PAUD dan Kekerasan Seksual
A
A
A
MENANGGAPI tulisan Hanny Muchtar berjudul “Anak dan Kekerasan Seksual”, di harian ini Sabtu, 17 Mei 2014, perlindungan atas keamanan anak dari kekerasan seksual juga harus diberikan oleh sekolah.
Karena sekolah, apalagi di tengah era makin banyaknya orang tua khususnya ibu bekerja, menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Meski peran keluarga adalah utama, sekolah— terutama lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD)—juga berfungsi menanamkan dan membangun karakter mulia pada anak didik. Namun, berita mengenai beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan PAUD membuat kita miris.
Terkait dengan kekerasan seksual, Kementerian Sosial, Jumat (16/5/2014) lalu, merilis hasil survei tindakan terhadap anak-anak yang hasilnya mengejutkan. Dalam 12 bulan terakhir, 1,5 juta anak usia 13–17 tahun mengalami kekerasan seksual. Dikatakan bahwa mayoritas tersebut dilakukan orang-orang terdekat. Sebagian besar lokasi itu adalah sekolah dan rumah.
Lingkaran Setan Kekerasan Seksual
Ibarat sebuah lingkaran, penyebab terjadinya kekerasan seksual saling berkaitan. Berasal dari rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat termasuk media massa dan teknologi informasi. Pertama, kurangnya pembiasaan ajaran agama dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari anak, terutama yang terkait dengan bagaimana menjaga dan mengontrol bagian tubuhnya yang pribadi.
Baik oleh keluarga maupun institusi pendidikan. Penyampaian mengenai norma ini sering berbentuk lisan, namun penerjemahannya dalam kebiasaan sehari- hari di rumah maupun di sekolah masih kurang. Kedua, perilaku yang cenderung mengabaikan potensi pelecehan seksual.
Hal ini terjadi karena pembatasan atas “kontak fisik yang tidak boleh” masih samar-samar. Ketiga, kurangnya filter atas tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan destruktif lainnya di media massa yang makin deras. Ditayangkan oleh media, tanpa mempertimbangkan waktu yang pas.
Ditonton oleh masyarakat (termasuk anak-anak), namun kurang filter pemahaman. Demikian pula dengan penyalahgunaan atas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Keempat, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak bisa memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, denganhukumanantara 3 sampai 10 tahun penjara.
Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara. Padahal, kekerasan seksual pada anak efek traumatiknya panjang, bahkan terapi pemulihannya bisa memakan waktu hingga 18 tahun lamanya. Belum lagi dampak psikologis dan fisik yang luar biasa menggerogoti kepribadian anak.
PAUD dan Pembangunan Karakter
Tujuan mulia lembaga PAUD sebagai institusi pembangun karakter hendaknya tidak berhenti sebagai jargon. Implementasi berupa pembiasaan karakter mulia dalam pembelajaran sehari-hari menjadi keharusan. Demikian juga dengan penciptaan atmosfer dan lingkungan belajar yang kondusif. Terkait hal ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 58 Tahun 2009 mengenai Standar PAUD mengamanatkan agar lembaga PAUD memenuhi delapan standar.
Standar tingkat pencapaian perkembangan anak, pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, proses dan penilaian pembelajaran, sarana-prasarana, pengelolaan dan pembiayaan pendidikan.
Standar PAUD bertujuan agar lembaga PAUD terus menerus berupaya memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan tumbuh-kembang anak. Terkait dengan isu lembaga PAUD yang aman, baik dari tindak kekerasan fisik, emosional, maupun seksual, telah juga termaktub dalam Permendiknas tersebut.
Dimandatkan agar tenaga pendidik (guru) PAUD secara pribadi memiliki rasa sayang, tulus, sabar dan kepekaan dalam mendidik anak didiknya. Jika ada anak didik ataupun kondisi yang potensial menjadi pemicu kekerasan seksual, guru mestinya responsif dan melakukan langkah-langkah antisipatif atau korektif.
Menanggapi makin tingginya angka kekerasan di sekolah, saat ini satuan kerja yang menangani PAUD di Kemendikbud yakni Direktorat Pembinaan PAUD, tengah menggodok pedoman mengenai implementasi keamanan dan keselamatan di lembaga PAUD.
Menjamurnya lembaga PAUD saat ini menjadi tantangan terbesar Kemendikbud untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Upaya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh pengawas PAUD dinilai masih kurang efektif.
