Catatan penting Formappi terkait Pileg 2014
A
A
A
Sindonews.com - Belajar pada penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, secara terang benderang ditemukan aneka persoalan atau masalah terkait mutu penyelenggaraannya. Yang paling mencolok dan terjadi secara masif adalah maraknya praktik transaksional yang dilakukan oleh peserta pemilu demi meraih kemenangan.
Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, transaksi politik itu terjadi dalam relasi timbal balik antar peserta pemilu (parpol dan caleg) dan juga antara peserta pemilu dan penyelenggara. Aktor sentral dalam praktik transaksional tersebut adalah peserta pemilu.
"Kepentingan mereka untuk meraih kekuasaan melalui pemilu mendorong mereka untuk menghalalkan segala cara," ujarnya melalui rilis yang diterima Sindonews, Senin (12/5/2014).
Selain peserta pemilu, menurutnya, kapasitas dan integritas penyelenggara juga menjadi soal pelik pada pileg tahun ini. Penyelenggara pemilu gagal menjadi manajer yang tidak hanya berkutat pada hal-hal teknis administratif, tetapi juga menyentuh aspek substansial pemilu.
"Penyelenggara pemilu terjebak menjadikan diri mereka bak pekerja kontrak dengan sikap tanggung jawab yang minim sebagai dasar pengambilan keputusan," jelasnya.
Sementara, pemilih di bagian terbesar pengisi hiruk-pikuk penyelenggaraan pemilu menjadi money politics. Praktik korupsi dan suap yang dilakukan elite politik selama ini rupanya turut mempengaruhi sikap pemilih untuk ikut-ikutan dalam praktik suap tersebut.
"Satu problem mendasar yang bisa menjelaskan kemasifan praktik curang selama proses pemilu itu adalah lemahnya penegakan hukum bagi para pelaku. Sampai sekarang, penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu seperti acuh dengan semua pelanggaran yang terjadi."
"Kepolisian juga demikian. Belum nampak ada kesigapan dari para penegak peraturan kepemiluan yang menimbulkan efek jera. Akibatnya, kesalahan, kecurangan, praktik busuk selama pemilu dianggap sesuatu yang wajar. Bahaya besar jika banalitas kejahatan ini tak diakhiri," pungkasnya.
Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, transaksi politik itu terjadi dalam relasi timbal balik antar peserta pemilu (parpol dan caleg) dan juga antara peserta pemilu dan penyelenggara. Aktor sentral dalam praktik transaksional tersebut adalah peserta pemilu.
"Kepentingan mereka untuk meraih kekuasaan melalui pemilu mendorong mereka untuk menghalalkan segala cara," ujarnya melalui rilis yang diterima Sindonews, Senin (12/5/2014).
Selain peserta pemilu, menurutnya, kapasitas dan integritas penyelenggara juga menjadi soal pelik pada pileg tahun ini. Penyelenggara pemilu gagal menjadi manajer yang tidak hanya berkutat pada hal-hal teknis administratif, tetapi juga menyentuh aspek substansial pemilu.
"Penyelenggara pemilu terjebak menjadikan diri mereka bak pekerja kontrak dengan sikap tanggung jawab yang minim sebagai dasar pengambilan keputusan," jelasnya.
Sementara, pemilih di bagian terbesar pengisi hiruk-pikuk penyelenggaraan pemilu menjadi money politics. Praktik korupsi dan suap yang dilakukan elite politik selama ini rupanya turut mempengaruhi sikap pemilih untuk ikut-ikutan dalam praktik suap tersebut.
"Satu problem mendasar yang bisa menjelaskan kemasifan praktik curang selama proses pemilu itu adalah lemahnya penegakan hukum bagi para pelaku. Sampai sekarang, penyelenggara pemilu, baik KPU dan Bawaslu seperti acuh dengan semua pelanggaran yang terjadi."
"Kepolisian juga demikian. Belum nampak ada kesigapan dari para penegak peraturan kepemiluan yang menimbulkan efek jera. Akibatnya, kesalahan, kecurangan, praktik busuk selama pemilu dianggap sesuatu yang wajar. Bahaya besar jika banalitas kejahatan ini tak diakhiri," pungkasnya.
(kri)