Unta Rasul dan MERS-CoV

Sabtu, 31 Mei 2014 - 18:07 WIB
Unta Rasul dan MERS-CoV
Unta Rasul dan MERS-CoV
A A A
HELMY –sebut saja namanya begitu– seorang Facebooker, menulis status di akunnya: serangan virus MERSCoV (Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus) yang telah menewaskan ratusan orang di Arab Saudi, termasuk umat Islam yang tengah melaksanakan umrah di Mekkah, hanya isu murahan.

Berita tentang virus yang menyerang sistem pernapasan itu menurutnya hanya strategi untuk mencegah orang Islam datang ke Tanah Suci untuk beribadah. Helmy pun mengutip pesan saudaranya dari Madura yang sedang umrah: ”Jangan takut virus MERS-CoV. Itu berita yang dibesar-besarkan saja,” katanya. Lebih jauh, Helmy –penceramah dan aktivis salah satu partai politik ini– menyatakan: dalam tarikh (sejarah) Nabi, belum pernah ada kisah tentang virus MERS.

Jika dulu virus ini pernah menyerang penduduk Mekkah dan Madinah, niscaya kisahnya tertulis dalam riwayat kehidupan Nabi Muhammad (tarikh Nabi). Apalagi bila virus ini ditularkan melalui unta, niscaya Rasul tak akan mau menaiki kendaraan istimewanya itu. Kita tahu, tulis Helmy, unta adalah kendaraan kesayangan Rasul saat itu. Menarik apa yang dinyatakan Helmy di atas. Bukan hanya logikanya yang aneh, melainkan juga provokasinya untuk menolak ”pemberitaan” tentang virus MERS tersebut.

Dan herannya, logika Helmy di atas banyak mendapat dukungan para facebookers. Puluhan, bahkan ratusan orang menyetujui pendapatnya. Tak sedikit pula para dai dan khatib Jumat yang berpendapat seperti Helmy. ”Jangan takut pada virus MERS. Umrah adalah ibadah dan kematian ada di tangan Allah,” kata seorang khatib Jumat. Dan, jamaah pun banyak yang menganggukkan kepalanya.

Sikap Helmy dan beberapa orang yang sependapat dengannya, jelas menumpulkan upaya pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, untuk meminimalisasi penyebaran virus yang mengganggu sistem pernapasan itu. Padahal, MERS-CoV telah menyebar di berbagai kawasan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) mencatat: sampai 16 Mei 2014 sedikitnya ada 575 orang yang terjangkit virus MERS, 176 di antaranya meninggal dunia.

Di Arab Saudi sendiri –kawasan pertama yang terindikasi sebagai kawasan penyebar MERS– terdapat 512 penderita, 147 di antaranya meninggal, termasuk seorang warga negara Indonesia (WNI) berinisial NA. NA adalah tenaga kerja wanita (TKW) asal Madura yang telah lama tinggal di Jeddah. Selain Arab Saudi, ada 19 negara lain yang melaporkan terjadinya kasus MERS: Yordania, Qatar, Kuwait, Oman, dan Mesir (Timur Tengah). Lalu Prancis, Jerman, Inggris, Yunani, dan Italia (Eropa).

Sedangkan di Afrika, baru Tunisia yang melaporkan adanya MERS. Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Asia), juga melaporkan adanya serangan MERS. Dan di Amerika, dilaporkan ada dua pasien terindikasi MERS. Di Indonesia sendiri, sampai 14 Mei lalu, jumlah terduga penderita MERS mencapai 92 orang, tersebar di 13 provinsi.

Meski akhirnya semua terduga dinyatakan negatif MERS, ada dua orang meninggal, masing-masing di Bali dan Medan. Apakah keduanya terserang MERS, masih belum dapat dipastikan. Tapi satu hal jelas, keduanya tewas akibat rusaknya sistem pernapasan (Gatra, 28 Mei 2014).

Dari mana datangnya MERSCoV yang tiba-tiba menyerang manusia? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada heboh serangan virus SARS (severe acute respiratory syndrome), tahun 2003 lalu. SARS seperti halnya MERS, sama-sama menyerang sistem pernafasan dan penyebabnya virus corona. Menurut laporan WHO, MERS dan SARS serupa tapi gennya berbeda. Penyebaran SARS lebih cepat, tapi MERS lebih mematikan.

Di Timur Tengah, misalnya, kematian akibat MERS mencapai 30% dari jumlah kasus, sedangkan SARS hanya 10%-nya. Yang jadi pertanyaan, kenapa unta dituduh sebagai penyebar MERS? Bukankah unta adalah kendaraan kesayangan Rasul? Jawabnya: mungkin unta zaman Rasul berbeda dengan unta zaman sekarang.

Kerusakan lingkungan dan perubahan ekosistem telah menjadikan unta zaman sekarang tidak sekuat ketahanan ”fisiknya” dibandingkan unta zaman Rasul di abad ke-7 Masehi. Banyak sekali perubahan yang terjadi di Jazirah Arab bila dibandingkan kondisi abad ke-7, yang tentunya memengaruhi kondisi kehidupan unta. Industri migas dan petrokimia yang berkembang secara amat masif di Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, niscaya sangat memengaruhi ekosistem kehidupan.

