Koalisi Capres, Antara Politik Gagasan dan Transaksional
A
A
A
SETELAH Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil perolehan suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 pada Jumat 9 Mei lalu, di Gedung KPU, Jakarta Pusat, hiruk pikuk politik makin terarah pada dinamika koalisi partai politik berkaitan dengan pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden.
Berdasarkan perolehan suara dan bergeraknya dinamika koaliasi, serta jika Golkar bersama Partai Demokrat melakukan terobosan politik, kemungkinan akan ada tiga pasang calon Presiden dan wakil presiden yang akan berlaga pada pemilu Presiden Juli mendatang.
Kemungkinan tiga pasang capres-cawapres tersebut adalah Jokowi-Ryamizard Ryachudu, Prabowo-Hatta Rajasa, dan capres-cawapres dari koalisi Golkar, Partai Demokrat dan Partai Hanura. Pola pasangan capres-cawapres akan mengikuti kecenderungan sosiologis politik Indonesia yang masih memilih presiden dan wakil presiden dengan kombinasi sipil dan purnawirawan militer. Meski analisis ini klasik, tetapi fakta sosiologis politik Indonesia masih menggambarkan fenomena politik tersebut.
Koalisi yang sudah terbaca adalah koalisi PDIP (18,95 persen), bersama Partai Nasdem ((6,72 persen) dan Partai Kebangkitan Bangsa (9,04 persen). Ketiga partai ini mendukung Jokowi sebagai capres. Jika perolehan suara tiga partai tersebut digabungkan maka koalisi ini total suaranya mencapai 34,71 persen.
Meski jumlah suara partai koalisi tidak signifikan untuk menjadi ukuran memperoleh kemenangan pemilihan presiden tetapi jumlah tersebut menggambarkan kekuatan politik koalisi capres yang cukup kuat untuk memenangkan pemilu presiden Juli mendatang.
Sementara partai-partai yang berkoalisi mendukung pencapresan Prabowo adalah Partai Gerindra (11,81 persen), Partai Amanat Nasional (7,59 persen), Partai Keadilan Sejahtera (6,79 persen) dan Partai Persatuan Pembangunan (6,53 persen). Jika perolehan suara empat partai tersebut digabungkan maka koalisi ini total suaranya mencapai 32.72 persen.
Meski total gabungan suara koalisi Prabowo ini masih kalah oleh koalisi Jokowi, peluang menang tipis dari Jokowi ada pada Prabowo karena pemilihan Presiden faktor ketokohan sang calon Presiden jauh lebih punya pengaruh dibanding jumlah perolehan suara partai koalisi. Hal ini pernah terjadi pada pemilu presiden tahun 2004 ketika pemilu presiden dimenangkan pasangan SBY-JK meski partai SBY hanya memperoleh suara 7,45 persen.
Jika Partai Golkar (14,75 persen), Partai Demokrat (10,19 persen) dan Partai Hanura (5,26 persen) melakukan koalisi maka tiga partai ini jika digabung perolehan suaranya mencapai 30.2 persen. Angka yang juga cukup signifikan untuk memenangkan pemilu presiden Juli mendatang. Koalisi ini hanya mungkin menang jika berani keluar dari zona jeratan capres yang sudah ada. Koalisi ini harus berani keluar dari jeratan itu.
Penulis menduga jika koalisi ini berani menampilkan tokoh muda yang memiliki integritas dan memiliki visi kebangsaan yang kuat, ada kemungkinan pasangan capres-cawapres dari koalisi ini memenangkan pertarungan. Dengan mencermati kemungkinan tiga pasangan capres-cawapres yang sama sama kuat secara dukungan koalisi partai politik tersebut, maka penulis menduga bahwa pemilu presiden 2014 akan terjadi dua putaran.
Antara Koalisi Gagasan dan Koalisi Transaksional
Di balik dinamika koalisi capres-cawapres sebagaimana dikemukakan di atas penulis mencermati ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar koalisi yang dibangun oleh para calon presiden tersebut, yaitu tentang substansi dari koalisi apakah koalisi gagasan atau koalisi transaksional yang terjadi saat ini.
Mencermati pola koalisi 2004 dan 2009 pada masa rezim SBY nampak lebih dominan menggambarkan koalisi transaksional sehingga praktis membuat pemerintahan tidak bekerja efektif untuk mencapai tujuan bersama. Kini menjelang pemilu presiden 2014 juli mendatang gonjang-ganjing koalisi juga nampaknya akan terjadi dengan pola yang sama karena tidak ada satupun partai politik yang memperoleh suara dominan melebihi 35 persen.
Jokowi mencoba mengganti istilah koalisi dengan istilah kerja sama untuk memperkuat sistim presidensial tetapi nampaknya Jokowi tidak memahami bahwa sistim presidensial itu akan kuat jika ada perolehan suara partai yang dominan dan tentu dengan sistim multi partai yang sederhana.
