Penyelenggaraan pemilu dinilai antiklimaks
A
A
A
Sindonews.com - Penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu dinilai antiklimaks. Penyebabnya, lembaga penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak berhasil mentransformasikan semangat yang mereka usung secara total, kepada jajaran di bawahnya.
Hal tersebut seperti diungkapkan Wahidah Suaib, Penasihat Pemantauan Partnership for Governance Reform (Kemitraan), dalam diskusi Perspektif DPD RI “Menyikapi Penyelenggaraan (Rekapitulasi dan Penetapan) Pemilu 9 April 2014”, di Pressroom DPD RI Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jum’at (9/5/2014).
Wahidah menyebutkan, penyelenggara pemilu telah memulai Pemilu 2014 ini dengan tingkat kepercayaan publik yang tinggi. “Sudah bukan rahasia umum, personel yang terpilih menjadi anggota KPU adalah orang-orang dengan pengalaman yang mumpuni,” ujar Wahidah.
Selain KPU memiliki personel yang berpengalaman, mereka juga membuat komitmen penegakan aturan dan membangun komitmen transparansi yang sangat tinggi. Wahidah mencontohkan, tindakan KPU ketika dengan tegas mendiskualifikasi partai yang tidak memenuhi laporan dana kampanye.
“Kita bisa lihat, ada laporan dana kampanye online, Daftar Pemilih Tetap (DPT) online. Ini adalah pertama kali kita melaksanakan pemilu dengan komitmen transparansi tinggi,” tukas Wahidah.
Menurut wahidah, komitmen dan kepercayaan publik yang sudah didapatkan KPU perlahan-lahan terkikis. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Di antaranya adalah terjadinya surat suara yang tertukar di hampir 23 provinsi, sehingga mengakibatkan diulangnya pemungutan suara.
Wahidah menambahkan, dengan semakin maraknya politik uang dan semakin fulgarnya politik transaksional, akhirnya membuat penyelenggaraan pemilu ini antiklimaks.
Hal tersebut seperti diungkapkan Wahidah Suaib, Penasihat Pemantauan Partnership for Governance Reform (Kemitraan), dalam diskusi Perspektif DPD RI “Menyikapi Penyelenggaraan (Rekapitulasi dan Penetapan) Pemilu 9 April 2014”, di Pressroom DPD RI Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jum’at (9/5/2014).
Wahidah menyebutkan, penyelenggara pemilu telah memulai Pemilu 2014 ini dengan tingkat kepercayaan publik yang tinggi. “Sudah bukan rahasia umum, personel yang terpilih menjadi anggota KPU adalah orang-orang dengan pengalaman yang mumpuni,” ujar Wahidah.
Selain KPU memiliki personel yang berpengalaman, mereka juga membuat komitmen penegakan aturan dan membangun komitmen transparansi yang sangat tinggi. Wahidah mencontohkan, tindakan KPU ketika dengan tegas mendiskualifikasi partai yang tidak memenuhi laporan dana kampanye.
“Kita bisa lihat, ada laporan dana kampanye online, Daftar Pemilih Tetap (DPT) online. Ini adalah pertama kali kita melaksanakan pemilu dengan komitmen transparansi tinggi,” tukas Wahidah.
Menurut wahidah, komitmen dan kepercayaan publik yang sudah didapatkan KPU perlahan-lahan terkikis. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Di antaranya adalah terjadinya surat suara yang tertukar di hampir 23 provinsi, sehingga mengakibatkan diulangnya pemungutan suara.
Wahidah menambahkan, dengan semakin maraknya politik uang dan semakin fulgarnya politik transaksional, akhirnya membuat penyelenggaraan pemilu ini antiklimaks.
(maf)