Politik Kebangsaan Kaum Nahdliyin
A
A
A
INDONESIA membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memberi harapan, namun juga mengeksekusi kebijakan. Di ruang politik negeri, yang sering terjadi adalah kontestasi merebut kekuasaan, bukan perjuangan menegakkan misi kebangsaan.
Kebijakan-kebijakanpara penguasa, terasalebihmementingkan kelompok dan lingkaran kroninya, lalu lupa dengan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Inilah wajah politik negeri saat ini? Renungan-renungan tentang politik kebangsaan, perlu dihadirkan kembali sebagai inspirasi menjelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini.
Kontestasi menjelang Pilpres 9 Juli 2014, menjadi medan pertarungan kepentingan dan strategi politik. Inilah ruang di mana, kawan dan lawan hanya ditentukan oleh kepentingan. Pertarungan politik tidak mengenal kawan dan lawan sejati, yang abadi hanyalah kepentingan.
Wajah politik Indonesia mutakhir adalah politik tanpa refleksi. Visi-misi seolah hanya dijadikan alat kampanye untuk meraih simpati, bukan sebagai instrumen utama untuk menentukan arah kebijakan bangsa. Pertarungan politik antara capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Jokowi- Jusuf Kalla menjadi babak penting dalam menentukan arah bangsa ke depan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, berani, visioner sekaligus memahami aspirasi rakyat.
Pemimpin yang duduk di menara gading yang hanya bertopeng citra, sejatinya adalah mereka yang membelakangi kehendak rakyat. Justru, pemimpin yang tiap hari bergulat keringat dan berjibaku dengan problem mendasar warganya yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
Sudah terlalu banyak pemimpin yang bisa bicara, namun sedikit yang mampu mendengar keluhan dan aspirasi nurani rakyatnya. Tetapi, pemimpin yang merakyat tidaklah cukup. Presiden yang kuat dan mampu mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat sangat dibutuhkan karena negeri ini akan berada dalam gelanggang persaingan antar-negara dalam politik, ekonomi dan kebudayaan.
Politik Kaum Nahdliyin
Historiografi politik Indonesia perlu melihat Nahdlatul Ulama (NU) sebagai referensi. NU tidak hanya organisasi, namun juga sikap dan tindakan para ulamanya. Kiai-kiai NU tidak hanya berpijak pada prinsip politik populer berbasis citra, namun berbekal dengan prinsip etik dan dasar fikih politik (fiqh siyasah) untuk merumuskan agenda-agenda strategis terkait kepentingan bangsa. Kaidah maqashid as-syari’ah Imam as-Syatibi, dapat menjadi renungan bagaimana politik memberikan keberpihakan.
Imam as-Syathibi menjelaskan, ada lima prinsip dasar: (1) menjaga agama (hifzh ad-din), (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs), (3) menjaga akal (hifzh al-aql), (4) menjaga keturunan (hifzh annasl), (5) menjaga harta (hifzh al-mal). Prinsip-prinsip inilah yang menjadi referensi penting. Prinsip-prinsip inilah yang dapat menjadi acuan penting dalam penyelenggaraan negara, untuk melindungi segenap kepentingan warganya. Inilah yang sejatinya menjadi prinsip dasar bagi warga Nahdliyin dalam menentukan sikap politiknya.
Tujuan-tujuan politik yang diusahakan oleh kiai-kiai NU, tidak dalam rangka merengkuh politik kekuasaan, namun politik kebangsaan. Sejarah hidup KH Abdurrahman Wahid masih segar dalam ingatan kita, bagaimana ia berjuang dalam seluruh hidupnya untuk kemaslahatan bangsa ini. Politik yang diperjuangkan Gus Dur adalah politik untuk visi masa depan bangsa, perlindungan terhadap minoritas dan pintu gerbang menuju kemakmuran.
Sepak terjang Gus Dur selama memimpin NU dapat dijadikan teladan, bagaimana ia bisa menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh lintas etnis, agama dan ideologi. Hal ini penting, agar komunikasi lintas kultur dan pemahaman terhadap kebijakan negara dapat diterjemahkan dalam strategi organisasi secara komprehensif.