Sesungguhnya sepanjang sistim politik yang dipraktekan adalah sistim liberalistik dengan sistim pemilu proporsional dengan daftar terbuka serta sistim kepartaian yang multi partai tidak sederhana, maka sepanjang itulah tidak akan pernah melahirkan pemerintahan sistim presidensial yang efektif.
Dengan perspektif tersebut gagasan Jokowi untuk membangun kerjasama memperkuat sistim presidensial adalah gagasan yang berbenturan dengan tembok besar sistim politik liberalistik yang makin liar ini. Dengan demikian koalisi gagasan yang diusung Jokowi pada detik-detik teralhir pemilu presiden nanti pada akhirnya akan bergeser pada pola koalisi transaksional.
Nampaknya cara calon presiden melakukan komunikasi politik di hadapan publik tentang pola koalisi mereka semuanya sama baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo mencoba untuk menolak pola koalisi transaksional. Partai-partai yang melakukan koalisi juga kalimatnya seragam yaitu mereka tidak melakukan koalisi transaksional, tidak berorientasi pada bagi bagi kekuasaan.
Penulis mencermati bahwa komunikasi politik yang mereka lakukan dengan mengatakan tidak melakukan koalisi transaksional sesungguhnya tidaklah menggambarkan politik yang sebenarnya. Namun demikian fenomena ini jauh lebih maju dibanding model koalisi pada 2004 maupun 2009.
Sayangnya komunikasi politik penolakan mereka pada pola koalisi transaksional ternyata tidak dibarengi dengan munculnya gagasan gagasan besar bersama tentang masa depan Indonesia jika mereka berkuasa. Misalnya bagaimana mereka merancang eknomi-politik Indonesia lima tahun mendatang, bagaimana mereka merancang arah peningkatan kualitas SDM Indonesia mendatang, bagaimana mereka merancang pembangaunan sosial budaya Indonesia mendatang, bagaimana mereka menegakan hukum, dll.
Sampai disini penulis menilai dinamika koalisi yang saat ini sedang terjadi adalah koalisi minus gagasan-gagasan besar masa depan Indonesia. Gagasan mereka masih abstrak. Jika fenomena koalisi minus gagasan ini terjadi sampai pemilu presiden berlangsung, maka ini bencana besar bagi arah bangsa Indonesia mendatang, rakyat memilih tanpa tahu negeri ini mau dibawa kemana?
Ubedilah Badrun
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta & Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia)
Berdasarkan perolehan suara dan bergeraknya dinamika koaliasi, serta jika Golkar bersama Partai Demokrat melakukan terobosan politik, kemungkinan akan ada tiga pasang calon Presiden dan wakil presiden yang akan berlaga pada pemilu Presiden Juli mendatang.
Kemungkinan tiga pasang capres-cawapres tersebut adalah Jokowi-Ryamizard Ryachudu, Prabowo-Hatta Rajasa, dan capres-cawapres dari koalisi Golkar, Partai Demokrat dan Partai Hanura. Pola pasangan capres-cawapres akan mengikuti kecenderungan sosiologis politik Indonesia yang masih memilih presiden dan wakil presiden dengan kombinasi sipil dan purnawirawan militer. Meski analisis ini klasik, tetapi fakta sosiologis politik Indonesia masih menggambarkan fenomena politik tersebut.
Koalisi yang sudah terbaca adalah koalisi PDIP (18,95 persen), bersama Partai Nasdem ((6,72 persen) dan Partai Kebangkitan Bangsa (9,04 persen). Ketiga partai ini mendukung Jokowi sebagai capres. Jika perolehan suara tiga partai tersebut digabungkan maka koalisi ini total suaranya mencapai 34,71 persen.
Meski jumlah suara partai koalisi tidak signifikan untuk menjadi ukuran memperoleh kemenangan pemilihan presiden tetapi jumlah tersebut menggambarkan kekuatan politik koalisi capres yang cukup kuat untuk memenangkan pemilu presiden Juli mendatang.
Sementara partai-partai yang berkoalisi mendukung pencapresan Prabowo adalah Partai Gerindra (11,81 persen), Partai Amanat Nasional (7,59 persen), Partai Keadilan Sejahtera (6,79 persen) dan Partai Persatuan Pembangunan (6,53 persen). Jika perolehan suara empat partai tersebut digabungkan maka koalisi ini total suaranya mencapai 32.72 persen.
Meski total gabungan suara koalisi Prabowo ini masih kalah oleh koalisi Jokowi, peluang menang tipis dari Jokowi ada pada Prabowo karena pemilihan Presiden faktor ketokohan sang calon Presiden jauh lebih punya pengaruh dibanding jumlah perolehan suara partai koalisi. Hal ini pernah terjadi pada pemilu presiden tahun 2004 ketika pemilu presiden dimenangkan pasangan SBY-JK meski partai SBY hanya memperoleh suara 7,45 persen.
