Polarisasi Politik Thailand

Rabu, 04 Juni 2014 - 11:31 WIB
Polarisasi Politik Thailand
Polarisasi Politik Thailand
A A A
DUA minggu berlalu sejak militer Thailand melakukan kudeta dan mengambil alih pemerintahan sementara yang dibentuk pascapelengseran Perdana Menteri Yingluck Shinawatra pada bulan Mei. Arah politik di Thailand belum jelas.

Jenderal Prayut Chan-Ocha mengatakan pengambilalihan kekuasaan itu penting karena tiap kelompok yang bertikai tidak menemukan solusi bersama setelah beberapa hari perundingan. Pernyataan tersebut seolah-olah mengisyaratkan kudeta yang dilakukan militer adalah sebuah keterpaksaan karena keadaan yang mendesak dan militer tidak memiliki jalan lain kecuali mengambil alih pemerintahan.

Banyak analis yang meragukan pernyataan tersebut karena pada bulan April, militer telah menempatkan para pejabat militer struktural anti-Thaksin dalam posisi penting di First Army Division yang menguasai wilayah Bangkok. Jenderal Prayut sendiri adalah salah satu komandan yang berasal dari Royal Thai Army 1st Division.

Dalam sejarahnya, banyak kudeta yang dimotori jenderal-jenderal dari divisi ini. Kudeta yang terjadi dua minggu lalu adalah kudeta yang ke-12 kali yang berhasil menggulingkan pemerintahan, sementara pernah ada 7 kali percobaan yang gagal sejak kudeta pertama pada 1932 yang melahirkan konstitusi monarki di Thailand. Ilmuwan politik Jay Ulfelder yang dikenal karena studinya tentang model yang memprediksi tentang kemungkinan terjadinya kudeta di sebuah negara melakukan analisis nonlinier pengukuran kondisi dan sejarah politik ekonomi dan sosial di sejumlah negara.

Ia menemukan bahwa kudeta jarang terjadi di negara yang kaya-raya, sangat otoritarian atau yang sangat demokratis. Kudeta justru terjadi dalam negara yang demokrasinya belum penuh atau sistem politiknya adalah campuran antara sistem monarki dan demokrasi modern. Thailand adalah salah satu negara yang masuk dalam kategori ini. Khusus untuk Thailand, satu hal yang khas adalah bahwa jalannya politik di Thailand tidak pernah benar-benar bersih dari pengaruh politik monarki.

Hal ini berbeda dengan sistem monarki di Inggris atau sebagian negara Eropa di mana anggota keluarga kerajaan atau keturunannya semata merupakan kekuasaan simbolik yang tidak punya andil langsung dalam praktik politik dan pemerintahan sehari-hari.

Mereka biasanya hanyalah kekuasaan simbolik yang tidak memiliki kekuasaan apa pun dalam praktik politik dan pemerintahan sehari-hari. Di Thailand, pengaruh sistem monarki masih sangat kuat walaupun kerajaan menyatakan diri mereka netral dan berdiri di atas semua kepentingan politik.

Hal initerlihat dalam konflik yang terjadi antara kelompok Kaus Merah yang identik dengan pro-Thaksin, yang didukung kaum miskin perdesaandankelasmenengahdi provinsi-provinsi di utara dan tenggara, dengan kelompok Kaus Kuning yang anti-Thanksin dan promiliter yang didukung kelas menengah perkotaan dan keluarga kerajaan.

Para analis politik menjelaskan keterlibatan kerajaan dan militer terjadi karena membesarnya kekuasaan Thaksin yang berbasis dukungan dari kalangan bawah. Hal ini menjadi ancaman bagi mereka yang selama ini telah menikmati keistimewaan sebagai bagian dari rezim yang berkuasa.

Permasalahannya, dalam soal korupsi, kedua elite dalam faksi kelompok ini adalah setali tiga uang. Dinasti Thaksin dalam berbagai kesempatan dituding korup dan diduga telah menyalahgunakan kekuasaan dalam pembuatan sejumlah kebijakan.

Namun, di sisi lain, bukan mustahil tudingan tersebut muncul karena sejumlah perusahaan yang selama ini dekat dengan militer dan keluarga kerajaan merasa terancam oleh kebijakan yang dibuat dinasti Thaksin. Selain itu, polarisasi kelompok di Thailand tidak sepenuhnya karena pro-Thaksin.

Misalnya sejumlah kelompok Kaus Merah mengakui bahwa alasannya bergabung ke kubu itu adalah karena mereka antijunta militer dan hanya kelompok Kaus Merah yang punya tujuan sama. Jadi, di lapangan terlihat bahwa masyarakat kelas bawah punya kecenderungan lebih percaya pada demokrasi sebagai salah satu jalan untuk membebaskan diri dari kemiskinan, sementara masyarakat kelas menengah perkotaan justru sinis dan merindukan kekuatan militer tiap kali ada perbedaan pendapat antarkubu politik.

Di sinilah sebenarnya ASEAN maupun Indonesia tidak bisa sekadar menonton dan berdoa bahwa situasi Thailand akan membaik dengan sendirinya. Mengingat Thailand selalu saja masih mengandalkan solusi militer dalam menyelesaikan perbedaan pandangan dalam politik, dapat disimpulkan bahwa demokrasi modern sesungguhnya masih jauh dari agenda pemerintahan Negeri Gajah Putih itu. Solusi militer macam itu tidak sehat karena kaum militer terbiasa untuk melihat segala sesuatu secara hitam dan putih belaka; mereka sulit mengapresiasi unjuk rasa dan negosiasi politik.

Masyarakat pun selalu gamang untuk bernegosiasi dengan lawan politik karena khawatir dianggap makar oleh kerajaan atau militer. Alhasil, alih-alih melakukan negosiasi dan upaya rekonsiliasi, mereka mengusulkan referendum sebagai basis legitimasi akan perlunya perubahan.

Ini makin membuat militer khawatir karena jika hasil referendum tidak sesuai dengan keinginan raja, efek destabilisasi politik akan lebih dahsyat. Sebenarnya dengan adanya bentuk unjuk rasa damai selama berbulan-bulan yang dilakukan masyarakat sipil, tampak benih-benih demokrasi yang menjanjikan untuk dipupuk di Thailand.

Apabila para kelompok dikatakan tidak menemukan solusi juga tidak salah karena masih ada pengaruh monarki yang begitu kuat. Enam bulan saat Yingluck menjadi perdana menteri, ada usaha kedua belah pihak untuk melakukan rekonsiliasi yang memang berat karena banyak hal yang harus mereka kompromikan dan hal-hal semacam itu kadang-kadang sulit dibatasi oleh waktu.

Indonesia pernah melakukan pendekatan kepada junta militer di Myanmar tentang perlunya perubahan sistem politik untuk mengadopsi lingkungan internasional yang sudah berubah.

Dalam kasus di Thailand, ada baiknya para tokoh demokrasi dan diplomasi Indonesia juga melakukan pendekatan personal kepada pihak militer dan kerajaan di Thailand, juga pimpinan kedua kubu politik agar terjalin sharing tentang cara-cara menghadapi perbedaan pendapat dalam demokrasi. Karena nilai-nilai demokrasi sudah diangkat sebagai komitmen bersama di ASEAN, program saling asah dan asuh antarpolitisi di kawasan ini perlu diterapkan dengan rajin.

DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7251 seconds (0.1#10.140)