Ketika menjadi presiden Indonesia, Gus Dur tidak serta merta menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Justru, beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis yang menjadi masterplan Indonesia masa depan. Kebijakan Gus Dur terhadap orang Tionghoa, warga Papua dan kelompok-kelompok yang terdiskriminasi oleh sistem politik menjadi referensi nyata.
Politik Mashlahah
Apa yang diperjuangkan Gus Dur ternyata berakar dari renungan panjang tentang kebangsaan kita. Gus Dur mendapat pencerahan dari keteladanan kakeknya, KH. Hasyim Asy’arie dan ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Kedua tokoh ini merupakan referensi sikap dan pemikiran bagi kaum Nahdliyin. Kiai Hasyim Asy’arie menjadi penyambung silsilah penguasa Majapahit-Mataram hingga jaringan ulama Nusantara.
Beliau menyandang dua kategori kebangsawanan: bangsawandarah biru dan bangsawan pikiran. Bangsawan struktural dengan nasab yang tersambung pada penguasa Majapahit menjadi basis sejarah dan kepribadian Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie. Sedangkan, tingkat keilmuan dan kedalaman pemikiran Kiai Hasyim menjadikan beliau layak dianggap sebagai ulama besar.
Selain itu, Kiai Hasyim menjadi jembatan yang menghubungkan ulama-ulama Timur Tengah dan Nusantara, berkat hubungan guru-murid dan persahabatan selama di pesantren. Kekuatan simbolik dan legitimasi keilmuan inilah yang kemudian menjadi kekuatan Kiai Hasyim ketika menggerakkan kiai-santri dalam pertempuran November 1945 di Surabaya. Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim sejatinya adalah gerbang untuk melihat bagaimana peran ulama-santri dalam menggalang kemerdekaan.
Kiai Hasyim dan jaringan kiai di seluruh Jawa, tampil dalam garda depan di medan laga. Inilah yang dikenang oleh Bung Tomo dan barisan pemuda di Jawa Timur, yang sangat menghormati para kiai karena menyuntikkan semangat dan menggerakkan ribuan pemuda santri.
Dari peristiwa 10 November 1945, dapat dilihat bagaimana peran ulama dan jaringan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Tetapi, setelah merdeka, sejarah pesantren tidak mendapat ruang dalam historiografi Indonesia. Peranulama-santri dilupakan dalam narasi pengetahuan.
Padahal, para kiai memang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan, dengan strategi politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Apa yang diperjuangkan Kiai Hasyim Asy’arie dapat menjadi referensi tentang bagaimana memberi sumbangsih kepada bangsa, tanpa harus larut dalam sengketa politik. Strategi politik kebangsaan menjadi tulang punggungnya.
Politik kebangsaan kaum Nahdliyin bertumpu pada spirit nahdlatul wathan , yakni upaya untuk menggerakkan sumber daya dan pemikiran untuk kebangkitan bangsa. Usaha untuk membangkitkan bangsa butuh kepemimpinan yang kuat, yang mampu berkiprah dengan bertopang niat teguh dan menjalankan strategi politik yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Politik mashlahah adalah prinsip dan upaya kaum Nahdliyin untuk menegakkan bangsa, bukan melemahkan negara. Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang visioner, kuat dan mampu membawa negeri ini dalam kontestasi global.
Indonesia perlu belajar dari kiprah Gus Dur, meskipun dengan kontekstualisasi ulang atas konsep dan strategi politik. Rujukan etik, prinsip moral dan kaidah ushul fiqh-fiqh siyasah (fikih politik) yang dipraktikkan KH Hasyim Asy’arie dan Gus Dur menjadi cermin bagi pemimpin masa depan.
