Gunung kembar

Minggu, 18 Mei 2014 - 20:00 WIB
Gunung kembar
Gunung kembar
A A A
SEJAK beberapa tahun terakhir, Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia Jakarta (biasa dikenal dengan singkatan UPI YAI), tempat saya bekerja selepas pensiun sebagai PNS, mengundang seorang psikolog bangsa Prancis Dr Roseline Davido untuk mengembangkan, meneliti, dan memublikasikan sebuah tes psikologi baru yang diciptakan Dr Davido sendiri dan diberi nama tes CHaD (Children Hands that Disturb).

Intinya, tes ini adalah tes menggambar. Peserta diminta membuat gambar yang paling sering dilakukannya semasa kecil dan sesudah itu membuat lagi dua gambar tangan. Yang satu tangan yang normal dan yang satu lagi tangan yang mengganggu. Dari hasil tes itu kemudian dianalisis kepribadian orang yang bersangkutan. Saya tidak akan membahas tes ini karena terlalu teknis. Tapi ketika Dr Davido untuk pertama kali (pada tahun 2010) mencobakan tes itu di kalangan dosen-dosen psikologi di UPI YAI dan meminta peserta menggambar yang paling sering digambar semasa kecil, semuanya menggambar ... gunung!!!

Lebih spesifik lagi, gunungnya kembar, terus ada matahari di tengahnya, ada sawah, dan ada yang menambahkan awan, burung, pohon kelapa, jalan atau sungai. Betapa terkejutnya Dr Davido karena selama puluhan tahun beliau mengambil tes ini di seluruh dunia, baru pertama kali ini beliau mengalami pengalaman seperti itu. Awalnya beliau menyangka para dosen itu saling mencontek. Saya sampaikan bahwa itu bukan nyontek, tetapi tipikal gambar orang Indonesia kalau diminta membuat gambar semasa kecil. Beliau tidak percaya begitu saja, tetapi setelah melihat gambar-gambar yang dibuat oleh mahasiswa, siswa-siswa SMA, bahkan narapidana dan mantan teroris, semuanya sama saja menggambar gunung kembar (bahkan saya yakin Anda sendiri pun akan melakukan hal yang sama), barulah beliau percaya.

Pertanyaan berikutnya dari Dr Davido adalah bagaimana bisa orang se-Indonesia menggambar gunung semua? Apa ada hubungannya dengan banyaknya gunung yang meletus akhir-akhir ini? Tidak juga, jawab saya. Itu adalah hasil indoktrinasi dalam pendidikan menggambar sejak saya masih di sekolah dasar (dulu: sekolah rakyat), yang masih berlangsung sampai hari ini.

Guru menggambar selalu mencontohkan di papan tulis gambar gunung kembar, lengkap dengan aksesorinya (matahari dan sawah serta jalan atau sungai). Semua murid pun disuruh meniru gambar itu dan semuanya dapat nilai 8. Bahkan bukan itu saja, kata saya kepada Dr Davido. Cobalah Anda minta mereka menggambar bebek, pasti semua bebek Indonesia menghadap ke kiri karena bebek itu digambar dari angka 2 (dua) yang ditambah dengan paruh, badan, sayap, ekor dan jadilah bebek. Untuk menggambar bebek yang menghadap ke kanan, orang Indonesia akan kesulitan karena tidak ada angka dua yang menghadap ke kanan.

Semua orang Indonesia menggambar gunung kembar! Tidak ada yang menggambar gasing, rumah, adiknya, atau ayam di belakang rumahnya karena yang diajarkan hanya menggambar gunung, jadi tahunya ya hanya menggambar gunung (atau bebek menghadap ke kiri). Itulah gambaran pendidikan formal Indonesia. Hanya disuruh meniru dan mencontoh. Tidak ada peluang untuk berpikir sendiri, untuk kreatif, apalagi mengkritik.

Pada suatu waktu guru bahasa Inggris saya di SMP berhalangan mengajar untuk beberapa lama. Yang menggantikan adalah guru menggambar dan dia mengucapkan “school” dengan pronounciation “syuul”. Kalau ada yang mencoba pronounciation yang benar dimarahi, harus “syuul”, kata bapak guru menggambar. Maka repotlah ibu guru bahasa Inggris, ketika dia sudah mengajar lagi untuk meluruskan kembali pronounciation seluruh murid kelas 1 yang telanjur mengucapkan “syuul” seperti orang bersiul.

Celakanya, kebiasaan untuk mengindoktrinasi murid (dalam bahasa kerennya “peserta didik”) dalam pendidikan formal bukan perbuatan bapak guru menggambar saya saja atau beberapa orang guru saja, melainkan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan di Indonesia. Sistem ujian nasional (UN) adalah contohnya.

Sudah jelas UN ditolak oleh Mahkamah Agung (berkas perkara Nomor Register 2596 K/PDT/2008) dengan alasan pemerintah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN. Tapi pemerintah terus saja melakukannya dengan berbagai argumentasi tandingan. Kalau pemerintah sendiri sudah tidak menaati hukum, jangan heran kalau bangsa ini menjadi kadarkum (kadang sadar, kadang kumat atas hukum)! Maka lihatlah hasil pendidikan kita.

Beberapa siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus UN dan takut dimarahi atau mengecewakan orang tuanya atau malu sama teman-temannya. Sekolah-sekolah menyelenggarakan salat hajat. Diorganisasi oleh para guru dan wajib diikuti seluruh murid kelas III. Orang tuanya pun dihadirkan untuk menerima sungkem dari anak-anak mereka masing-masing. Hasilnya, bukan menenangkan pikiran atau menambah kepercayaan diri, tetapi tetap saja berlangsung pencontekan, tetap saja soal-soal ujian bocor, HP-HP dirampas karena berisi bocoran kunci jawaban, bahkan guru-guru dan petugas UN terlibat.

Berapa pun polisi dikerahkan untuk menjaga kerahasiaan UN, tetap saja terjadi kebocoran karena kebocoran bukan karena amplop soal disobek, segel dicopot atau gembok digergaji, tetapi karena rencana membocorkan sudah melekat di benak beberapa guru dan petugas UN itu sendiri sehingga banyak sekali modus operandi pembocoran yang bisa dilakukan. Tentu saja polisi tidak bisa membedah benak orang yang dicurigai satu per satu.

Audria, cucu saya yang baru saja bergembira seusai UN, mengomel karena mendengar isu bahwa UN akan diulang gara-gara bocor. Dia bilang dengan wajah yang sangat marah, “Mengapa mereka yang salah, kami yang harus menanggung bebannya?” Sama sekali tidak salah keputusan MA bahwa pemerintah telah melanggar HAM Audria dan seluruh siswa kelas III SMP yang sudah dirugikan. Tapi, lebih dahsyat lagi, sistem UN telah mencetak manusia-manusia yang bisanya cuma menggambar gunung kembar.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9555 seconds (0.1#10.140)