Pengelolaan dan Pengendalian Inflasi
A
A
A
BANK Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada awal 2014 telah menaikkan outlook ekonomi global sebagai respons atas sinyal pemulihan yang ditunjukkan negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS).
Kendati demikian, revisi ke atas outlook ekonomi dunia masih dihadapkan pada risiko perlambatan sejumlah negara berkembang seperti China, India, Afrika Selatan dan Brasil. Sinyal pemulihan ekonomi negara maju seperti AS dan Eropa telah menghadirkan kekhawatiran baru bagi prospek ekonomi negara-negara berkembang. Lonjakan inflasi di beberapa negara berkembang pada pengujung 2013 hingga awal 2014 memberi tekanan bagi upaya pemulihan global.
Pelemahan mata uang di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan telah menstimulasi ancaman inflasi dan memaksa bank sentral di sejumlah negara tersebut menaikkan tingkat suku bunga acuan. Ini yang dilakukan oleh negara-negara seperti Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Ancaman lonjakan inflasi ini banyak dihadapi negara-negara dengan defisit transaksi berjalan yang besar dan diperdalam oleh tekanan menguatnya mata uang dolar AS. Seperti yang kita ketahui, AS kini tengah berupaya mengakhiri kebijakan pelonggaran kuantitatif dan rezim suku bunga murah.
Akibat dari kebijakan ini, terjadi eksodus modal (capital outflow) yang cukup besar dari pasar negara-negara berkembang. Kondisi ini juga diperburuk dengan perlambatan China yang selama ini banyak menopang ekonomi negara-negara berkembang. Pada kondisi ini, sejumlah negara berkembang dituntut melakukan restrukturisasi arus modal keluar dan melakukan penataan kembali sumber pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
IMF dan sejumlah pengamat ekonomi global pada April 2014 menyebutkan ancaman risiko inflasi akan kembali mengemuka ketika terjadi kenaikan beberapa harga komoditas pangan dunia. IMF dan para analis menilai harga-harga pasokan barang di sektor pertanian merupakan faktor strategis pada perekonomian di negara-negara berkembang, khususnya negara dengan struktur sektor pertanian yang besar. Sementara itu profil kemiskinan di negara-negara berkembang banyak ditemui pada masyarakat di sektor pertanian.
Hal ini tentu membawa kekhawatiran melonjaknya angka kemiskinan di negara-negara berkembang ketika terjadi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga. Bahkan IMF menilai kenaikan harga komoditas, khususnya pangan tidak hanya memicu risiko inflasi, tetapi juga akan berpotensi memunculkan ketegangan global (termasuk risiko perang). Bagi Indonesia, pengelolaan dan pengendalian inflasi merupakan kebijakan prioritas yang telah ditempuh sepanjang 2004-2014. Hal ini dilakukan mengingat mesin pertumbuhan ekonomi nasional sebagian besar disumbangkan sektor konsumsi.
Artinya dengan mengelola dan mengendalikan laju inflasi, daya beli masyarakat/rumah tangga juga terjaga. Dengan terjaganya daya beli masyarakat, konsumsi akan terus tumbuh dan diharapkan terus menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia termasuk negara yang dipandang berhasil dalam mengelola dan mengendalikan laju inflasi. Hal ini setidaknya dapat terlihat dari kebijakan pengendalian subsidi BBM yang dikhawatirkan dapat memicu lonjakan inflasi.
Untuk menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada tahun 2005, 2008 dan 2013. Penyesuaian harga BBM subsidi ini dipandang banyak kalangan akan mendorong lonjakan inflasi dan membawa ekonomi nasional ke risiko yang lebih dalam. Kendati demikian, pemerintah berhasil menepis anggapan tersebut dengan memperkuat koordinasi otoritas fiskal-moneter, pusat-daerah, agar risiko lonjakan inflasi dapat ditekan semaksimal mungkin.
Hasilnya memang ada lonjakan inflasi 3-4 bulan pascapenyesuaian harga, tetapi bersifat temporer dan akan kembali ke titik keseimbangannya. Pengelolaan risiko inflasi dari waktu ke waktu juga menunjukkan peningkatan kualitas pengelolaan di mana inflasi pada penyesuaian harga BBM subsidi 2005 mencapai 17%, 2008 11%, dan 2013 8,3%. Tentunya ini potret perbaikan yang berkesinambungan. Keberhasilan pengendalian inflasi di Indonesia didorong oleh semakin kuatnya koordinasi otoritas fiskal-moneter dan koordinasi pusat-daerah.
Pada kebijakan fiskal, pemerintah terus mendorong perbaikan neraca transaksi berjalan dengan menekan pelebaran defisit, memastikan jaminan pasokan barang/jasa sekaligus stabilisasi harga di tingkat konsumen, khususnya barang/jasa yang diatur pemerintah (administered price). Pemerintah juga mengimbau kepada para pelaku usaha untuk menghindari PHK yang dapat melemahkan daya beli masyarakat.
Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia telah menempuh sejumlah bauran kebijakan moneter, di antaranya menaikkan suku bunga acuan, melakukan operasi moneter ke pasar, dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Untuk kebijakan makroprudensial, bank sentral terus mendorong upaya memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Sementara di bidang sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk pengembangan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien.
Pengelolaan dan pengendalian inflasi nasional juga dikontribusi semakin kuatnya koordinasi pusat-daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi yang telah dibentuk baik secara nasional maupun di tiap daerah. Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 210 Tim Pengendalian Inflasi Daerah (33 provinsi dan 177 kabupaten/kota). Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) ini bertugas mengawasi dan melakukan tindakan antisipatif untuk meredam kenaikan harga-harga, khususnya komoditas pokok seperti pangan.
Koordinasi antara pusat dan daerah ini menjadi sangat strategis mengingat 80% angka inflasi nasional bersumber dari daerah-daerah di luar Jakarta. Selain harga komoditas, TPID ini juga diharapkan dapat memonitor perkembangan tarif angkutan yang memiliki dampak besar bagi peningkatan harga komoditas. Dengan meningkatnya koordinasi antara pusat-daerah, risiko lonjakan inflasi dapat dikendalikan di samping melakukan penguatan kapasitas ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur daerah, reformasi birokrasi dan sejumlah hal yang dapat mereduksi ekonomi biaya tinggi.
Pada periode 2014-2019, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan dengan muatan ketidakpastian yang tinggi khususnya terkait dengan perubahan cuaca ekstrem dan terganggunya pasokan barang/ jasa akibat ketegangan global. Menjelang Pilpres 9 Juli 2014, ekonomi nasional diperhadapkan pada risiko inflasi musiman memasuki masa tahun ajaran baru, bulan puasa, dan Lebaran. Pengamanan jalur-jalur distribusi beserta infrastruktur yang melekat di dalamnya perlu untuk segera dipersiapkan dalam beberapa waktu ke depan di samping ketersediaan pasokan yang memadai.
Hal ini tentu tidak hanya bersifat short-term mengingat tahun depan Indonesia juga akan menghadapi pasar bebas ASEAN. Dengan demikian, pekerjaan perdana bagi presiden terpilih nantinya adalah mengelola dan mengendalikan risiko inflasi sebagai faktor yang berdampak besar bagi pertumbuhan konsumsi sekaligus pertumbuhan nasional di tengah tekanan lonjakan harga komoditas (eksternal) dan ketersediaan pasokan serta infrastruktur distribusinya (internal).
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
Kendati demikian, revisi ke atas outlook ekonomi dunia masih dihadapkan pada risiko perlambatan sejumlah negara berkembang seperti China, India, Afrika Selatan dan Brasil. Sinyal pemulihan ekonomi negara maju seperti AS dan Eropa telah menghadirkan kekhawatiran baru bagi prospek ekonomi negara-negara berkembang. Lonjakan inflasi di beberapa negara berkembang pada pengujung 2013 hingga awal 2014 memberi tekanan bagi upaya pemulihan global.
Pelemahan mata uang di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan telah menstimulasi ancaman inflasi dan memaksa bank sentral di sejumlah negara tersebut menaikkan tingkat suku bunga acuan. Ini yang dilakukan oleh negara-negara seperti Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Ancaman lonjakan inflasi ini banyak dihadapi negara-negara dengan defisit transaksi berjalan yang besar dan diperdalam oleh tekanan menguatnya mata uang dolar AS. Seperti yang kita ketahui, AS kini tengah berupaya mengakhiri kebijakan pelonggaran kuantitatif dan rezim suku bunga murah.
Akibat dari kebijakan ini, terjadi eksodus modal (capital outflow) yang cukup besar dari pasar negara-negara berkembang. Kondisi ini juga diperburuk dengan perlambatan China yang selama ini banyak menopang ekonomi negara-negara berkembang. Pada kondisi ini, sejumlah negara berkembang dituntut melakukan restrukturisasi arus modal keluar dan melakukan penataan kembali sumber pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
IMF dan sejumlah pengamat ekonomi global pada April 2014 menyebutkan ancaman risiko inflasi akan kembali mengemuka ketika terjadi kenaikan beberapa harga komoditas pangan dunia. IMF dan para analis menilai harga-harga pasokan barang di sektor pertanian merupakan faktor strategis pada perekonomian di negara-negara berkembang, khususnya negara dengan struktur sektor pertanian yang besar. Sementara itu profil kemiskinan di negara-negara berkembang banyak ditemui pada masyarakat di sektor pertanian.
Hal ini tentu membawa kekhawatiran melonjaknya angka kemiskinan di negara-negara berkembang ketika terjadi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga. Bahkan IMF menilai kenaikan harga komoditas, khususnya pangan tidak hanya memicu risiko inflasi, tetapi juga akan berpotensi memunculkan ketegangan global (termasuk risiko perang). Bagi Indonesia, pengelolaan dan pengendalian inflasi merupakan kebijakan prioritas yang telah ditempuh sepanjang 2004-2014. Hal ini dilakukan mengingat mesin pertumbuhan ekonomi nasional sebagian besar disumbangkan sektor konsumsi.
