Dilema rekonsiliasi Palestina
A
A
A
MUNGKIN ini hanya terjadi di Palestina, rekonsiliasi yang sejatinya menjadi kabar baik justru menjadi dilema. Betapa tidak, rekonsiliasi antara dua faksi terbesar di Palestina (Fatah dan Hamas) justru direspons secara negatif dan keras oleh Israel bahkan juga Amerika Serikat (AS).
Telah dimaklumi, beberapa waktu lalu (23/4), faksi Fatah dan Hamas yang membelah kesatuan Palestina dalam tujuh tahun terakhir mengumumkan kesepakatan rekonsiliasi di Jalur Gaza.
Dalam perkembangan teranyar, pemimpin Hamas, Ismail Haniya diberitakan telah menandatangani perintah pembebasan aktivis Fatah yang ditahan Hamas sebagai langkah awal menuju pembentukan pemerintahan bersatu Palestina (As-Sharq Al- Awsat, 06/05). Namun demikian, Israel justru mengecam otoritas Palestina lantaran menandatangani rekonsiliasi ini.
Bahkan Israel (dan juga AS) mengancam akan menghentikan proses perundingan damai antara Israel dan otoritas Palestina yang telah berlangsung sejak akhir Juli 2013 lalu di bawah prakarsa Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Di wilayah konflik seperti Palestina, rekonsiliasi secara internal dan perundingan damai secara eksternal ibarat dua sisi mata uang.
Keduanya sama-sama dibutuhkan, tidak dapat dipisahkan, dan sejatinya menjadi satu kesatuan. Karena hampir tidak ada gunanya sebuah rekonsiliasi secara internal bila justru memicu perang dengan Israel sebagai pihak luar yang berkonflik. Pun demikian sebaliknya, hampir tidak ada artinya berdamai dengan Israel sebagai pihak luar bila justru berperang dengan pihak-pihak secara internal.
Komitmen damai
Kala perdamaian menjadi dilema, komitmen patut dipertanyakan. Sejauh manakah otoritas Palestina, Israel atau bahkan AS berkomitmen untuk menciptakan perdamaian di antara dua negara tetangga itu? Apalagi, sejauh ini telah berulang kali upaya damai dilakukan oleh banyak pihak.
Terakhir kali perundingan antara Israel dan Palestina dilakukan pada 2010, juga di bawah media AS. Tapi sejumlah upaya yang ada acap kandas di tengah jalan yang tak jarang justru disebabkan oleh ulah Israel seperti provokasi pembangunan perumahan ilegal di tanah sengketa.
Oleh karena itu, sangat dipahami bila Israel kerap mendapatkan sorotan tajam dari banyak pihak. Komitmen damai Israeldianggapjauhlebihrendah dibanding komitmen damai otoritas Palestina.
Dalam konteks rekonsiliasi Fatah-Hamas yang dikecam keras oleh Israel-AS, contohnya, otoritas Palestina masih mencoba menenangkan dua negara sejoli itu: bahwa rekonsiliasi yang ada tidak bertentangan dengan perdamaian (Aljazeera.net, 25/04). Hal ini berbeda dengan sikap Israel dan AS yang acap mendesak otoritas Palestina untuk memilih antara dua; rekonsiliasi dengan Hamas atau berdamai dengan Israel?
Tak ada pilihan lain yang menengahi atau menjembatani keduanya. Seakanakan perdamaian yang dijanjikan Israel dan AS melalui perundingan sudah “dibungkus” dan siap dihantar ke halaman Palestina.
Padahal sampai hari ini, upaya perundingan yang digagas oleh pemerintahan Obama itu tidak mengalami kemajuan. Alih-alih, kerangkanya pun belum jelas. Dan belajar dari perundingan yang lalulalu, bukan tidak mungkin perundingan perdamaian seperti ini berhenti di tengah jalan akibat ulah tertentu, baik dari Israel, Hamas maupun faksifaksi lain.
