Pilihan suara terbanyak

Senin, 12 Mei 2014 - 12:54 WIB
Pilihan suara terbanyak
Pilihan suara terbanyak
A A A
JUMAT, 9 Mei 2014, pukul 23.51 WIB, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan perolehan suara hasil pemilihan umum (pemilu) secara nasional yang meliputi perolehan suara dan kursi tiap partai politik (parpol) dan penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih.

Setidaknya ada dua catatan penting yang mengemuka terkait hasil dan pelaksanaan Pemilu Legislatif 2014. Pertama, terdapat sejumlah calon anggota DPR yang sudah cukup dikenal publik dan bahkan merupakan anggota DPR periode lalu ternyata tidak berhasil melaju ke Senayan.

Kedua, muncul penilaian bahwa Pemilu Legislatif 2014 adalah pemilu paling brutal dan mengerikan dilihat dari sudut praktik politik uang dan kecurangan. Politik uang tidak hanya ditujukan kepada pemilih, melainkan juga ditujukan kepada penyelenggara pemilu di lapangan untuk melakukan penggelembungan atau pemindahan suara.

Mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak pun dituding sebagai penyebab sistemik. Suara terbanyak dituding membuat persaingan antarcalon meniadakan norma dan etika, membuat antar calon berperilaku seperti serigala yang memakan serigala yang lain.

Lembaga-lembaga negara yang mengukuhkan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak pun diminta untuk bertanggung jawab, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK). Penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak sesungguhnya bukan akar sistemik, tetapi konsekuensi dari pilihan sistem proporsional daftar terbuka.

Orientasi pada sistem proporsional daftar terbuka sudah dimulai sejak Pemilu2004. Melalui UUNomor12 Tahun 2003, pemilih telah diberikan hak untuk tidak sekadar memilih parpol tetapi juga dapat memilih calon yang diajukan partai. Hanya saja, pemberian hak kepada pemilih masih dinilai secara terbatas.

Penentuan calon terpilih tetap didasarkan pada nomor urut seperti sistem proporsional daftar tertutup, kecuali jika calon memperoleh suara memenuhi 100% bilangan pembagi pemilih (BPP). Penghargaan terhadap suara pemilih yang ditujukan kepada calon semakin ditingkatkan melalui UU Nomor 10 Tahun 2008 yang dibentuk untuk Pemilu 2009.

Pemilih dapat memilih parpol dan/atau calon yang ada. Penentuan calon terpilih menggunakan dua standar, yaitu nomor urut dan perolehan suara calon. Calon yang memperoleh suara minimal 30% dari BPP ditetapkan sebagai calon terpilih. Namun jika jumlah calon yang memperoleh suara minimal 30% lebih dari jumlah kursi yang diperoleh parpol akan ditentukan berdasarkan nomor urut.

Pada saat pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008, DPR menyatakan bahwa mekanisme penentuan calon terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 mengandung politik hukum transisional antara sistem proporsional terbuka terbatas dengan sistem proporsional terbuka murni.

Ketentuanpenentuan calon terpilih sebagaimana diatur dalam Pasal 214 UU Nomor 10 tahun 2008 kemudian diajukan pengujian ke MK. Pangkal pertimbangan hukum putusan MK dalam perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tersebut adalah bahwa pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka yang dimaksudkan agar keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh parpol dalam pemilu dapat terwujud.

Pertimbangan putusan MK juga menyatakan bahwa penentuan calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara di atas 30% dari BPP atau menempati nomor urut lebih kecil jika tidak ada yang memperoleh suara 30% dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh suara 30% dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu parpol peserta pemilu adalah inkonstitusional.

Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Jika dilihat dari substansinya, putusan MK Nomor 22- 24/PUU-VI/2008 ini sesungguhnya adalah putusan yang bersifat menegaskan pilihan sistem yang dianut oleh UU Nomor 10 Tahun 2008 dengan cara mengoreksi mekanisme penentuan calon terpilih. Pada saat rakyat telah diberikan hak untuk memilih caleg, maka konsekuensinya penentuan calon terpilih harus didasarkan pada pilihan rakyat itu.

Hal ini selaras dengan politik hukum pilihan sistem proporsional terbuka, yaitu untuk meningkatkan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat. Untuk penyelenggaraan Pemilu Legislatif tahun 2014, dibentuk UU Nomor 8 Tahun 2012.

Sesungguhnya jika model suara terbanyak dipandang banyak menimbulkan dampak negatif, dapat saja diubah dengan kembali pada sistem proporsional tertutup, atau setidaknya dengan model penentuan 100% BPP seperti Pemilu 2004. Namun sistem yang dipilih tetap proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Pilihan sistem ini sesuai dengan politik hukum sejak Pemilu 2004 dan telah dikukuhkan melalui putusan MK. Karena itu, pilihan sistem proporsional terbuka beserta konsekuensinya berupa penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak adalah pilihan bersama.

Namun pilihan ini ternyata menimbulkan dampak berbeda pada Pemilu 2014 ini jika dibandingkan dengan Pemilu 2009 yang lalu. Tentu saja hal ini harus menjadi bahan evaluasi bersama. Setiap sistem pemilu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan.

Pilihan terhadap sistem tertentu tentu harus disertai dengan langkah antisipatif untuk menutup kekurangan yang dimiliki. Namun sering kali bentuk dan tingkat kekurangan itu baru akan diketahui dengan jelas setelah sistem itu dijalankan. Karena itulah perbaikan harus selalu dilakukan. Dalam kelompok sistem proporsional terdapat sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka. Kelebihan proporsional tertutup adalah lebih sederhana dan konsekuensinya lebih murah dan efisien.

Namun kelebihan itu harus dibayar dengan tereduksinya kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan partai. Rakyat tidak dapat menentukan pilihannya secara langsung mengenai siapa yang dikehendaki menjadi wakilnya di DPR/ DPRD.

Kekuasaan yang demikian besar di tubuh parpol akan cenderung menciptakan oligarki parpol atau sebaliknya konflik internal parpol yang pada akhirnya juga merugikan rakyat. Sebaliknya, kelebihan utama sistem proporsional terbuka adalah pengakuan sepenuhnya terhadap kedaulatan rakyat dengan menjadikan pilihan pemilih sebagai dasar penentuan calon terpilih.

Hal ini dapat mewujudkan anggota DPR/ DPRD betul-betul sebagai wakil rakyat, bukan wakil parpol. Namun kelebihan ini harus dibayar dengan kerumitan penyelenggaraan serta persaingan sengit antarcalon.

Persaingan ini dapat berdampak positif bagi parpol karena semua calon harus bekerja keras yang hasilnya juga berimbas pada perolehan suara partai. Namun persaingan yang sangat keras memang mendorong terjadinya pelanggaran etika dan hukum berupa kecurangan- kecurangan dalam pemilu.

Karena itu, pilihan sistem proporsional terbuka harus diikuti dengan penegakan etika politik internal parpol serta pengaturan dan penegakan hukum yang mampu mencegah dan menindak segala macam bentuk pelanggaran dan kecurangan pemilu.

JANEDJRI M GAFFAR
Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8133 seconds (0.1#10.140)
pixels