Artinya dengan mengelola dan mengendalikan laju inflasi, daya beli masyarakat/rumah tangga juga terjaga. Dengan terjaganya daya beli masyarakat, konsumsi akan terus tumbuh dan diharapkan terus menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia termasuk negara yang dipandang berhasil dalam mengelola dan mengendalikan laju inflasi. Hal ini setidaknya dapat terlihat dari kebijakan pengendalian subsidi BBM yang dikhawatirkan dapat memicu lonjakan inflasi.
Untuk menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi pada tahun 2005, 2008 dan 2013. Penyesuaian harga BBM subsidi ini dipandang banyak kalangan akan mendorong lonjakan inflasi dan membawa ekonomi nasional ke risiko yang lebih dalam. Kendati demikian, pemerintah berhasil menepis anggapan tersebut dengan memperkuat koordinasi otoritas fiskal-moneter, pusat-daerah, agar risiko lonjakan inflasi dapat ditekan semaksimal mungkin.
Hasilnya memang ada lonjakan inflasi 3-4 bulan pascapenyesuaian harga, tetapi bersifat temporer dan akan kembali ke titik keseimbangannya. Pengelolaan risiko inflasi dari waktu ke waktu juga menunjukkan peningkatan kualitas pengelolaan di mana inflasi pada penyesuaian harga BBM subsidi 2005 mencapai 17%, 2008 11%, dan 2013 8,3%. Tentunya ini potret perbaikan yang berkesinambungan. Keberhasilan pengendalian inflasi di Indonesia didorong oleh semakin kuatnya koordinasi otoritas fiskal-moneter dan koordinasi pusat-daerah.
Pada kebijakan fiskal, pemerintah terus mendorong perbaikan neraca transaksi berjalan dengan menekan pelebaran defisit, memastikan jaminan pasokan barang/jasa sekaligus stabilisasi harga di tingkat konsumen, khususnya barang/jasa yang diatur pemerintah (administered price). Pemerintah juga mengimbau kepada para pelaku usaha untuk menghindari PHK yang dapat melemahkan daya beli masyarakat.
Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia telah menempuh sejumlah bauran kebijakan moneter, di antaranya menaikkan suku bunga acuan, melakukan operasi moneter ke pasar, dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Untuk kebijakan makroprudensial, bank sentral terus mendorong upaya memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Sementara di bidang sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk pengembangan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien.
Pengelolaan dan pengendalian inflasi nasional juga dikontribusi semakin kuatnya koordinasi pusat-daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi yang telah dibentuk baik secara nasional maupun di tiap daerah. Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 210 Tim Pengendalian Inflasi Daerah (33 provinsi dan 177 kabupaten/kota). Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) ini bertugas mengawasi dan melakukan tindakan antisipatif untuk meredam kenaikan harga-harga, khususnya komoditas pokok seperti pangan.
Koordinasi antara pusat dan daerah ini menjadi sangat strategis mengingat 80% angka inflasi nasional bersumber dari daerah-daerah di luar Jakarta. Selain harga komoditas, TPID ini juga diharapkan dapat memonitor perkembangan tarif angkutan yang memiliki dampak besar bagi peningkatan harga komoditas. Dengan meningkatnya koordinasi antara pusat-daerah, risiko lonjakan inflasi dapat dikendalikan di samping melakukan penguatan kapasitas ekonomi daerah, pembangunan infrastruktur daerah, reformasi birokrasi dan sejumlah hal yang dapat mereduksi ekonomi biaya tinggi.
Pada periode 2014-2019, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan dengan muatan ketidakpastian yang tinggi khususnya terkait dengan perubahan cuaca ekstrem dan terganggunya pasokan barang/ jasa akibat ketegangan global. Menjelang Pilpres 9 Juli 2014, ekonomi nasional diperhadapkan pada risiko inflasi musiman memasuki masa tahun ajaran baru, bulan puasa, dan Lebaran. Pengamanan jalur-jalur distribusi beserta infrastruktur yang melekat di dalamnya perlu untuk segera dipersiapkan dalam beberapa waktu ke depan di samping ketersediaan pasokan yang memadai.
Hal ini tentu tidak hanya bersifat short-term mengingat tahun depan Indonesia juga akan menghadapi pasar bebas ASEAN. Dengan demikian, pekerjaan perdana bagi presiden terpilih nantinya adalah mengelola dan mengendalikan risiko inflasi sebagai faktor yang berdampak besar bagi pertumbuhan konsumsi sekaligus pertumbuhan nasional di tengah tekanan lonjakan harga komoditas (eksternal) dan ketersediaan pasokan serta infrastruktur distribusinya (internal).
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
(hyk)