Belum lagi gaya hidup masyarakat ”berkelimpahan harta” di Teluk yang cenderung destruktif terhadap lingkungan. Dengan harga minyak yang murah, masyarakat Timur Tengah sangat boros memakai energi fosil yang tak dapat diperbarui (nonrenewable ) ini. Akibatnya, pencemaran lingkungan dan kadar gas karbon dioksida (gas rumah kaca) pun meningkat pesat.

Tidak seperti di kawasan tropis yang banyak terdapat tumbuhan penyerap karbon, di Jazirah Arab, pohon amat jarang. Kawasan ini sebagian besar terdiri atas gurun pasir. Karena itu, pencemaran karbon di atmosfer sulit direduksi oleh alam. Dampaknya: iklim pun mengalami penyimpangan. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, Kota Mekkah sering dilanda banjir besar.

Di pihak lain, di musim dingin, salju pun mulai muncul di beberapa wilayah Teluk. Semua ini merupakan anomali iklim akibat perubahan cuaca global. David Suzuki, pakar lingkungan, telah mengingatkan bahwa pencemaran karbon akan berdampak besar pada ekosistem bumi. Tidak hanya terjadi perubahan iklim, tapi juga perubahan pola hujan, pola penurunan salju, pasang-surut air laut, kepunahan massal spesies, kerusakan sumber pangan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Robert van Lierop, diplomat dari negeri kecil Vanuatu, mengatakan: Perubahan iklim bagi negara-negara besar berbentuk kontinen mungkin dianggap sepele. Tapi bagi negeri kecil seperti Vanuatu, Karibati, dan negeri-negeri pulau di Pasifik, kenaikan permukaan laut setinggi 30 cm saja (akibat global warming), bisa melenyapkan sebuah negara. Dari perspektif itulah kita melihat, bagaimana rentannya unta masa kini terhadap virus MERS.

Di zaman Nabi, ketika lingkungan masih asri–belum tercemar karbon, sulfida, nitrat, dan lainlain hasil dari pembakaran minyak–unta masih hidup dengan normal dan virus MERS mungkin masih ”tertidur”. Tapi, ketika lingkungan berubah akibat pembakaran minyak, ekosistem pun berubah. Kehidupan unta pun berubah. MERS yang ”tertidur” pun bangun. Berbarengan dengan itu, atmosfer yang tercemar melepaskan zat-zat berbahaya yang memungkinkan virus corona yang semula aman bermutasi menjadi virus berbahaya.

Jed Greer dan Kenny Bruno dalam bukunya, Greenwash: The Reality Behind Corporate Environmentalism mengungkapkan: Dalam skenario paling baik sekalipun, dimensi ancaman dari berlanjutnya ketergantungan pada minyak bumi amat mengerikan, apalagi dalam skenario paling buruk–sungguh tak terbayangkan!

Perusahaan-perusahaan minyak raksasa seperti Exxon-Mobil, Shell, dan Chevron –menurut Greer dan Bruno– telah menimbulkan kerusakan lingkungan amat parah di planet bumi. Mereka –korporasi-korporasi– tidak hanya mencemari atmosfer, tapi juga menimbulkan kemiskinan parah di berbagai belahan dunia.

Krisis ekonomi di Nigeria dan Meksiko –dua negara kaya minyak– menjadi bukti, bahwa "emas hitam” telah memorak-porandakan bangunan masyarakat yang selama ini bisa berdamai dengan alam. Kita tahu Arab Saudi adalah penghasil minyak terbesar di dunia. Ratusan perusahaan minyak beroperasi di Hijaz dan sekitarnya. Operasi mereka tak hanya merusak lingkungan, tapi juga merusak ekosistem secara keseluruhan.

Jika kemudian, akibat operasi korporasi-korporasi minyak itu lingkungan kehidupan unta berubah dan virus MERS tersebar melalui unta, kita tahu siapa yang pantas dipersalahkan? Kita ingat, dalam tarikh Nabi, Rasul Muhammad digambarkan sebagai pencinta lingkungan dan penyayang binatang.

Ketika Beliau memasuki Mekkah dengan kemenangan (Fathu Makkah), yang pertama-tama Rasul katakan adalah: Jangan bunuh binatang dan jangan merusak pohon. Pesan Rasul ini jelas konteksnya amat luas bila kita kaitkan dengan kondisi sekarang di Jazirah Arab! Sayang, pesan Rasul itu dilanggar. Jadilah bumi Arab makin panas dan iklim pun kacau. Lalu, virus MERS pun tumbuh dan berkembang dan menyebar ke mana-mana.

Siapa yang salah? Jelas bukan unta. Tapi manusia! Alquran, 1.400 tahun lalu, telah mengingatkan: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Ar-Rum 41-42). Dan jalan yang benar itu, manusia harus hidup selaras dengan alam. Bekerja bersama alam dan hidup berdampingan dengan alam.

HADI S ALIKODRA
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4591 seconds (0.1#10.140)