Jika Partai Golkar (14,75 persen), Partai Demokrat (10,19 persen) dan Partai Hanura (5,26 persen) melakukan koalisi maka tiga partai ini jika digabung perolehan suaranya mencapai 30.2 persen. Angka yang juga cukup signifikan untuk memenangkan pemilu presiden Juli mendatang. Koalisi ini hanya mungkin menang jika berani keluar dari zona jeratan capres yang sudah ada. Koalisi ini harus berani keluar dari jeratan itu.
Penulis menduga jika koalisi ini berani menampilkan tokoh muda yang memiliki integritas dan memiliki visi kebangsaan yang kuat, ada kemungkinan pasangan capres-cawapres dari koalisi ini memenangkan pertarungan. Dengan mencermati kemungkinan tiga pasangan capres-cawapres yang sama sama kuat secara dukungan koalisi partai politik tersebut, maka penulis menduga bahwa pemilu presiden 2014 akan terjadi dua putaran.
Antara Koalisi Gagasan dan Koalisi Transaksional
Di balik dinamika koalisi capres-cawapres sebagaimana dikemukakan di atas penulis mencermati ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar koalisi yang dibangun oleh para calon presiden tersebut, yaitu tentang substansi dari koalisi apakah koalisi gagasan atau koalisi transaksional yang terjadi saat ini.
Mencermati pola koalisi 2004 dan 2009 pada masa rezim SBY nampak lebih dominan menggambarkan koalisi transaksional sehingga praktis membuat pemerintahan tidak bekerja efektif untuk mencapai tujuan bersama. Kini menjelang pemilu presiden 2014 juli mendatang gonjang-ganjing koalisi juga nampaknya akan terjadi dengan pola yang sama karena tidak ada satupun partai politik yang memperoleh suara dominan melebihi 35 persen.
Jokowi mencoba mengganti istilah koalisi dengan istilah kerja sama untuk memperkuat sistim presidensial tetapi nampaknya Jokowi tidak memahami bahwa sistim presidensial itu akan kuat jika ada perolehan suara partai yang dominan dan tentu dengan sistim multi partai yang sederhana.
Sesungguhnya sepanjang sistim politik yang dipraktekan adalah sistim liberalistik dengan sistim pemilu proporsional dengan daftar terbuka serta sistim kepartaian yang multi partai tidak sederhana, maka sepanjang itulah tidak akan pernah melahirkan pemerintahan sistim presidensial yang efektif.
Dengan perspektif tersebut gagasan Jokowi untuk membangun kerjasama memperkuat sistim presidensial adalah gagasan yang berbenturan dengan tembok besar sistim politik liberalistik yang makin liar ini. Dengan demikian koalisi gagasan yang diusung Jokowi pada detik-detik teralhir pemilu presiden nanti pada akhirnya akan bergeser pada pola koalisi transaksional.
Nampaknya cara calon presiden melakukan komunikasi politik di hadapan publik tentang pola koalisi mereka semuanya sama baik kubu Jokowi maupun kubu Prabowo mencoba untuk menolak pola koalisi transaksional. Partai-partai yang melakukan koalisi juga kalimatnya seragam yaitu mereka tidak melakukan koalisi transaksional, tidak berorientasi pada bagi bagi kekuasaan.
Penulis mencermati bahwa komunikasi politik yang mereka lakukan dengan mengatakan tidak melakukan koalisi transaksional sesungguhnya tidaklah menggambarkan politik yang sebenarnya. Namun demikian fenomena ini jauh lebih maju dibanding model koalisi pada 2004 maupun 2009.
Sayangnya komunikasi politik penolakan mereka pada pola koalisi transaksional ternyata tidak dibarengi dengan munculnya gagasan gagasan besar bersama tentang masa depan Indonesia jika mereka berkuasa. Misalnya bagaimana mereka merancang eknomi-politik Indonesia lima tahun mendatang, bagaimana mereka merancang arah peningkatan kualitas SDM Indonesia mendatang, bagaimana mereka merancang pembangaunan sosial budaya Indonesia mendatang, bagaimana mereka menegakan hukum, dll.
Sampai disini penulis menilai dinamika koalisi yang saat ini sedang terjadi adalah koalisi minus gagasan-gagasan besar masa depan Indonesia. Gagasan mereka masih abstrak. Jika fenomena koalisi minus gagasan ini terjadi sampai pemilu presiden berlangsung, maka ini bencana besar bagi arah bangsa Indonesia mendatang, rakyat memilih tanpa tahu negeri ini mau dibawa kemana?
Ubedilah Badrun
Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta & Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia (Puspol Indonesia)
(kri)