Sebagaimana banyak dikeluhkan oleh lembaga-lembaga PAUD, pengawas masih banyak yang berkutat pada pengelolaan administrasi. Meski hal tersebut juga penting, pengawasan akademik seperti pembelajaran, sarana dan prasarana, serta lingkungan PAUD yang kondusif (dan aman) mestinya simultan diawasi dan dibina.
Hal ini tidak lepas dari minimnya pengawas PAUD yang secara khusus bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD. Mengapa? Karena masih banyak pengawas yang bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD sekaligus juga sekolah dasar. Padahal, lembaga PAUD dan SD jelas berbeda karakternya baik aspek manajerial maupun akademik.
Demikian juga dengan rasio pengawas dan lembaga PAUD masih jauh dari ideal. Idealnya, menurut Permenpan dan RB Nomor 21 Tahun 2010 yang mengatur tugas dan fungsi pengawas sekolah, satu pengawas bertugas di 10 lembaga PAUD. Namun faktanya, satu pengawas bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD sekurangnya satu kecamatan. Padahal, saat ini satu kecamatan ada yang memiliki 43 lembaga PAUD.
Upaya Kreatif
Dibutuhkan upaya-upaya kreatif di tengah besarnya tantangan ini. Pembinaan dan pengawasan internal lembaga PAUD mutlak dilakukan lebih serius, sehingga hak anak didik atas pendidikan yang berkualitas dan lingkungan yang aman terpenuhi.
Selain itu, pembinaan lembaga PAUD melalui forum gugus PAUD juga harus dioptimalkan. Dalam gugus PAUD— forum sharing 3 hingga 8 lembaga PAUD yang lokasinya berdekatan—lembaga PAUD bisa saling belajar meningkatkan layanan dan program pendidikannya.
Orang tua, baik secara individu maupun, melalui komite sekolah juga memainkan peran yang strategis dalam pengawasan program PAUD. Sinergi peran ini penting mengingat maju mundurnya lembaga PAUD tidak hanya bertumpu pada peran pemerintah.
SRI LESTARI YUNIARTI
Staf di Subdit Kelembagaan dan Kemitraan, Direktorat Pembinaan PAUD, Ditjen PAUDNI Kemendikbud; Alumnus Master Program in Educational Leadership, University of Wollongong, Australia
Karena sekolah, apalagi di tengah era makin banyaknya orang tua khususnya ibu bekerja, menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Meski peran keluarga adalah utama, sekolah— terutama lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD)—juga berfungsi menanamkan dan membangun karakter mulia pada anak didik. Namun, berita mengenai beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan PAUD membuat kita miris.
Terkait dengan kekerasan seksual, Kementerian Sosial, Jumat (16/5/2014) lalu, merilis hasil survei tindakan terhadap anak-anak yang hasilnya mengejutkan. Dalam 12 bulan terakhir, 1,5 juta anak usia 13–17 tahun mengalami kekerasan seksual. Dikatakan bahwa mayoritas tersebut dilakukan orang-orang terdekat. Sebagian besar lokasi itu adalah sekolah dan rumah.
Lingkaran Setan Kekerasan Seksual
Ibarat sebuah lingkaran, penyebab terjadinya kekerasan seksual saling berkaitan. Berasal dari rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat termasuk media massa dan teknologi informasi. Pertama, kurangnya pembiasaan ajaran agama dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari anak, terutama yang terkait dengan bagaimana menjaga dan mengontrol bagian tubuhnya yang pribadi.
Baik oleh keluarga maupun institusi pendidikan. Penyampaian mengenai norma ini sering berbentuk lisan, namun penerjemahannya dalam kebiasaan sehari- hari di rumah maupun di sekolah masih kurang. Kedua, perilaku yang cenderung mengabaikan potensi pelecehan seksual.
Hal ini terjadi karena pembatasan atas “kontak fisik yang tidak boleh” masih samar-samar. Ketiga, kurangnya filter atas tayangan sadisme, kekerasan, pornografi, dan berbagai jenis tayangan destruktif lainnya di media massa yang makin deras. Ditayangkan oleh media, tanpa mempertimbangkan waktu yang pas.
Ditonton oleh masyarakat (termasuk anak-anak), namun kurang filter pemahaman. Demikian pula dengan penyalahgunaan atas perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Keempat, hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak bisa memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang PerlindunganAnak, denganhukumanantara 3 sampai 10 tahun penjara.