Ketika perundingan Israel-Palestina berjalan di tempat atau gagal total, justru Israel-lah yang paling diuntungkan. Dikatakan demikian karena kondisi seperti ini membuat Palestina tidak bergerak maju menuju cita-cita kemerdekaannya.
Sementara itu, Israel justru semakin maju dan berkembang melalui aneka kerja sama dengan negara-negara maju, khususnya di bidang persenjataan. Inilah yang oleh kolumnis terkemuka di Timur Tengah, Abdurrahman Arrasyid, disebut dengan istilah politik teman, tapi disiksa (as-syarik al-musthahid) dan musuh, tapi teman (al’aduw al-halif) yang kerap digunakan Israel dalam menghadapi Palestina (As-Sharq Al-Awsat, 25/4).
Fatah atau otoritas Palestina adalah teman yang suka disiksa olehIsrael. Disebutteman, karena Israel hanya mau berkomunikasi dan bernegosiasi dengan faksi ini. Disebut disiksa, karena Israel lebih mempermainkan Fatah daripada benar-benar membantunya (dan rakyat Palestina) untuk mencapai perjuangan mereka.
Sikap Israel mutakhir terkait dengan rekonsiliasi antara Fatah-Hamas bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari politik teman yang disiksa oleh Israel. Hamas tak lain adalah musuh bagi Israel. Bahkan, Hamas telah divonis sebagai kelompok teroris oleh Israel dan AS.
Alasan ini juga yang digunakan oleh Israel dalam menolak rekonsiliasi mutakhir antara Hamas-Fatah. Namun demikian, Israel kerap menggunakan Hamas yang mudah terprovokasi untuk merusak hubungan atau perundingan yang sedang berlangsung antara otoritas Palestina dengan Israel. Ketika Hamas sudah terprovokasi dan satu roket meluncur ke wilayahnya, Israel mempunyai alasan untuk menghentikan sebuah perundingan damai yang sedang berlangsung. Dan begitu seterusnya.
Komitmen rekonsiliasi
Pun demikian, ketika rekonsiliasi menjadi dilema, maka komitmen yang ada patut dipertanyakan. Sejauh manakah Fatah, Hamas, dan faksi-faksi lain berkomitmen untuk mewujudkan rekonsiliasi di internal mereka?
Sejauh mana rekonsiliasi ini diperuntukkan bagi kepentingan segenap rakyat Palestina atau hanya sebagai strategi untuk mengatur permainan politik yang masingmasing dihadapi oleh Fatah dan Hamas saat ini. Telah dimaklumi bersama, dalam beberapa waktu terakhir Fatah dan Hamas acap menghadapi tekanan internal terkait dengan posisi dan kebijakan yang ada.
Di internal Hamas, contohnya, tekanan agar faksi ini melakukan rekonsiliasi terus semakin menguat, khususnya rekonsiliasi dengan Fatah. Secara eksternal, rekonsiliasi bisa menjadi langkah realistis untuk menyesuaikan diri dengan beberapa perkembangan di negara luar yang kurang berpihak kepada Hamas, seperti lengsernya rezim Ikhwan Muslimin di Mesir, perpecahan negara-negara Arab Teluk dan yang lainnya. Dan secara internal, rekonsiliasi ini bisa memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina, khususnya dalam upaya mencapai kemerdekaan negerinya.
Sementara Fatah juga acap menghadapi situasi yang kurang lebih sama secara internal. Hal ini bisa dilihat dari perombakan demi perombakan di jajaran pemerintahan otoritas Palestina akibat ketegangan internal, khususnya ketegangan antara Mahmoud Abbas sebagai Presiden Otoritas Palestina dengan elite-elite faksi Fatah lain seperti Muhammad Dahlan dan mantan Perdana Menteri Palestina, Salam Fayyad. Bahkan, Mahmoud Abbas belakangan kerap didesak untuk mempercepat pemilihan presiden.
