Melacak akar kekerasan seksual terhadap anak

Selasa, 13 Mei 2014 - 11:43 WIB
Melacak akar kekerasan seksual terhadap anak
Melacak akar kekerasan seksual terhadap anak
A A A
SEJUMLAH kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang kian marak merupakan fenomena memilukan yang menghentak kesadaran sosial akan pentingnya penciptaan kesehatan jiwa di lingkungan masyarakat.

Belum lekang dari ingatan kita kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh petugas kebersihan sekolah dan guru terhadap murid Taman Kanak-Kanak (TK) Jakarta International School (JIS) (15/4), masyarakat sudah dikagetkan kembali oleh kasus kekerasan seksual lainnya yang melibatkan anak sebagai korban.

Sebut saja tindakan kekerasan seksual oleh Emon di Sukabumi (3/5) yang mengorbankan lebih dari 100 anak di bawah umur dan kasus sodomi terhadap lima anak di Pagaralam, Sumatera Selatan (6/5).

Meskipun alasan terjadinya tindak kekerasan seksual bervariasi, setidaknya terdapat dua penyebab utama yang dapat memicu seseorang melakukan tindak pelecehan seksual kepada anak di bawah umur dilihat dari sudut pandang teori perkembangan manusia (human development). Faktor utama yang dipercaya sebagai pemicu seseorang berperilaku seks menyimpang dengan melibatkan anak sebagai korbannya adalah faktor trauma yang berkepanjangan.

Pengalaman anak mendapatkan kekerasan seksual di awal usia perkembangannya, baik dari lingkungan keluarga maupun dari orang lain di lingkungan tempat tinggalnya memiliki pengaruh yang signifikan dalam memicu anak tersebut untuk melakukan hal serupa yang sebelumnya dialaminya ketika ia beranjak dewasa.

Efek trauma yang dialami anak sejak usia dini akibat perlakuan tidak menyenangkan dapat memunculkan perilaku kekerasan dan tindak amoral terhadap orang lain sebagai bentuk tindakan perlawanan jiwa anak tersebut.

Efek trauma yang melekat di dalam jiwa sang anak tersebut sebagai akibat dari ketidakmampuan anak dalam melakukan perlawanan terhadap pihak yang telah melakukan tindakan kekerasan terhadapnya. Efek trauma yang tertanam pada jiwa sang anak tersebut akan berkembang menjadi luapan emosi jiwa atau bahkan dapat tumbuh menjadi penyakit psikologis saat anak tersebut berkembang menjadi individu dewasa.

Sebagai dampak adanya trauma tersebut, penelitian menunjukkan bahwa 35% lakilaki pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah mereka yang pernah mendapatkan kekerasan seksual di usia kanakkanaknya (Lee, 2002).

Selain itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa individu yang pernah mengalami kekerasan seksual di usia awal pertumbuhannya akan berkembang menjadi dewasa dengan gangguan paedophilia (Dhawan & Marshall, 1996). Pada umumnya luapan emosi jiwa sang anak korban kekerasan seksual akan terekspresi ketika ia tumbuh menjadi individu dewasa. Ekspresi kemarahan yang tecermin dari perilaku kekerasan serupa kepada anak di bawah umur merupakan eksternalisasi luapan trauma yang tumbuh sejak usia kanak-kanak.

Anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual lebih berpotensi untuk mengarahkan reaksi mereka secara eksternal ketika tumbuh menjadi individu laki-laki dewasa. Berbeda halnya dengan korban kekerasan seksual anak perempuan yang lebih memiliki kecenderungan untuk menginternalisasi perasaan dan mengekspresikannya dalam perilaku merusak diri sendiri. Oleh karena itu, pelaku tindakan pelecehan seksual terhadap anak pada umumnya berjenis kelamin laki-laki.

Namun, tidak semua korban tindak kekerasan seksual pada usia dini berkembang menjadi pelaku tindak kekerasan, faktor lingkungan keluarga dan lingkungan sosial lainnya juga memerankan peran yang tidak kalah pentingnya dalam mendorong tercetusnya tindakan kekerasan terhadap anak.

Faktor keluarga adalah faktor kunci lain yang bertanggung jawab akan lahirnya perilaku kekerasan seksual terhadap anak. Lingkungan keluarga tempat individu bersosialisasi dipercaya memegang peranan yang penting bagi individu dalam melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak.