MUCHAMAD NABIL HAROEN
Peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta, Sekretaris Umum PP (Pimpinan Pusat) Pencak Silat NU Pagar Nusa
Kebijakan-kebijakanpara penguasa, terasalebihmementingkan kelompok dan lingkaran kroninya, lalu lupa dengan aspirasi rakyat yang sesungguhnya. Inilah wajah politik negeri saat ini? Renungan-renungan tentang politik kebangsaan, perlu dihadirkan kembali sebagai inspirasi menjelang pemilihan presiden (pilpres) saat ini.
Kontestasi menjelang Pilpres 9 Juli 2014, menjadi medan pertarungan kepentingan dan strategi politik. Inilah ruang di mana, kawan dan lawan hanya ditentukan oleh kepentingan. Pertarungan politik tidak mengenal kawan dan lawan sejati, yang abadi hanyalah kepentingan.
Wajah politik Indonesia mutakhir adalah politik tanpa refleksi. Visi-misi seolah hanya dijadikan alat kampanye untuk meraih simpati, bukan sebagai instrumen utama untuk menentukan arah kebijakan bangsa. Pertarungan politik antara capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Jokowi- Jusuf Kalla menjadi babak penting dalam menentukan arah bangsa ke depan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang kuat, berani, visioner sekaligus memahami aspirasi rakyat.
Pemimpin yang duduk di menara gading yang hanya bertopeng citra, sejatinya adalah mereka yang membelakangi kehendak rakyat. Justru, pemimpin yang tiap hari bergulat keringat dan berjibaku dengan problem mendasar warganya yang dibutuhkan oleh bangsa ini.
Sudah terlalu banyak pemimpin yang bisa bicara, namun sedikit yang mampu mendengar keluhan dan aspirasi nurani rakyatnya. Tetapi, pemimpin yang merakyat tidaklah cukup. Presiden yang kuat dan mampu mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat sangat dibutuhkan karena negeri ini akan berada dalam gelanggang persaingan antar-negara dalam politik, ekonomi dan kebudayaan.
Politik Kaum Nahdliyin
Historiografi politik Indonesia perlu melihat Nahdlatul Ulama (NU) sebagai referensi. NU tidak hanya organisasi, namun juga sikap dan tindakan para ulamanya. Kiai-kiai NU tidak hanya berpijak pada prinsip politik populer berbasis citra, namun berbekal dengan prinsip etik dan dasar fikih politik (fiqh siyasah) untuk merumuskan agenda-agenda strategis terkait kepentingan bangsa. Kaidah maqashid as-syari’ah Imam as-Syatibi, dapat menjadi renungan bagaimana politik memberikan keberpihakan.
Imam as-Syathibi menjelaskan, ada lima prinsip dasar: (1) menjaga agama (hifzh ad-din), (2) menjaga jiwa (hifzh an-nafs), (3) menjaga akal (hifzh al-aql), (4) menjaga keturunan (hifzh annasl), (5) menjaga harta (hifzh al-mal). Prinsip-prinsip inilah yang menjadi referensi penting. Prinsip-prinsip inilah yang dapat menjadi acuan penting dalam penyelenggaraan negara, untuk melindungi segenap kepentingan warganya. Inilah yang sejatinya menjadi prinsip dasar bagi warga Nahdliyin dalam menentukan sikap politiknya.
Tujuan-tujuan politik yang diusahakan oleh kiai-kiai NU, tidak dalam rangka merengkuh politik kekuasaan, namun politik kebangsaan. Sejarah hidup KH Abdurrahman Wahid masih segar dalam ingatan kita, bagaimana ia berjuang dalam seluruh hidupnya untuk kemaslahatan bangsa ini. Politik yang diperjuangkan Gus Dur adalah politik untuk visi masa depan bangsa, perlindungan terhadap minoritas dan pintu gerbang menuju kemakmuran.
Sepak terjang Gus Dur selama memimpin NU dapat dijadikan teladan, bagaimana ia bisa menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh lintas etnis, agama dan ideologi. Hal ini penting, agar komunikasi lintas kultur dan pemahaman terhadap kebijakan negara dapat diterjemahkan dalam strategi organisasi secara komprehensif.