Walaupun pengaruhnya tak dapat ditandingi oleh tokohtokoh seperti Salam Fayyad, Muhammad Dahlan ataupun lainnya, namun Mahmoud Abbas tak dapat meremehkan manuver politik tokoh-tokoh seperti di atas dengan semua efek domino yang ditimbulkan, baik di internal Fatah secara khusus ataupun rakyat Palestina secara umum. Apalagi, suasana kebatinan masyarakat Arab dalam beberapa tahun terakhir sangat sensitif terhadap isu-isu berbau skandal yang melibatkan pemerintah (seperti korupsi).
Dalam konteks seperti ini, Abbas membutuhkan “diskursus” politik baru untuk menyegarkan ingatan sekaligus harapan publik, khususnya rakyat Palestina. Hingga mereka tidak terpengaruh oleh manuver politik anti-Abbas seperti digulirkan Dahlan dan elite Palestina lainnya.
Rekonsiliasi mempunyai energi lebih dari cukup untuk meng-cover kepentingankepentingan pragmatis Abbas seperti di atas. Di satu sisi, diskursus ini “sejalan” dengan rencana besar yang sedang diupayakan oleh Abbas, yaitu perdamaian dengan Israel. Sementara di sisi lain, diskursus ini bisa menjawab harapan publik terkait persatuan di internal elite dan faksi Palestina.
Di atas segalanya, para elite Palestina, khususnya Abbas, harus memastikan bahwa rekonsiliasi yang ada seutuhnya untuk kemaslahatan bangsa Palestina, tidak semata-mata untuk kepentingan yang bersifat faksional seperti di atas. Begitu juga dengan upaya perundingan damai bersama Israel. Sejatinya rekonsiliasi adalah kabar baik bagi rakyat Palestina, walaupun dapat reaksi keras dari Israel dan AS.
Sebagaimana perundingan damai adalah kabar baik bagi warga kedua negara, walaupun kerap dirusak oleh kelompok ekstremis di kedua belah pihak. Karena rekonsiliasi adalah hak rakyat Palestina yang selama ini diabaikan oleh para elitenya. Pun demikian, karena perdamaian adalah hak warga kedua negara (Palestina dan Israel) yang acap diabaikan oleh para elite keduanya.
HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
Telah dimaklumi, beberapa waktu lalu (23/4), faksi Fatah dan Hamas yang membelah kesatuan Palestina dalam tujuh tahun terakhir mengumumkan kesepakatan rekonsiliasi di Jalur Gaza.
Dalam perkembangan teranyar, pemimpin Hamas, Ismail Haniya diberitakan telah menandatangani perintah pembebasan aktivis Fatah yang ditahan Hamas sebagai langkah awal menuju pembentukan pemerintahan bersatu Palestina (As-Sharq Al- Awsat, 06/05). Namun demikian, Israel justru mengecam otoritas Palestina lantaran menandatangani rekonsiliasi ini.
Bahkan Israel (dan juga AS) mengancam akan menghentikan proses perundingan damai antara Israel dan otoritas Palestina yang telah berlangsung sejak akhir Juli 2013 lalu di bawah prakarsa Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Di wilayah konflik seperti Palestina, rekonsiliasi secara internal dan perundingan damai secara eksternal ibarat dua sisi mata uang.
Keduanya sama-sama dibutuhkan, tidak dapat dipisahkan, dan sejatinya menjadi satu kesatuan. Karena hampir tidak ada gunanya sebuah rekonsiliasi secara internal bila justru memicu perang dengan Israel sebagai pihak luar yang berkonflik. Pun demikian sebaliknya, hampir tidak ada artinya berdamai dengan Israel sebagai pihak luar bila justru berperang dengan pihak-pihak secara internal.
Komitmen damai
Kala perdamaian menjadi dilema, komitmen patut dipertanyakan. Sejauh manakah otoritas Palestina, Israel atau bahkan AS berkomitmen untuk menciptakan perdamaian di antara dua negara tetangga itu? Apalagi, sejauh ini telah berulang kali upaya damai dilakukan oleh banyak pihak.