Minimnya kehangatan hubungan emosional antaranggota keluarga dapat memicu seseorang mengalami gangguan orientasi seksual. Ketidakharmonisan hubungan dengan pasangan merupakan salah satu pemantik untuk mencari upaya alternatif dalam memuaskan kebutuhan biologis.

Namun fatalnya, perilaku seksual mereka dilakukan kepada anak di bawah umur dengan maksud untuk menekan tingkat perlawanan saat aksi kekerasan seksual dilakukan. Selain itu, ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga tidak hanya terjadi pada hubungan individu dengan pasangannya.

Lebih lanjut, teori kelekatan emosi (attachment theory) mengungkapkan bahwa gangguan yang terjadi di dalam hubungan individu dengan orang tuanya pada masa kanakkanak juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan pada saat individu tersebut menginjak usia dewasa. Hubungan kelekatan emosi antara orang tua dan anak yang tidak sehat sejak dini mendorong individu untuk tumbuh dan berkembang dengan kondisi jiwa yang sakit.

Bowlby (1960) menjelaskan bahwa seorang anak yang berkembang pada kondisi emosi yang tidak aman dan nyaman dalam hubungan emosionalnya dengan orang tua sejak usia dini akan tumbuh menjadi individu yang sarat dengan segala permasalahan yang berkaitan dengan gangguan psikologis.

Hubungan kelekatan emosi yang tidak aman salah satunya dapat disebabkan oleh pengasuhan orang tua yang terbiasa menggunakan kekerasan baik verbal maupun fisik kepada anak maupun pengasuhan yang bersifat mengacuhkan anak.

Kondisi jiwa anak yang sering kali terluka tersebut akan mendorong proses hilangnya rasa percaya anak terhadap orang terdekatnya akan kemampuan mereka sebagai orang tua dalam menciptakan zona aman dan nyaman bagi anak. Maka itu, anak tersebut akan berkembang menjadi individu dewasa dengan beberapa masalah kepribadian yang mendorongnya untuk tidak segan melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain termasuk terhadap anak di bawah umur sekalipun.

Penelitian yang dilakukan oleh psikolog Australia Jan Grant dan rekan-rekannya pada 2008 mendukung teori yang diungkapkan oleh Bowlby sebelumnya. Grant berhasil mengelompokkan karakteristik pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak menjadi tiga golongan kriteria masalah kepribadian.

Sebagian besar pelaku tindak kekerasan (41%) biasanya memiliki kepribadian yang antisosial. Kepribadian ini dicirikan dengan karakter yang sulit diatur, bersifat melawan arus, sering berselisih dengan keluarga dan teman, dan memiliki kecenderungan sifat yang impulsif.

Selain itu, 37% pelaku tindak kekerasan seksual pada anak memiliki kepribadian yang labil, yaitu dicirikan dengan karakter yang mudah cemas, depresi, mudah dipengaruhi, mudah berselisih, dan memiliki ketidaknyamanan seksual dalam kesehariannya. Kriteria pelaku tindak kekerasan seksual lainnya memiliki kepribadian yang narcissistic (22%). Tipe kepribadian ini dicirikan dengan sikap yang suka mendramatisasi keadaan, egois, dan agresif.

Dengan demikian, selaiknya kita sebagai orang tua sangat diharapkan untuk dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak kita untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat baik fisik maupun mental. Seyogianya kita juga dapat menghindarkan anakanak kita dari pengaruh negatif lingkungan sosial di sekitar dengan memberikan penjagaan dan kontrol yang terukur kepada anak kita.

Selain itu, penerapan metode pengasuhan yang bersifat hangat, mengayomi, dan menghindari penggunaan kekerasan baik fisik dan mental juga diharapkan mampu untuk membentuk ikatan emosional yang sehat antara orang tua dan anak yang dapat menciptakan karakter individu yang sehat secara emosional. Harapannya, karakter individu yang memiliki jiwa sehat dapat terbentuk dan berkembang di masyarakat, sehingga perilaku kekerasan yang melibatkan anak dapat ditekan dalam level yang paling rendah dalam lingkungan sosial masyarakat kita.

YULINA EVA RIANY
Peneliti dan Kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4068 seconds (0.1#10.140)