Sementara dalam KUHP, tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara. Padahal, kekerasan seksual pada anak efek traumatiknya panjang, bahkan terapi pemulihannya bisa memakan waktu hingga 18 tahun lamanya. Belum lagi dampak psikologis dan fisik yang luar biasa menggerogoti kepribadian anak.
PAUD dan Pembangunan Karakter
Tujuan mulia lembaga PAUD sebagai institusi pembangun karakter hendaknya tidak berhenti sebagai jargon. Implementasi berupa pembiasaan karakter mulia dalam pembelajaran sehari-hari menjadi keharusan. Demikian juga dengan penciptaan atmosfer dan lingkungan belajar yang kondusif. Terkait hal ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 58 Tahun 2009 mengenai Standar PAUD mengamanatkan agar lembaga PAUD memenuhi delapan standar.
Standar tingkat pencapaian perkembangan anak, pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, proses dan penilaian pembelajaran, sarana-prasarana, pengelolaan dan pembiayaan pendidikan.
Standar PAUD bertujuan agar lembaga PAUD terus menerus berupaya memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan tumbuh-kembang anak. Terkait dengan isu lembaga PAUD yang aman, baik dari tindak kekerasan fisik, emosional, maupun seksual, telah juga termaktub dalam Permendiknas tersebut.
Dimandatkan agar tenaga pendidik (guru) PAUD secara pribadi memiliki rasa sayang, tulus, sabar dan kepekaan dalam mendidik anak didiknya. Jika ada anak didik ataupun kondisi yang potensial menjadi pemicu kekerasan seksual, guru mestinya responsif dan melakukan langkah-langkah antisipatif atau korektif.
Menanggapi makin tingginya angka kekerasan di sekolah, saat ini satuan kerja yang menangani PAUD di Kemendikbud yakni Direktorat Pembinaan PAUD, tengah menggodok pedoman mengenai implementasi keamanan dan keselamatan di lembaga PAUD.
Menjamurnya lembaga PAUD saat ini menjadi tantangan terbesar Kemendikbud untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Upaya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh pengawas PAUD dinilai masih kurang efektif.
Sebagaimana banyak dikeluhkan oleh lembaga-lembaga PAUD, pengawas masih banyak yang berkutat pada pengelolaan administrasi. Meski hal tersebut juga penting, pengawasan akademik seperti pembelajaran, sarana dan prasarana, serta lingkungan PAUD yang kondusif (dan aman) mestinya simultan diawasi dan dibina.
Hal ini tidak lepas dari minimnya pengawas PAUD yang secara khusus bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD. Mengapa? Karena masih banyak pengawas yang bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD sekaligus juga sekolah dasar. Padahal, lembaga PAUD dan SD jelas berbeda karakternya baik aspek manajerial maupun akademik.
Demikian juga dengan rasio pengawas dan lembaga PAUD masih jauh dari ideal. Idealnya, menurut Permenpan dan RB Nomor 21 Tahun 2010 yang mengatur tugas dan fungsi pengawas sekolah, satu pengawas bertugas di 10 lembaga PAUD. Namun faktanya, satu pengawas bertugas membina dan mengawasi lembaga PAUD sekurangnya satu kecamatan. Padahal, saat ini satu kecamatan ada yang memiliki 43 lembaga PAUD.
Upaya Kreatif
Dibutuhkan upaya-upaya kreatif di tengah besarnya tantangan ini. Pembinaan dan pengawasan internal lembaga PAUD mutlak dilakukan lebih serius, sehingga hak anak didik atas pendidikan yang berkualitas dan lingkungan yang aman terpenuhi.
Selain itu, pembinaan lembaga PAUD melalui forum gugus PAUD juga harus dioptimalkan. Dalam gugus PAUD— forum sharing 3 hingga 8 lembaga PAUD yang lokasinya berdekatan—lembaga PAUD bisa saling belajar meningkatkan layanan dan program pendidikannya.
Orang tua, baik secara individu maupun, melalui komite sekolah juga memainkan peran yang strategis dalam pengawasan program PAUD. Sinergi peran ini penting mengingat maju mundurnya lembaga PAUD tidak hanya bertumpu pada peran pemerintah.
SRI LESTARI YUNIARTI
Staf di Subdit Kelembagaan dan Kemitraan, Direktorat Pembinaan PAUD, Ditjen PAUDNI Kemendikbud; Alumnus Master Program in Educational Leadership, University of Wollongong, Australia
(nfl)