Terakhir kali perundingan antara Israel dan Palestina dilakukan pada 2010, juga di bawah media AS. Tapi sejumlah upaya yang ada acap kandas di tengah jalan yang tak jarang justru disebabkan oleh ulah Israel seperti provokasi pembangunan perumahan ilegal di tanah sengketa.
Oleh karena itu, sangat dipahami bila Israel kerap mendapatkan sorotan tajam dari banyak pihak. Komitmen damai Israeldianggapjauhlebihrendah dibanding komitmen damai otoritas Palestina.
Dalam konteks rekonsiliasi Fatah-Hamas yang dikecam keras oleh Israel-AS, contohnya, otoritas Palestina masih mencoba menenangkan dua negara sejoli itu: bahwa rekonsiliasi yang ada tidak bertentangan dengan perdamaian (Aljazeera.net, 25/04). Hal ini berbeda dengan sikap Israel dan AS yang acap mendesak otoritas Palestina untuk memilih antara dua; rekonsiliasi dengan Hamas atau berdamai dengan Israel?
Tak ada pilihan lain yang menengahi atau menjembatani keduanya. Seakanakan perdamaian yang dijanjikan Israel dan AS melalui perundingan sudah “dibungkus” dan siap dihantar ke halaman Palestina.
Padahal sampai hari ini, upaya perundingan yang digagas oleh pemerintahan Obama itu tidak mengalami kemajuan. Alih-alih, kerangkanya pun belum jelas. Dan belajar dari perundingan yang lalulalu, bukan tidak mungkin perundingan perdamaian seperti ini berhenti di tengah jalan akibat ulah tertentu, baik dari Israel, Hamas maupun faksifaksi lain.
Ketika perundingan Israel-Palestina berjalan di tempat atau gagal total, justru Israel-lah yang paling diuntungkan. Dikatakan demikian karena kondisi seperti ini membuat Palestina tidak bergerak maju menuju cita-cita kemerdekaannya.
Sementara itu, Israel justru semakin maju dan berkembang melalui aneka kerja sama dengan negara-negara maju, khususnya di bidang persenjataan. Inilah yang oleh kolumnis terkemuka di Timur Tengah, Abdurrahman Arrasyid, disebut dengan istilah politik teman, tapi disiksa (as-syarik al-musthahid) dan musuh, tapi teman (al’aduw al-halif) yang kerap digunakan Israel dalam menghadapi Palestina (As-Sharq Al-Awsat, 25/4).
Fatah atau otoritas Palestina adalah teman yang suka disiksa olehIsrael. Disebutteman, karena Israel hanya mau berkomunikasi dan bernegosiasi dengan faksi ini. Disebut disiksa, karena Israel lebih mempermainkan Fatah daripada benar-benar membantunya (dan rakyat Palestina) untuk mencapai perjuangan mereka.
Sikap Israel mutakhir terkait dengan rekonsiliasi antara Fatah-Hamas bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari politik teman yang disiksa oleh Israel. Hamas tak lain adalah musuh bagi Israel. Bahkan, Hamas telah divonis sebagai kelompok teroris oleh Israel dan AS.
Alasan ini juga yang digunakan oleh Israel dalam menolak rekonsiliasi mutakhir antara Hamas-Fatah. Namun demikian, Israel kerap menggunakan Hamas yang mudah terprovokasi untuk merusak hubungan atau perundingan yang sedang berlangsung antara otoritas Palestina dengan Israel. Ketika Hamas sudah terprovokasi dan satu roket meluncur ke wilayahnya, Israel mempunyai alasan untuk menghentikan sebuah perundingan damai yang sedang berlangsung. Dan begitu seterusnya.
Komitmen rekonsiliasi
Pun demikian, ketika rekonsiliasi menjadi dilema, maka komitmen yang ada patut dipertanyakan. Sejauh manakah Fatah, Hamas, dan faksi-faksi lain berkomitmen untuk mewujudkan rekonsiliasi di internal mereka?
