi kuat para korban suatu saat akan beralih paras menjadi pelaku kejahatan yang sama, maka bisa dibayangkan kelipatan angka yang sebegitu besar menyangkut jumlah bibitbibit predator seksual berikutnya.
Itu dengan catatan mereka, korban kanak-kanak itu, tidak memperoleh pertolongan komprehensif sepanjang hayat guna mendukung pemulihan cedera fisik dan luka psikis mereka. Tingginya angka ”kloning” pelaku kekerasan seksual terhadap anak, baru satu hal.
Hal lain, yang kian menakutkan, adalah fakta bahwa hingga saat ini belum ditemukan formula jitu guna memodifikasi tabiat dan perilaku mereka. Penghukuman, termasuk kebiri sekali pun, tidak akan menurunkan kecenderungan para pelaku kejahatan yang satu ini untuk mengulangi perbuatan keji mereka (baca ”Kebiri Membuat Predator Lebih Keji ”, KORAN SINDO , 19 Mei 2014).
Pada saat yang sama, riset memperlihatkan bahwa para pelaku membangun dua bentuk jejaring sosial sebagai cara mereka beradaptasi terhadap lingkungan. Pertama, sebagai konsekuensi hidup dikucilkan publik, sesama predator berinteraksi satu sama lain untuk tujuan katarsis.
Terlebih difasilitasi oleh teknologi komunikasi semacam surel dan grup-grup maya, orang-orang itu saling merintih dan menyemangati satu sama lain agar bisa membawa diri secara lebih patut di tengah-tengah masyarakat. Para predator itu juga tukar menukar pengetahuan mengenai cara-cara yang bisa dilakukan guna mengendalikan syahwat tak senonoh mereka.
Berbeda dengan bentuk jejaring pertama yang dibentuk dengan maksud positif, jejaring jenis lain dibikin dengan tujuan nista. Antarpredator saling bertukar informasi tentang pengalaman ”menyenangkan” dan wilayah-wilayah yang strategis untuk mengincar mangsa kanak-kanak berikutnya.
Adanya pola interaksi semacam inilah yang perlu disikapi otoritas hukum dengan membongkar–antara lain–riwayat akses internet orang-orang yang selama ini dicurigai sebagai monster di sekolah sekaligus zone pemangsaan para predator seksual tersebut.
Bertitik tolak dari kompleksitas psikologis para pelaku serta dinamika pelaku-korban seperti di atas, sesungguhnya amat penting bagi kepolisian, keimigrasian, kependidikan, kepariwisataan, ketenagakerjaan, dan lembaga-lembaga lainnya untuk membangun basis data (database) tunggal dan terintegrasi tentang para pelaku kejahatan seksual, baik yang bertipe pedofil maupun yang melancarkan aksinya akibat dorongan situasional. Bahkan, khusus bagi pelaku yang tengah dan telah menjalani sanksi pidana, data-data mereka dibuka bagi publik.
Jadi, ketika mengubah pelaku bisa dikatakan mustahil dilakukan, paling tidak negara menyediakan satu fasilitas bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya tangkal mereka terhadap penyusupan para predator seksual.
Basis data ini secara tidak langsung merupakan bentuk sanksi sosial, yakni mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan seksual di masyarakat. Di samping basis data yang berisi biodata tentang para predator, otoritas terkait juga perlu membangun basis data khusus tentang korban.
Basis data ini harus bersifat tertutup alias tidak dapat diakses oleh sembarang pihak. Basis data khusus ini didesain sebagai sistem pemantauan terhadap proses rehabilitasi korban. Di mana korban berobat, siapa profesional yang menanganinya, keluhan-keluhan yang dialami korban, dan informasi- informasi lainnya tersedia dalam kondisi senantiasa terbarui.
Basis data khusus korban merupakan bentuk ”pertanggungjawaban” atas kegagalan para pihak yang sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak disebut eksplisit bertanggung jawab melakukan perlindungan terhadap anak-anak.
Kondisi korban yang selalu terpantau diharapkan menjadi stimulan bagi siapa pun yang telah menjadi korban keganasan para predator seksual. Ini merupakan jawaban atas keraguan para korban dan keluarga mereka bahwa, alih-alih menderita ulang akibat viktimisasi publik, melapor ke bala bantuan (polisi, rumah sakit, sentra perlindungan anak, dan lainnya) merupakan titik awal proses penyembuhan.
Dengan kondisi terpantau seperti itu pula, peluang korban menjadi pelaku dapat ditekan semaksimal mungkin, sehingga putuslah mata rantai kekerasan seksual itu. Hemat saya, terlepas bahwa hingga kini belum ada definisi dan parameter tentang ”Indonesia darurat kejahatan terhadap anak”, pola penanganan terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap anak sudah saatnya diperkuat.
Rangkaian tindakan yang terkesan sporadis dan tidak terkoordinasi, seperti yang diperagakan menyusul kegemparan kasus TK Jakarta International School, sungguh tidak akan mampu mengimbangi kecanggihan operasi kejahatan seksual terhadap anak yang telah mengambil bentuk berupa jaringan internasional.
Siapa kiranya yang paling patut tergerak membangun sistem perlindungan anak berbasis data tersebut? Siapa lagi kalau bukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang baru saja menyelesaikan rapat kerjanya. Semangat, langkah serempak!
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Anggota World Society of Victimology, Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
(nfl)