Ketika menjadi presiden Indonesia, Gus Dur tidak serta merta menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Justru, beliau mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis yang menjadi masterplan Indonesia masa depan. Kebijakan Gus Dur terhadap orang Tionghoa, warga Papua dan kelompok-kelompok yang terdiskriminasi oleh sistem politik menjadi referensi nyata.
Politik Mashlahah
Apa yang diperjuangkan Gus Dur ternyata berakar dari renungan panjang tentang kebangsaan kita. Gus Dur mendapat pencerahan dari keteladanan kakeknya, KH. Hasyim Asy’arie dan ayahnya, Kiai Wahid Hasyim. Kedua tokoh ini merupakan referensi sikap dan pemikiran bagi kaum Nahdliyin. Kiai Hasyim Asy’arie menjadi penyambung silsilah penguasa Majapahit-Mataram hingga jaringan ulama Nusantara.
Beliau menyandang dua kategori kebangsawanan: bangsawandarah biru dan bangsawan pikiran. Bangsawan struktural dengan nasab yang tersambung pada penguasa Majapahit menjadi basis sejarah dan kepribadian Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie. Sedangkan, tingkat keilmuan dan kedalaman pemikiran Kiai Hasyim menjadikan beliau layak dianggap sebagai ulama besar.
Selain itu, Kiai Hasyim menjadi jembatan yang menghubungkan ulama-ulama Timur Tengah dan Nusantara, berkat hubungan guru-murid dan persahabatan selama di pesantren. Kekuatan simbolik dan legitimasi keilmuan inilah yang kemudian menjadi kekuatan Kiai Hasyim ketika menggerakkan kiai-santri dalam pertempuran November 1945 di Surabaya. Resolusi Jihad yang digelorakan Kiai Hasyim sejatinya adalah gerbang untuk melihat bagaimana peran ulama-santri dalam menggalang kemerdekaan.
Kiai Hasyim dan jaringan kiai di seluruh Jawa, tampil dalam garda depan di medan laga. Inilah yang dikenang oleh Bung Tomo dan barisan pemuda di Jawa Timur, yang sangat menghormati para kiai karena menyuntikkan semangat dan menggerakkan ribuan pemuda santri.
Dari peristiwa 10 November 1945, dapat dilihat bagaimana peran ulama dan jaringan pesantren dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Tetapi, setelah merdeka, sejarah pesantren tidak mendapat ruang dalam historiografi Indonesia. Peranulama-santri dilupakan dalam narasi pengetahuan.
Padahal, para kiai memang bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan, dengan strategi politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Apa yang diperjuangkan Kiai Hasyim Asy’arie dapat menjadi referensi tentang bagaimana memberi sumbangsih kepada bangsa, tanpa harus larut dalam sengketa politik. Strategi politik kebangsaan menjadi tulang punggungnya.
Politik kebangsaan kaum Nahdliyin bertumpu pada spirit nahdlatul wathan , yakni upaya untuk menggerakkan sumber daya dan pemikiran untuk kebangkitan bangsa. Usaha untuk membangkitkan bangsa butuh kepemimpinan yang kuat, yang mampu berkiprah dengan bertopang niat teguh dan menjalankan strategi politik yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
Politik mashlahah adalah prinsip dan upaya kaum Nahdliyin untuk menegakkan bangsa, bukan melemahkan negara. Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang visioner, kuat dan mampu membawa negeri ini dalam kontestasi global.
Indonesia perlu belajar dari kiprah Gus Dur, meskipun dengan kontekstualisasi ulang atas konsep dan strategi politik. Rujukan etik, prinsip moral dan kaidah ushul fiqh-fiqh siyasah (fikih politik) yang dipraktikkan KH Hasyim Asy’arie dan Gus Dur menjadi cermin bagi pemimpin masa depan.
MUCHAMAD NABIL HAROEN
Peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta, Sekretaris Umum PP (Pimpinan Pusat) Pencak Silat NU Pagar Nusa
(nfl)