Sejauh mana rekonsiliasi ini diperuntukkan bagi kepentingan segenap rakyat Palestina atau hanya sebagai strategi untuk mengatur permainan politik yang masingmasing dihadapi oleh Fatah dan Hamas saat ini. Telah dimaklumi bersama, dalam beberapa waktu terakhir Fatah dan Hamas acap menghadapi tekanan internal terkait dengan posisi dan kebijakan yang ada.
Di internal Hamas, contohnya, tekanan agar faksi ini melakukan rekonsiliasi terus semakin menguat, khususnya rekonsiliasi dengan Fatah. Secara eksternal, rekonsiliasi bisa menjadi langkah realistis untuk menyesuaikan diri dengan beberapa perkembangan di negara luar yang kurang berpihak kepada Hamas, seperti lengsernya rezim Ikhwan Muslimin di Mesir, perpecahan negara-negara Arab Teluk dan yang lainnya. Dan secara internal, rekonsiliasi ini bisa memberikan harapan baru bagi rakyat Palestina, khususnya dalam upaya mencapai kemerdekaan negerinya.
Sementara Fatah juga acap menghadapi situasi yang kurang lebih sama secara internal. Hal ini bisa dilihat dari perombakan demi perombakan di jajaran pemerintahan otoritas Palestina akibat ketegangan internal, khususnya ketegangan antara Mahmoud Abbas sebagai Presiden Otoritas Palestina dengan elite-elite faksi Fatah lain seperti Muhammad Dahlan dan mantan Perdana Menteri Palestina, Salam Fayyad. Bahkan, Mahmoud Abbas belakangan kerap didesak untuk mempercepat pemilihan presiden.
Walaupun pengaruhnya tak dapat ditandingi oleh tokohtokoh seperti Salam Fayyad, Muhammad Dahlan ataupun lainnya, namun Mahmoud Abbas tak dapat meremehkan manuver politik tokoh-tokoh seperti di atas dengan semua efek domino yang ditimbulkan, baik di internal Fatah secara khusus ataupun rakyat Palestina secara umum. Apalagi, suasana kebatinan masyarakat Arab dalam beberapa tahun terakhir sangat sensitif terhadap isu-isu berbau skandal yang melibatkan pemerintah (seperti korupsi).
Dalam konteks seperti ini, Abbas membutuhkan “diskursus” politik baru untuk menyegarkan ingatan sekaligus harapan publik, khususnya rakyat Palestina. Hingga mereka tidak terpengaruh oleh manuver politik anti-Abbas seperti digulirkan Dahlan dan elite Palestina lainnya.
Rekonsiliasi mempunyai energi lebih dari cukup untuk meng-cover kepentingankepentingan pragmatis Abbas seperti di atas. Di satu sisi, diskursus ini “sejalan” dengan rencana besar yang sedang diupayakan oleh Abbas, yaitu perdamaian dengan Israel. Sementara di sisi lain, diskursus ini bisa menjawab harapan publik terkait persatuan di internal elite dan faksi Palestina.
Di atas segalanya, para elite Palestina, khususnya Abbas, harus memastikan bahwa rekonsiliasi yang ada seutuhnya untuk kemaslahatan bangsa Palestina, tidak semata-mata untuk kepentingan yang bersifat faksional seperti di atas. Begitu juga dengan upaya perundingan damai bersama Israel. Sejatinya rekonsiliasi adalah kabar baik bagi rakyat Palestina, walaupun dapat reaksi keras dari Israel dan AS.
Sebagaimana perundingan damai adalah kabar baik bagi warga kedua negara, walaupun kerap dirusak oleh kelompok ekstremis di kedua belah pihak. Karena rekonsiliasi adalah hak rakyat Palestina yang selama ini diabaikan oleh para elitenya. Pun demikian, karena perdamaian adalah hak warga kedua negara (Palestina dan Israel) yang acap diabaikan oleh para elite keduanya.
HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
(nfl)